Red Cherry

By fairywoodpaperink

4M 431K 42.9K

Nadiana, hampir 30 tahun tapi masih belum menemukan lelaki idamannya. Semakin kesini, cari laki-laki yang leb... More

Blurb
Acknowledgement
PROLOG
I - Daily Hunting
II - New Hired
III - Waspada Sekrup Kendor
IV - Kumis Missing In Action
V - Badmood
VI - I Am Not A Pathetic 20-Something Who Wants To Be Married Desperately
VII - Konspirasi Outing
VIII - "Calon Suami"
IX - Not My Type
X - Tiga Lusin Burger dan Sebotol Kuteks
XI - Menjadi Bahagia
XII - Skinny Love
XIII - Kepingan Puzzle
XIV - Bibit Bebet Bobot Does Matter
XV - A Chance
XVI - Ketika Semesta (Tak) Berpihak
XVII - Kesempatan Dalam Semangkuk Es Krim
XVIII - Judge By Its Cover
XIX - Sebab Ada Beberapa Pertanyaan Yang Tak Perlu Dijawab
XX - I'm Not Ready (Yet)
XXI - Fire Drill, On Fire
XXII - There's No Point To Hide It
XXIV - Hidup Penuh Sandiwara
XXV - I Know Your Secret
Uber Mas Ducati
XXVI - Serius
Nggak Mau Serakah Kok
XXVII - Kadang Pengumuman Itu Perlu
XXVIII - I Got A Crush on You
XXIX - Langkah
Epilog
Author's Note

XXIII - Berhenti Mencari

107K 13.1K 1.8K
By fairywoodpaperink

A/N : Tadinya mau nyisipin lagu Rainy Days on The Sidewalk-nya Mondo Gascaro tapi nggak ada euy di youtube :( yang punya Spotify, dengerin dari situ aja ya. Lagunya guri-guri nyoi kayak tahu bulet buat ngelatarin bagian akhir part ini wuekekeke.

***

Nadiana melihat foto yang dikirim Adin semalam. Foto Adin dan Althaf plus screenshoot LinkedIn. Ia bertemu Althaf di lobi kantor, berkenalan, minta foto bareng, serta akun LinkedIn Althaf. Gila. Fix! Teman-teman Nadiana udah gila. Mereka udah nggak peduli kelakuannya norak atau nggak, semua ini demi makan siang seminggu.

"Jal, Jal, Adin mulai bergerak! Gila tuh anak, mukanya udah tebel banget kali ya!" komentar Nadiana ke Ijal kala mereka sedang diperjalanan menuju bioskop untuk menonton film. Nadiana menyodorkan layar ponselnya ke depan wajah Ijal yang sibuk menyetir. Ijal menoleh untuk melihat foto yang ditunjukkan oleh Nadiana.

"Hahahaha... gila, gila! Kamu kapan mau mulai gerak?"

"Nanti, aku pikir dulu yang sensasional. Kalo semua bisa kenalan, basi dong ah taruhannya."

"Wah, gila! Sekarang kok kamu semangat sih? Hmm... semangat buat kenalan sama mas-mas Arab ya?" goda Ijal.

"Hehehehe... lumayan, Jal. Seger," ujar Nadiana sambil senyum-senyum genit.

"Wah, aku nggak jadi bantuin deh. Nanti kamu baper lagi," goda Ijal lagi sambil bercanda.

"Huuu... kemaren aja bilangnya! Nggak konsisten nih jadi cowok. Lagian kalo dia mau sama aku, belom tentu dia mau sisirin rambut aku, kutekin aku," cerita Nadiana pelan sambil mengalihkan pandangannya ke jendela. Ijal langsung cengengesan mendengarnya. Nggak nyangka, hal sepele kayak gitu ternyata masih diingat sama Nadiana. Dan yang bikin Ijal makin gemas, Nadiana langsung membuang mukanya begitu saja.

Baru mau membalas godaan Nadiana, ponsel Ijal berbunyi. Setelah melirik nama penelepon di layar, Ijal langsung mengangkat telepon tersebut.

