The Last Blue

By Arasther

272K 23.7K 4.9K

Bagaimana jika identitas keluargamu ditentukan dari warna mata? Seperti... Pemilik mata hijau, YinYang di dun... More

Tempat Apa Ini?
Ada Seseorang
Bad Mood
Pesan
Bukan Seseorang
Malam Pertama di Rumah Baru
Janji
Biru Kuadrat
Mata dan Identitas
Sejarah yang Hilang
Roh Jahat
Rumah Cermin Balfas
Malaikat Hitam Gallchother
Tanda
Lubang di Pohon
Saudara Perempuan
Potongan yang Diawetkan
Dress Biru
Pesta Abu-abu
Teka-teki
Tiga Bangsawan
Hantu Sekolah
Wujud Asli atau Palsu
Hari yang Panjang
Tukang Bohong
Teror Toilet Sekolah
Wilayah Para Ular
Sejujurnya
Tak Ada yang Abadi
Keluarga Svartelli
Selamanya Ganjil

Orang Aneh dan Penguntit

11.3K 1K 108
By Arasther

Okey, atas keterlambatan update, chapter kali ini dibuat panjang ^-^

*Foto Lavina*-*) di mulmed*

*Kalo mau liat foto Blu, ada di Chapter 3 yha (Bad Mood)*
*Foto Shai ada di Chapter 4 (Pesan)*

Happy reading!~

◇◇◇◆◆◆◇◇◇◆◆◆◇◇◇

-Blu-

Pandanganku berputar-putar. Mata ini berat sekali untuk dibuka. Dengan kedipan-kedipan lemas, aku berusaha menjernihkan pengelihatanku yang buram.

Bau khas obat-obatan menyeruak ke rongga hidung. Apa aku sedang di UKS? Siapa yang membawaku kemari?

"Ugh," aku mencoba mendudukan diriku di atas kasur tipis dan keras tempatku terbaring pingsan. Mataku menangkap secarik kertas di atas meja di dekat dipan. Terlihat namaku ditulis besar-besar di atasnya. Sebuah surat? Untukku? Kuraih kertas itu dari meja lalu membaliknya.

Hey, Blu, maaf tadi aku melempar bolanya terlalu keras hingga kau pingsan. Yah, itu juga sih karena kau pendek jadi kena kepala deh. Hehe maaf ya. Tadi aku dan Pak Heridh membawamu ke UKS agar kau ditangani suster di sini. Maaf mengirimkanmu surat, aku harus segera ke lapangan karena ada pertunjukan musik. Semua wajib menonton, tapi kalau kau masih pusing pulang saja. Tasmu kutaruh di lantai.

Dengan sangat maaf,
Beni

Anak itu, sudah bersalah masih saja mengejekku? Awas nanti kalau ketemu, bakal kujitak kepalanya. Tapi kurasa tidak hari ini. Kepalaku sangat pening, di mana suster penjaganya? Aku mau izin pulang.

"Wooohooo!"
"Rock me!"
"Dum dum dum tsss"
"Sing with me!"

Suara alat musik dan vokal serta suara riuh sorakan membuatku penasaran. Akupun menilik dari balik jendela UKS "Wah.. benar, di lapangan sedang ada konser."

Memangnya berapa lama aku pingsan? Sejak kapan di sana ada panggung kecil? Aku hanya menggidikan bahu.

Dengan agak lunglai kuambil tas di lantai tepat di sebelah kakiku yang menggantung. Aduduh, hampir saja aku jatuh karena kasur ini tinggi sekali.

"Suster.." aku berjalan sambil mencari si suster.

"Yaa.. ada apa, Nak?" Seorang suster tinggi semampai keluar dari balik tirai putih dengan senyuman hangat terukir di bibirnya.

"Suster, aku mau izin pulang," kataku.

"Oh," ia memasang tampang 'aku-baru-ingat'. "Nanti di rumah, kompres keningmu dengan air hangat ya, kepalamu masih pusing bukan?" Ia berjongkok sambil menatap memar di kepalaku. Matanya membuatku ngeri, merah menyala. Baru keliahatan setelah ia berhenti tersenyum.

