Matahari bersinar sangat cerah saat aku membuka mata. Kemudian dengan otomatis berputar memunggungi matahari sambil menarik blazerku yang sudah turun pangkat jadi selimut. Kembali mencari posisi lebih nyaman dan bergeser semakin mendekat pada kipas kecil diatas meja.
Panas.
"jelas. Ini jam 2 siang. Bukan 8 pagi."
Ya tuhan. Apa Putri tak bisa muncul disaat aku bangun? Bukan disaat aku tidur? karena sejak kejadian kehilanganku itu dia sepertinya benar-benar dendam. Aku sudah bilang agar dia memakiku saja tapi dia jadi tak tega saat melihat bangkai handphoneku.
Malangnya, handphoneku tak bisa selamat.
Badanku berputar dan menyesalinya detik itu juga karena paparan matahari yang jatuh tepat kemukaku. Sementara Putri, seperti biasa mempersilahkan dirinya sendiri untuk duduk ditempat tidurku dan menendang kakiku dalam prosesnya. Berusaha membangunkanku atau mungkin mematahkan kakiku.
"aku belum bilang maafin kamu buat yang kemaren." Mulainya. Membuat mataku terbuka dan aku mendapati dinding kamarku yang berwarna hijau.
"aku gak pernah minta maaf." Duk!! Argh!! "sakit tahu!!" aku kontan bangun karena tepukan keras dipunggungku itu mungkin sudah membuat jantungku tergelincir ke lambung. Apa Putri pernah berpikir kalau aku ini manusia?
Dari tatapannya sekarang, dia jelas tak tahu aku manusia. Karena dia hanya balas melotot dan melempar blazerku yang sudah melayang kemukanya kelantai dengan kekuatan berlebihan. Blazerku yang malang. Sebenarnya masih akan kupakai saat kuliah jam 4.
"kuliah jam 4 kamu dibatalin." Mataku berkedip. "tadi Farhan yang bilang. Katanya kuliah dibatalin dan kamu mesti cari hape baru."
Kamarku yang tak luas dan tak banyak diisi itu terlihat sangat lenggang saat satu kosan sedang tak berada di rumah. Tanpa kebisingan, semuanya terasa sangat lapang. Meski aku benci asupan oksigenku harus berkurang karena Putri. Tak mengubrisnya, aku hanya kembali melempar badanku ke kasur. Memeluk bantalku sambil bersyukur jam kuliah yang dibatalkan. Apa ada yang pernah lebih membahagiakan dari jam kuliah yang dibatalkan?
"jadi, mulai hari ini, kita akan mulai operasi move on kamu."
Mataku yang mengantuk, tiba-tiba terbuka.
Move on?
***
"kenapa dia senyum?" tanganku mencengkram terali jendela dengan kekuatan berlebihan dan aku memplototi tetangga kosanku yang kebetulan mendongak dari kosan lantai 2 nya. Aku terlalu emosi untuk sekedar menghabiskan gorenganku yang sekarang sudah sangat dan luar biasa dingin.
Maafkan aku gorengan.
Bagaimana mungkin aku masih punya nafsu makan setelah mendapat senyum penghinaan Jedi? Dia berdiri didepan pintu kamarku dan tersenyum seperti itu?
"arrrrgggghhhhh!!" aku berbalik dan melangkah cepat kearah meja kamarku tapi sebelum maksudku tercapai, Putri sudah lebih cepat.
Dia menyambar bingkai kecil yang ada disamping tumpukan buku itu dengan kecepatan luar biasa. Lalu melompat kesudut ruangan sambil tertawa histeria memeluk bingkai sialan itu.
Aku menarik nafas panjang dan dengan mata terpejam memaki. Bajingan.
"balikin." Desisku.
"hihiihihihi!!" dia kembali cekikikan dan sekarang bahkan tak bisa mengeluarkan satu kalimatpun tanpa di potong tertawa. oh, dia sampai bersimpuh dilantai dan bersandar pada boneka bebek yang sudah kukutuk dengan semua kutukan jahat harry potter tapi tetap balas menatapku dengan mata besarnya tanpa ampun. Aku benar-benar harus membuang boneka kumal itu sebelum kewarasanku hilang.
Putus asa, aku terduduk diatas ambal dan menjambak rambutku. Mencoba melakukan gerakan yoga yang bisa kuingat. Seperti, melotot kesal pada Putri.
"kenapa dia senyum?" Putri mengulang pertanyaanku dengan nada tak percaya yang dihiperbola dosis tinggi dan kemudian kembali tetawa. Sungguh, aku akan membunuh pacar Farhan ini kalau dia tak segera mengeluarkan jin yang bersarang dibadannya. "ya ampun. Gak ada yang lebih malu-maluin selain gagal move on yang ketangkep basah."
"aku gak gagal move on."
"gak berhasil move on?" tangannya memain-mainkan bingkai kecil itu didepan mukaku. Fotoku dan Jedi yang diambil oleh Farhan saat ada acara kampus. Tentu saja Jedi panitia acara dan dia berhasil memaksaku menjadi pagar ayu. Kami terduduk dipinggir parkiran dengan aku yang bersandar dibahu Jedi sambil meniup permen karet serta tangan memainkan hape dan Jedi yang memandangku. Berlatar belakang semua keramaian usai acara dengan wajah capek.