"Ya, Mbak?" sapa Ijal di telepon. Nadiana melirik ke arah Ijal yang raut wajahnya kini berubah menjadi serius. "Hmm... oke. Ntar aku kesana deh, nemenin mereka," balas Ijal setelah mendengar balasan dari kakaknya.

"Di, sorry ya. Kayaknya kita nggak bisa nonton hari ini deh," ujar Ijal ke Nadiana setelah ia menutup telepon.

Nadiana menatap wajah Ijal yang berubah tidak ceria lagi. "Ada apa?" tanya Nadiana terdengar khawatir.

"Nggak, kakakku lagi pergi. Anak-anaknya cuma sama bibi yang jaga rumah, kasian sendirian. Jadi aku mau kesana nemenin. Aku antar kamu pulang dulu sebelum aku kesana. Sorry ya, Di. Sorry banget mendadak," ujar Ijal dengan kening berkerut dan alis yang turun karena merasa tidak enak pada Nadiana.

Nadiana terdiam sebentar. Rasanya kok ada yang berbeda dari Ijal. Wajahnya sudah tidak seceria tadi. "Rumah kakakmu dimana emang, Jal?" tanya Nadiana.

"Di daerah Cinere."

"Aku ikut aja deh, gimana? Daripada kamu muter-muter?"

"Kamu yakin mau ikut?" tanya Ijal setengah tak percaya. "Kamu ... nggak malu ketemu keluargaku? Ya, kakak-kakakku nggak ada sih. Palingan keponakanku doang."

"Nggak pa-pa," jawab Nadiana santai. "Emang keponakanmu umur berapa, Jal? Cewek apa cowok?"

"Cewek dua-duanya. Yang satu umur 5 tahun, yang satu lagi umur 3 tahun. Beneran nggak pa-pa? Nanti kalau mereka nakal sama kamu gimana?" tanya Ijal masih seolah tak percaya.

Nadiana hanya tertawa mendengar pertanyaan itu.

***

Mereka akhirnya membatalkan acara nonton dengan mampir ke rumah kakak Ijal di daerah Cinere. Rumah kakak Ijal berada di sebuah townhouse yang berisikan 12 rumah di dalamnya dengan gaya bangunan yang seragam. Rumah bergaya minimalis itu bercat putih yang dipadukan dengan nuansa coklat dan krem. Begitu manis bagaikan rumah boneka. Tidak berpagar dan halaman depannya mungkin tidak terlalu besar, tetapi rumputnya hijau sekali. Membuat halamannya yang kecil itu terlihat asri. Apalagi dengan adanya pot-pot berisi tanaman hias yang mempermanis teras serta pohon bunga kamboja merah di pojoknya.

Ketika suara Ijal yang mengucap salam bergema ke seluruh penjuru rumah mungil itu, kedua gadis kecil dengan rambut panjang lurus tergerai lari dari sebuah kamar sambil berteriak, "Om Izaaal!!!" lalu satu persatu langsung melompat ke pelukan Ijal.

"Om Izaaal... endong..." pinta bocah yang paling kecil dengan manja dan Ijal menurutinya. Matanya begitu bulat dan besar. Poninya tampak jatuh berantakan di dahinya yang mungil. Hidung dan bibirnya serba mungil.

"Om Izal, Sasya kangeeen deh sama Om Izal. Om Izal kok nggak pernah ke rumah Sasya lagi sih?" tanya si kakak ke Ijal. Sedangkan si kakak, wajahnya tak terlalu tampak berbeda dengan adiknya. Matanya juga bulat dan besar. Hanya saja, kakaknya tidak berponi. Rambutnya panjang hingga ke bahu. Pipinya gembil, hidungnya terlihat lebih mancung daripada si adik, dan bibirnya juga mungil seperti adiknya.

"Nih sekarang Om Izal main ke rumah Sasya. Om juga kangen sama Sasya," ujar Ijal sambil mengacak-acak puncak kepala gadis kecil itu seraya masuk ke ruang tengah. Nadiana mengikuti langkah Ijal dari belakang.

"Om Izal, itu siapa?" tanya Sasya lagi dengan matanya yang melirik malu-malu ketika melihat Nadiana.

"Ini Tante Didi," ujar Ijal mengenalkan Nadiana kepada dua gadis kecil itu.