"Iya, masih agak pusing," aku memegang kepalaku. "Baiklah, terima kasih suster, aku pulang dulu ya," ucapku seraya berjalan menuju pintu UKS.

"Semoga lekas sembuh," ia mengiringiku keluar pintu.

Aku menengok ke lapangan sejenak. Kelihatannya seru sekali konsernya. Aku mau ikut menonton tapi sayangnya kepalaku tidak. Bakal makin nyut-nyutan kalau aku berdiri di sana-lapangan-.

Kugantungkan tasku di pundak kiri selama di perjalanan. Karena menurutku pundak kiri dan tangan kiriku lebih kuat dari yang kanan-karena aku kidal-. Rumahku lumayan jauh dari sekolah. Sialnya aku harus berjalan karena tidak ada yang menjemputku.

Sepanjang perjalanan, pemandanganku didominasi oleh pohon, jalan, rumput, rumah, dan lapangan? Wah, ada lapangan ya di sini? Sayang sekali padahal luas tapi rumput liarnya tak beraturan. Ada pohon beringinnya pula. Besar sekali. Hampir setinggi rumahku.

Tapi, tunggu dulu, memangnya tadi pagi aku melewati lapangan?

Mama, aku nyasar! T-T

Pusiing, kepalaku tambah pusing! Aggh!

Terus berjalan, terus berjalan, terus berjalan, berjalan, berjalan.

"Ah, ada orang!" Aku segera berlari menghampiri seorang lelaki yang sedang berjongkok di bawah pohon.

"Uhuhuhuhu.. hiks.. aku mau pulang.." ia menangis terisak dengan kepala tertunduk.

Jangan-jangan bapak ini nyasar juga!?

"Permisi, Pak, saya numpang tanya Jalan Scythe ke arah mana ya?"

"Huhuhu... saya.. huhu.. tidak ta.. hu.."

"Baiklah, terima kasih," akupun berjalan melewatinya sambil mencari sumber informasi lain.

"Enak ya.. bisa pu.. lang.. uhuhuhu.." tiba-tiba ia menyahut dari belakang.

Aku menengok. Dia masih jongkok di sana sambil menangis. Kukira dia akan mengikutiku. Kulengkupkan kedua tangan di samping mulutku, "Mungkin kau bisa pulang kalau tanya di mana rumahmu!" Teriakku menyahut balik.

Ia terdiam beberapa detik tanpa isakan. Lalu kepalanya terdongak. Rambutnya hitam awut-awutan menutupi wajahnya.

Hiiy, jangan-jangan dia psikopat yang sedang mencari mangsa!

"Rumahku.. di sana.." ia menunjuk sebuah bukit yang jauh tertutup kabut tebal.

"Kalau begitu pulanglah!" Aku meneriakinya.

"Aku.. huhuhu.. tidak ingin pulang ke rumah.." ia pun mulai menangis lagi, lalu kepalanya kembali seperti posisi semula.

Sebenarnya aku ingin membantunya, tapi ia begitu mencurigakan sehingga membuatku berlari kecil meninggalkannya di sana sendirian.

Lalu aku melihat sesuatu yang berkilau, meliuk-liuk seirama dengan langkah kakinya yang cepat. Rambut cokelat keemasan yang berkilau. Ada seorang anak kecil, umurnya mungkin tiga tahun lebih muda dariku. Ia sedang berlari-lari dengan riang di jalanan yang sepi ini. Ia hanya mondar-mandir dari seberang jalan ke seberangnya lagi.

"Permisi, hei, kau yang di sana!" Aku melambaikan tangan dan berlari ke arahnya.

Ia berhenti lalu menengok ke arahku sesaat. Wajah cerianya menjadi datar serta raut wajahnya bingung. Tanpa memerdulikanku ia lalu kembali berlari-lari riang menyeberangi jalan.

"Apa-apaan?" Desisku. Memangnya aku ini tembus pandang apa!?

"Hei, kau yang lari-larian," Aku berjalan mendekatinya. "Kenapa kau mengabaikanku, aku kan mau tanya jalan," ucapku dengan suara yang agak marah.