Bukan aku yang mencetaknya. Putri.
Aku merebut foto itu. Gagal move on? "aku belum mulai move on."
Kemudian aku memberinya tatapan tajam sambil menaruh foto itu kembali ke meja dengan posisi tertelungkup. Kalau harus melihat wajah Jedi yang sedang memandangku sekarang, aku akan teringat kalau dia sudah mentertawakanku.
"dia Cuma senyum."
Sama saja. Bagaimanapun, dia tahu betapa menyedihkannya aku. Menghela nafas panjang, tanganku mengetuk-ngetuk pelan ambal dan memandangi boneka bebek kumal yang balas melotot.
"aku gak suka dia mutusin aku." Maksudku, dia yang memintaku menjadi pacar dan kenapa dia yang memutuskanku? Dia tak berhak memutuskanku sampai aku meminta putus. "aku gak suka."
"kamu Cuma perlu bilang kalau kamu masih sayang dia." Aku tak mengalihkan pandanganku meski Putri sudah duduk disebelahku.
"dia gak suka aku lagi."
"gimana mungkin dia gak suka lagi sama cewek secantik kamu?"
"ha. Lucu." Menelentang, aku mendapati langit-langit yang tak bersimpati membalas tatapanku. "kamu tahu kalau aku gak secantik itu."
Aku yakin Putri tahu apa yang tak ingin kukatakan dan dia sudah cukup baik untuk tak melempar semua kata-kata menyedihkan itu kemukaku. Harga diriku sudah menguap tepat saat Jedi melihat foto yang masih bertengger di mejaku.
"aku rasa kamu juga tahu kenapa kalian putus." Aku mengangguk. Bagaimanapun, aku tak bisa tutup mata pada masalah yang kusebabkan sendiri. Aku hanya tak menerima kalau dia memutuskanku. Aku merasa.... dikhianati.
Tak bisa dielak, ingatanku kembali pada hari dia memutuskanku.
Kami sudah tak bertemu selama 2 bulan liburan semester. Bagaimanapun, selalu dia yang menelpon, bbm, wa atau sms. Apapun itu, dia selalu mencariku. Dia tak pernah marah meski bbmnya hanya r dan tak mendapat balasan. Maka, disaat 2 bulan dia sama sekali tak menghubungiku, aku hanya menyalahkan handphoneku yang tak berbunyi.
Bisa saja hape ku sendiri yang menolak menerima pesan atau telp Jedi kan? Ya, aku hanya menghibur diri.
Dengan egoisnya, aku mempertahankan harga diri sebaik mungkin dan menolak menghubunginya lebih dulu. Jadi, disaat dia tiba-tiba menghubungiku mengajak bertemu, aku terlalu senang untuk berpikir 2 kali. Lalu, dia memutuskanku. Dia, mencampakkanku.
"bisa kamu bayangin?" aku tiba-tiba duduk dan mencekik bantal. "gimana bisa cowok kayak dia mutusin cewek kayak aku? Apa coba yang kurang dari aku?" aku menghela nafas. "iya, aku punya ratusan kekurangan. Aku temperamen dan jahat." Tapi, "dia yang nembak aku, dia mestinya tahu kalau aku jahat. Aku gak pernah pura-pura baik sama siapapun. Dia tahu konsekuensi kalau dia jadi pacar aku." Terus, "kenapa dia minta aku jadi pacar dia? Kenapa dia bikin aku gila terus minta putus?!"
Putri menarik bantal yang sendang kugigit dan memeluknya dengan prihatin. Dia membentakku karena sudah menganiaya benda tak bersalah. Dia tak tahu kalau aku lebih teraniaya dari pada bantal itu? Aku sudah terluka parah. Meski tak terlihat, bagian dalam diriku terluka berat. Aku tercabik-cabik dengan kalimat tak bertanggung jawabnya itu!!
"heol. Deabak. Kamu gak pernah berpikir dari sisi Jedi ya?" Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri untuk memikirkan sisi cowok itu. "tuh, kamu itu gak pernah mau ngalah."
Putri masih ingin kuliahkan? Dia sebaiknya menjaga omongan sebelum aku melakukan sesuatu yang mungkin bisa menghilangkan nyawanya dengan sengaja.
"jadi, pilihan kamu ada dua." Dia menempelkan 2 jari ke jidatku dengan sadis. "satu, ajak dia balikan. Dua, move on."
Tanganku mengetuk ambal dengan pipi menggembung. 2 pilihan itu hanya membuatku kesal. "atau tiga, bunuh Jedi." Putri melotot.
"PILIH SATU!" bentaknya.
"move on." Aku mengambil bingkai kecil dari meja dan memasukannya kedalam kardus yang nyaris penuh. Berharap semuanya akan selesai dengan mengirim bingkai itu kesana.
Lalu, perihal move on ku menjadi proyek satu kosan tanpa perlu anggaran dana.
Dan bahkan persetujuanku.
***