"Hai, Sasya ya?" sapa Nadiana sambil berlutut. Menyamakan posisinya dengan Sasya. Sasya menyalami punggung tangan Nadiana dengan lirikan mata malu-malu. Warna rambut Nadiana yang tak lazim seperti orang kebanyakan tampak membuat gadis kecil itu tertarik.

"Ini siapa dedeknya namanya?" sapa Nadiana ramah pada bocah yang melingkarkan kedua lengannya dengan erat ke leher Ijal.

"Dek, salam dulu sama Tante Didi," ujar Ijal membelai punggung bocah itu. "Safiya, Tante namanya..." ucap Ijal lagi. Safiya pun menyalami punggung tangan Nadiana dengan malu-malu. Kemudian tangan mungilnya itu tiba-tiba menarik-narik pelan ujung rambut Nadiana yang berwarna merah jambu.

"Hahaha... Safiya suka ya sama warnanya?" tanya Nadiana sambil menarik sejumput ujung rambutnya dan mengibaskannya perlahan ke hidung mungil Safiya hingga bocah itu tertawa geli.

***

"Tante Didi belum pernah liat ikan mas aku kan?" ujar Sasya sambil menarik Nadiana ke kolam kecil belakang rumah. Rupanya halaman belakang rumah kakak Ijal tidak terlalu sempit. Ada kolam kecil di sudut halaman yang berisi ikan-ikan hias. Nadiana kini terduduk di pinggir kolam bersama Sasya.

"Ini namanya Goldeen, kalo yang itu Seaking," Sasya menunjuk 2 ikan mas besar yang ada di kolam tersebut.

Nadiana tertawa kecil mendengar nama-nama itu. "Siapa yang kasih nama? Pasti Om Izal ya?"

"Iyaaa! Kata Om Izal, ikan-ikan itu sebenernya Pokémon," jawab Sasya dengan polos. Nadiana tertawa lagi. Bisa-bisanya si Ijal ngebohongin bocah begitu!

"Kalo Goldeen kan mamanya, kalo Seaking papanya. Ikan yang kecil-kecil itu anaknya," ujar Sasya lagi sambil menunjuk-nunjuk ikan-ikan tersebut. Nadiana menanggapi saja dengan manggut-manggut tanda setuju.

"Tante, kalo ikan nggak bisa pergi kemana-mana ya? Cuma di air aja?" tanya Sasya pada Nadiana.

"Iya, kan ikan hidupnya di air. Nanti mati kalo keluar dari air," jawab Nadiana.

"Sasya pengen jadi ikan deh. Biar Papa terus sama Sasya, Safiya, dan Mama. Nggak pergi terus," ujar gadis itu lagi dengan polosnya.

Deg... Nadiana seolah merasakan energi yang aneh ketika menatap kedua mata polos Sasya. "Kalau ikan nggak perlu kerja. Soalnya udah dikasih makan kan sama Sasya. Kalau orang kan perlu kerja. Jadi Papa kerja supaya bisa beli susu untuk Sasya dan Safiya di supermarket," jawab Nadiana begitu saja. Sesungguhnya ia bingung menjelaskan hal seperti itu pada anak seumuran Sasya. Jemari Nadiana mulai mengelus-elus lembut rambut Sasya.

"Oh iya, bener juga ya..."

"Sya, jadi berenang nggak?" Ijal keluar dari rumah tiba-tiba dengan kardus berisi kolam tiup serta Safiya di gendongannya.

"MAUUUU BERENAAANG!!!" seru gadis kecil itu yang langsung berlari ke arah Ijal. Kemudian Ijal menyuruh kedua keponakannya itu untuk ganti baju ke dalam. Sementara Ijal memompa kolam plastik tersebut dan Nadiana izin ke toilet.

Nadiana merasa ada yang ganjil ketika mencari sabun untuk mencuci tangan di antara botol-botol produk hygine. Namun kemudian ia memilih untuk tidak menggubrisnya lagi.