Ia berhenti berlari dan menampilkan ekspresi yang sama. Lalu, Ia menatapku cukup lama.

Apa anak ini juga... jangan-jangan psikopat?! Bukankah psikopat tak pandang usia?

"Kenapa? Ada yang aneh dengan wajahku? Memar ini? Ya, aku kena bola tadi," ucapku tak sabaran dengan pertanyaan selanjutnya yang bakal muncul.

"Kau bicara kepadaku?" Ia menunjuk dirinya. "Kukira tadi kau memanggil orang yang di sana," ia lalu menunjuk seseorang yang berdiri 10 meter dari kami.

"Tidak, aku tadi memanggilmu. Aku mau tanya, Jalan Scythe di mana? Aku orang baru di sini jadi belum hapal seluk-beluk tempat ini," tanyaku.

"Lumayan jauh dari sini. Mau kuantar?" Tawarnya dengan sunggingan senyum.

"Jika tidak keberatan, aku mau," ucapku membalas senyumnya.

Asik, untung ketemu orang baik!

Bisa dibilang kami berteman mulai dari pertemuan tak terduga itu. Dia enak untuk diajak mengobrol dan orangnya cukup terbuka. Kami mengobrol sepanjang jalan, jauhnya jarak, beratnya tas, dan pusing kepala bukan jadi apa-apa buatku.

◇◇◇◆◆◆◇◇◇◆◆◆◇◇◇

"Hahaha, kasihan sekali kakak kena bola sudah gitu pingsan dan tidak bisa nonton konser, hahaha."

"Gara-gara badmood hariku jadi benar-benar sial. Oh iya kita kan belum kenalan, namaku Blu," dengan malu, aku memperkenalkan diriku duluan. Walaupun aku benci perkenalan kurasa kali aku melakukannya dengan lapang hati.

"Aku Lavina Sanchez, kak Blue pasti suka warna biru ya? Sampai-sampai namanya Blue," tanyanya dengan polos.

"Bukan Blue, namaku tidak pakai 'e', B-L-U saja. Tapi aku memang suka biru sih," aku mengejakan namaku, jangan-jangan tanpa sepengetahuanku orang lain juga menganggap namaku 'Blue'? "Kau dipanggil apa? Vina? Atau Lavy?" Timpalku.

"Ai, jangan panggil Vina. Panggil aku Lavina!" Ia mengerutu kepadaku.

"Baiklah, Vina. Eh, maksudku Lavina."

"Nah, begitu dong. Oh iya tadi kak Blu bicara dengan lelaki cengeng itu ya?"

"Hmm, yang tadi jongkok di bawah pohon itu?" Tanyaku memastikan.

"Iya! Hati-hati Kak, dia itu gila! Jangan dekat-dekat dengannya nanti Kakak jadi ketularan," ia memperingatkanku dengan suara seperti ibu menasihati anak, lucunya.

"Benarkah? Kukira dia pembunuh."

"Tidak, dia tidak jahat. Dia selalu jongkok di situ setiap hari. Kerjanya hanya menangis ingin pulang."

"Yah, tadinya juga kukira kau pembunuh, hehe maaf ya," aku menggaruk-garuk rambutku dengan malu.

"Ya ampun, aku ini kan baik."

"Haha iya, maaf ya, ngomong-ngomong aku suka warna matamu. Andai mataku juga seperti punyamu," aku terpana dengan matanya sejak pertama kami bertatap. Itu warna yang kuimpikan, tapi sayangnya aku lahir dengan mata biru, haha.

"Benarkah?" Matanya membelalak. "Aku juga suka warna mata kakak, tidak terlalu biru dan indah. Aku tidak suka warna mata temanku yang saaangat biru, kadang bercahaya dan membuat mataku sakit," timpalnya.

"Oh ya? Apa dia tinggal di Kota Ghostana Lent juga? Soalnya di sekolahku sepertinya hanya aku yang bermata biru. Aku tidak menemukan mata biru lainnya."