Setelah Ijal berhasil mengisi kolam tiup tersebut dengan air, kedua bocah itu langsung berendam di dalamnya. Bermain air. Berkhayal bahwa mereka adalah putri duyung. Nadiana menatap gemas pada Safiya yang memakai baju renang one piece dengan motif semangka berwarna merah-hijau dengan bintik-bintik hitam sebagai biji semangkanya. Apalagi perut kecil buncitnya yang membuat Nadiana semakin gemas pada bocah itu. Nadiana berjongkok di pinggir kolam menanggapi khayalan-khayalan kedua gadis itu yang berpura-pura menjadi putri duyung. Sambil sesekali menggelitik perut Safiya.

Ketika hendak mengambil ponselnya di tas yang diletakkan di sofa ruang keluarga, tanpa sengaja Nadiana mendengar pembicaraan Ijal dengan asisten rumah tangga keluarga kakaknya di ruang makan.

"Bibi cuma kasian sama anak-anak itu, Mas. Kapan hari Safiya tanya kok Papa nggak pulang-pulang. Bibi bingung jawabnya," ujar wanita paruh baya yang biasa mengurus rumah tersebut. Termasuk mengurus kedua gadis kecil yang sedang berkhayal menjadi putri duyung di halaman belakang rumah.

Deg... Nadiana jadi merasa bersalah sempat mendengar sesuatu yang tak seharusnya ia dengar. Dengan salah tingkah ia buru-buru beranjak dari sana. Namun Ijal langsung melirik ke arahnya. Nadiana pun hanya melempar senyum canggung dan buru-buru mengambil ponsel dari tasnya dan kembali ke halaman belakang untuk mengambil foto kedua gadis kecil yang lucu itu.

Ijal duduk di bangku teras menatap dua keponakannya yang begitu ceria bermain air ditemani Nadiana. Namun pemandangan itu perlahan seolah mengiris dadanya ketika ia mengingat kenyataan yang akan dihadapi kedua gadis kecil itu kelak. Ijal melempar senyuman tatkala melihat Nadiana berjalan menghampirinya. Gadis itu kemudian duduk di sebelah Ijal. Meraih gelas berisi sari jeruk yang tadi disajikan oleh Si Bibi. Keduanya masih terdiam menatap kedua gadis kecil yang bercanda-canda sambil bermain air.

"Jal, Safiya gemesin banget sih. Boleh ku culik?" tanya Nadiana membuka pembicaraan.

Ijal tertawa kecil dengan mata yang masih menatap ke arah dua bocah itu. "Mending kita bikin sendiri, Di, nanti. Palingan nggak jauh dari itu hasilnya," jawab Ijal menggoda Nadiana seperti biasanya. Wajah Nadiana langsung bersemu mendengarnya.

"Apaan sih ah!" tampik gadis itu seperti biasa. Seolah tidak pernah siap mendengar lontaran Ijal yang memang seringkali terdengar menjijikan. Dan seperti biasa, Ijal akan tertawa puas mendengar Nadiana ngomel karena ulahnya.

"Jal, bukan maksudku ikut campur. Tadi Sasya cerita dia pengen jadi ikan supaya Papanya nggak pergi terus," ujar Nadiana pelan. Wajah Ijal lalu berubah menjadi serius meski matanya tetap lurus ke arah dua bocah tersebut.

"Jal, kakakmu—"

Belum sempat Nadiana melanjutkan ucapannya, Ijal langsung memotong, "Mau cerai. Hari ini kakakku lagi meeting dengan lawyernya."

Deg... degup jantung Nadiana mulai terasa cepat. Seolah semua dugaannya tadi benar. Dari tidak adanya produk untuk laki-laki di kamar mandi utama, cerita Sasya, sampai curhatan Si Bibi ke Ijal tadi. Dugaan Nadiana, sepertinya kakak Ijal dan suaminya sudah cukup lama pisah rumah.

Nadiana tidak mau menggali lebih dalam. Terlalu personal dan terlalu menyedihkan baginya.

"Mereka masih umur 5 dan 3 tahun. Nggak ngerti apa-apa," ujar Nadiana sembari menatap kedua bocah tersebut.

"Ya, itu yang aku sayangkan," jawab Ijal.