"Iyap, dia juga tinggal di sini, memang jarang sekali lho ada yang matanya warna biru, kenapa ya? Kalian ini dari keluarga mana?" Tanyanya sambil memerhatikan mataku dengan intens.

Aku mengedip-ngedipkan mataku, bingung. "Aku keluarga Luciann, nama lengkapku Bravey Luciann," aku memperkenalkan ulang karena aku hanya memberi tahu nama panggilan tadi.

"Maksudku bukan nama keluarga. Misalnya, aku, mata emas dari keluarga kerajaan. Kalau mata biru apa?"

Keluarga kerajaan? Wow, pantas saja parasnya begitu elok. Seperti putri kerajaan.

"Entahlah, aku tidak pernah tahu tentang hal semacam itu, kau keluarga kerajaan?! Kenapa kau berkeliaran dari istana?"

"Sejujurnya aku lupa asal kerajaanku. Ingatanku banyak yang tak jelas, seperti tidak lengkap," wajahnya nampak sedih saat mengatakannya. Aku turut kasihan melihatnya. Bak putri yang hilang dari istana saja seperti yang diceritakan di buku sejarah.

"Yaampun, jadi kau ini hilang? Kenapa tidak ada yang mencarimu?"

"Aku juga tidak tahu?" Kami bertatapan bingung sekarang. Benar-benar aneh bukan? Kalau ia adalah putri kerajaan, harusnya ia dicari oleh keluarga kerajaan.
"Tapi tenang saja, aku tinggal dengan orang tua angkat," timpalnya.

"Berbagi ceritalah denganku kalau kau mau dan kalau mungkin hal itu bisa membuatmu lebih baik."

"Baiklah, lain waktu kita ngobrol lagi. Sudah sampai, Kak! Ini kan rumahnya?" Ia berhenti berjalan dan menunjuk rumahku.

"Oke! Ah iya, tidak terasa ya. Kebetulan sekali aku lupa nomor rumahku. Eh, kamu kok tau ini rumahku?"
Kok dia tahu rumahku? Penguntit kah?

"Aku melihatmu duduk di depan sini saat hari pertama kalian pindah," ia menunjuk rerumputan tempat dimana aku duduk dulu.

"Ohh.. iya-iya, aku duduk di sini sambil meneliti rumahku waktu itu, mau mampir ke dalam Lavina?"

"Tidak usah, aku mau main di jalan."

"Baiklah, terima kasih sudah mengantarku. Maaf ya menyita waktu mainmu."

"Iya tidak apa, ngomong-ngomong aku juga minta maaf ya waktu itu aku mengacak sepatumu."

"....."

Tidak mungkin, ini sih namanya penguntit kelas kakap!

◇◇◇◆◆◆◇◇◇◆◆◆◇◇◇

Yowyowyow, gimana ceritanya, kurang panjang? XD kalo kurang ntar next chapt thor tambah dah..

Apa bener tuh si Lavina penguntit? Kalau iya, kenapa? Kalau bukan? Terus ngapain?

Penasaran? Ikutin terus yuk cerita The Last Blue!

★VOTE & COMMENT★

5 Votes dan 2 Comments untuk next chapter.

Thankiez
-Arasther♡

Continue Reading

You'll Also Like

228K 15K 29
Daisy tidak percaya hantu, hingga salah satu dari mereka mengusik Daisy di kamar barunya. Dibantu paman tirinya-Rylan-yang merupakan seorang indigo...
41.7K 4.9K 35
[ Rose versi lokal version ] Menceritakan tentang penghuni komplek kocak yang menjadi kumpulan karang taruna ditinggal di komplek Ratulangi. Sepert...
8.9K 1.1K 84
This is MTL and for reading offline purpose use only! All copyrights BELONG TO THE ORIGINAL AUTHOR. Author: Yu Qiongbao Rimu 钰穹汘里目 Status: 84 Chapter...
180K 16K 21
Kamu adalah kesederhanaan yang tak pernah aku inginkan. _Kenny Jaerlyn_ Batu kerikil tidak ada apa-apa nya, dibanding dengan berlian. _Raga Argian_