Nadiana menatap sekelilingnya. Lalu ia mulai bertanya, apa yang sebenarnya orang cari dari pernikahan? Mereka punya rumah yang bagus, yang pantas untuk diisi dengan anggota keluarga lengkap dengan penuh cinta di dalamnya. Mereka punya 2 gadis kecil yang lucu-lucu. Bukankah seharusnya hidup mereka sudah lengkap, bahkan nyaris sempurna? Tapi, yah, tingkat kepuasan manusia memang berbeda-beda.

Nadiana bukan jadi takut menghadapi pernikahan. Tapi justru ia mencari jawaban dalam dirinya, apa yang sebenarnya ia cari dalam hidup ini? Ia tidak mau jika kelak ia menikah lalu suatu hari ia tersadar bahwa ia tidak menemukan apa yang ia cari dari pernikahan tersebut.

***

Selesai mandi, Sasya dan Safiya sama-sama ingin dipakaikan pakaian oleh Nadiana. Mereka seolah menemukan kakak yang dapat mereka ajak untuk bermain dengan gaya berpakaian. Di umur segitu mereka sudah bisa memilih pakaian apa yang mereka ingin pakai. Nadiana tinggal menyetujuinya atau tidak.

Rasanya lucu, Nadiana seperti sedang memberi saran pada sepupu-sepupu perempuannya kala mereka mencoba mix and match pakaian kalau mau pergi nge-date.

"Tante Didi..." ujar Sasya ketika Nadiana selesai menyisiri rambutnya.

"Ya?"

"I like you. I like playing with you and I like your hair. I think it's beautiful," ucap gadis itu pelan dengan sangat manis.

Ada perasaan aneh dalam benak Nadiana ketika Sasya mengucapkan kata-kata itu. Seolah hatinya itu bergetar mendengarnya. Mungkin dalam bahasa orang dewasa, Sasya seolah berkata bahwa ia menaruh kepercayaan pada Nadiana.

Lalu Nadiana teringat apa yang akan gadis kecil itu hadapi kelak. Gadis itu terlalu manis. Hatinya masih begitu suci. She doesn't understand how cruel the world would be, and she will face it very soon in her early age.

Nadiana menyelipkan beberapa helai rambut Sasya ke belakang telinga. Seperti bagaimana Omnya melakukan itu pada Nadiana beberapa waktu yang lalu. Sebagai tanda bahwa ia peduli pada gadis kecil itu.

"I like you too. You are so sweet," ucap Nadiana. Menatap mata besar Sasya yang tampak jernih dan polos, ia tak tahan lagi untuk tidak memeluk gadis itu.

"Sasya, semua sayang Sasya. Kalau Sasya nanti merasa kesepian, ingat Tante Didi dan Om Izal yang sayang sama Sasya ya?" ucap Nadiana dalam pelukannya. Sasya tak mengerti sebagian besar perkataan Nadiana, namun ia mengangguk dalam pelukan Nadiana. Yang ia mengerti hanya bagian ada orang yang menyayanginya.

Ijal terdiam melihat pemandangan itu di ambang pintu ketika hendak memanggil Sasya untuk makan sore. Ada perasaan aneh yang bergerak di benaknya ketika melihat Nadiana dan keponakannya.

***

Ijal dan Nadiana tak banyak bicara setelah Ijal melihat Nadiana berpelukan dengan Sasya. Penuturan Sasya tadi sukses mengeluarkan sisi melankolis Nadiana. Nadiana paling nggak tega sama anak kecil. Juga Ijal yang sisi melankolisnya mendadak keluar setelah melihat adegan Nadiana dan Sasya berpelukan. Mungkin kalau mereka berpelukan biasa, Ijal akan merasa biasa saja. Tapi ini keponakannya, yang Ijal tahu akan menghadapi kenyataan pahit dalam hidupnya kelak. Serta Nadiana yang lebih seringkali terlihat galak dibandingkan mellow seperti tadi. Ijal tahu, Nadiana merasakan hal yang sama dengannya soal Sasya dan Safiya.

"Ijal, kamu pernah nggak sih mikirin, apa yang sebenarnya orang-orang cari dalam hidup ini? Seolah dunia nggak bisa memuaskannya," ujar Nadiana ketika kedua gadis itu diajak makan ke taman dekat rumah oleh Bibi mereka. Menyisakan Nadiana dan Ijal yang terduduk di teras halaman belakang berdua saja.

"Ya, aku pernah mikir soal itu. Aku rasa semua orang di dunia pernah mikirin itu," jawab Ijal sambil menatap kedua mata Nadiana.

"Apa kamu udah menemukan yang kamu cari dalam hidup, Jal?"

Ijal terdiam sejenak dan menarik napas panjang. "Aku udah lama berhenti mencari dan mulai belajar menikmati, menghargai, menjaga, mensyukuri apa yang aku punya sejak aku lihat rumah tangga kakakku yang berantakan, Di."

Gantian Nadiana yang diam karena mendengar jawaban Ijal.

"Kalo kita terus mencari, nggak akan ada habisnya," ujar Ijal lagi.

Otak Nadiana berputar memikirkan kata-kata itu sampai akhirnya ia menemukan jawaban atas pertanyaannya tadi. Ada beberapa pertanyaan yang tidak perlu jawaban. Karena ada beberapa hal yang hanya perlu dinikmati dan tak perlu dipertanyakan.

"Berhenti mencari, Di," ujar Ijal pelan. Jemarinya menelusuri pipi Nadiana dengan lembut.

Nadiana balik menatap kedua mata Ijal. Jantungnya berdetak cepat tak karuan. Ada sesuatu yang mendesak di dadanya, minta dikeluarkan. Dan perlahan ia pun membebaskannya dengan berujar, "Aku sudah berhenti mencari, Jal. Karena aku sudah menemukan apa yang aku cari."

Ijal tersenyum mendengar jawaban Nadiana. Lalu perlahan wajahnya semakin dekat dengan wajah Nadiana. Nadiana terdiam membeku. Ia seolah terhipnotis. Lalu perlahan ia berucap, "Ijal, awas ya berani sosor-sosor belom cukur kumis!"

Tawa Ijal meledak seketika mendengar jawaban Nadiana. Tangannya kemudian melingkar di leher Nadiana, menarik gadis itu ke pelukannya. Lalu menciumi pipi gadis itu dengan gemas sambil berujar, "Nih, rasain nih serangan kumis lele!"

Nadiana tertawa geli dibuatnya. Ia meronta-ronta berusaha menghindari serangan itu. Ijal kemudian menarik kedua kaki Nadiana ke pangkuannya. Membuat gadis itu semakin sulit bergerak. Kini tubuhnya terasa lemas dan degup jantungnya tidak karuan. Entah kapan terakhir kali seseorang mencium pipinya. Ketika Nadiana berhenti melawan, Ijal mulai meregangkan pelukannya, juga mulai berhenti menempelkan hidungnya ke pipi Nadiana. Terakhir Ijal mengacak-acak puncak kepala Nadiana lalu menempelkan hidungnya lagi dengan lembut ke pelipis Nadiana.

Tak ada suara dan tak ada kata terucap. Namun entah kenapa Nadiana merasa nyaris utuh. Seolah celah kosong dalam dirinya yang disebabkan oleh kepingan puzzle yang hilang tiba-tiba sudah terisi begitu saja.

Aneh. Semua yang menyangkut Ijal memang selalu aneh. Tapi diam-diam, Nadiana mengakui dalam hati, bahwa ia menyukai keanehan itu.

***

Continue Reading

You'll Also Like

21.7K 3.1K 36
Seseorang pernah berkata pada Luka, bahwa yang terpenting tentang mencintai adalah pengorbanannya. Tapi Luka kemudian jatuh cinta pada Tera, si ambis...
1.2M 135K 51
Bagi seorang Karina Lakshita, Yodha adalah dunianya. Satu-satunya laki-laki yang dia jatuhi cinta sedalam-dalamnya. Bagi seorang Ranu Yodha Windraya...
478K 45.8K 43
#3 Long Way to Home [romance] Urutan cerita: Retak-Jarak-Dekap-Kekal Aku tidak ingin ke mana-mana lagi. Aku hanya ingin menetap di satu tempat. Jadil...
27.4K 3K 34
Sekali lagi dalam dua belas tahun terakhir, Ishana Anantari dipatahkan hatinya dengan tidak terhormat! Lebih tidak etisnya lagi, si bajingan itu memi...