Isolatonist Girl

By Searani

14.6K 4K 844

The Alayers Series (3) : Ade Cahya Riana Katanya, jatuh cinta pada siapa saja diperbolehkan. Jadi, kalau Reva... More

PROLOG
Isolate (A) : Revandra Alvin
Isolate (B) : Garis Rindu
Isolate (C) : Mulai Berjuang
Isolate (D) : Diberitahu Tentangnya
Isolate (E) : Entah Apa Namanya
Isolate (F) : Filosofi Kehidupan
Isolate (G) : Gerakan Kaum Adam
Isolate (H) : Harapan
Isolate (I) : Iringan Rasa
Isolate (J) : Jejak Pergi
Isolate (L) : Laju Waktu
Isolate (M) : Melebihi Apapun
Isolate (N) : Nyata dan Tidaknya
Isolate (O) : Obat Peralih
Isolate (P) : Pulang yang Tertunda
Isolate (Q) : Quote dari Revan
Isolate (R) : Redup yang Menerang
Isolate (S) : Semua Hal
Isolate (T) : Titik Kuadrat
Isolate (U) : Untuk Hari Ini Saja
Isolate (V) Verifikasi Luka
Isolate (W) : Wacana Hati
Isolate (W) : Wacana Hati 2
Isolate (X) : X ditambah -X sama dengan -X
Isolate (Y) : Yang Pergi
Isolate (Z) : Zig Zag Menurun
Isolate (a) : ambisi durja kiloan
Isolate (b) : badai belum berhenti
Isolate (c) : cobalah mengerti takdir
Isolate (d) : di ambang batas kecewa
Isolate (e) : endapan rasa yang menguara
Isolate (f) : for my isolatonist girl
Isolate (g) : garapan rencana alayers
EPILOG

Isolate (K) : Kejujuran Rian

364 131 21
By Searani

Isolate (K) : Kejujuran Rian

KERUTAN samar tercetak jelas di kening Ayni begitu melihat Riana berjalan keluar dari koridor kelas. Fakta yang lagi-lagi membuatnya bingung adalah cewek itu berjalan sendiri.

Bukan keanehan juga sebenarnya. Tapi, mengingat cewek itu baru saja diajak bicara oleh Revan, tidak seharusnya dia berjalan sendiri. Seharusnya, cewek itu berjalan bersisian dengan Revan, mengucapkan maaf pada Ayni karena tidak bisa pulang berdua, lalu berakhir pulang bersama Revan.

Yah, tetapi. Yang seharusnya tidak pernah jadi yang benar-benar terjadi. Karena begitulah hidup.

“Jadi, lo nolak ajakan Alvin buat pulang bareng?” tanya Ayni, sebagai pembuka percakapan ketika Riana berdiri di depannya. “Lagi?”

Riana menjawab pertanyaan itu dengan gelengan. “Enggak.”

“Terus kenapa lo nggak pulang bareng dia?” Ayni memberikan tatapan penuh selidik.

“Tau deh.” Riana mengedikkan bahu.

“Lo yakin nih pulang bareng gue?” Ayni masih mewanti-wanti. “Gimana kalo Alvin cemburu ke gue? Cemburu karena lo pulang bareng gue di saat seharusnya lo pulang bareng dia?”

“Enggak, Ay.”

“Lo mah enggak terus, Ri.” Ayni akhirnya ha nya bisa mendengus pasrah. Membuka pintu mobil miliknya lalu masuk.

Riana ikut masuk. Hari ini, Ayni memang sudah mengajaknya pulang bersama sejak tadi pagi.

“Ri? Cowok kalo diulur terus juga bisa nyerah loh. Mereka soalnya juga punya hati. Nggak kasihan apa sama Alvin?”

“Revan bukan pengemis,” kata Riana dan untungnya langsung Ayni mengerti maksudnya.

“Iya, dia bukan pengemis yang pantas dikasihani. Tapi, Ri. Bayangin deh, lo udah bersusah payah ngelakuin ini-itu supaya seseorang itu tau kalo lo ada di muka bumi, tapi dengan jahatnya, dia nggak ngehargai usaha itu. Dia mengabaikannya seolah-olah usaha lo itu sampah nggak berguna.” Ayni memberi jeda di kalimatnya. “Kalo orang kayak lo ada sepuluh di dunia. Gue yakin, cowok-cowok yang awalnya niat berjuang malah nggak mau berjuang lagi karena mereka tahu konsekuensi yang bakal didapat. Dan, setelahnya, cewek-cewek di muka bumi lain nggak pernah bisa ngerasain gimana rasanya diperjuangin. Dan—“

“Revan melulu,” desis Riana sebelum Ayni selesai bicara. “Bosen.”

“Ya abisnya gue kepikiran terus sama dia. Padahal, dia bisa milih cewek manapun yang dia mau. Tapi, dengan caranya sendiri, dia merjuangin lo. Kalo gue ada di posisi lo, ya, gue udah jingkrak-jingkrak dengan semua kebaperan gue kali.” Ayni benar-benar tersenyum lebar, membayangkan kalau Revan memperjuangkannya. Iya, membayangkan.  “Terus lagi tadi pagi waktu gue sarapan. Gue kan bosen tuh, mumpung Mak sama Bapak gue lagi di luar kota, gue bisa seenaknya megang hape di meja makan. Karena lo tau, gue nggak pernah dibolehin bawa hape ke meja makan—oke, itu emang nggak penting.” Ayni terkekeh mendengar Riana.

“Tadi pagi Alvin masukin foto ke Intagram, terlalu rinto menurut gue, kayaknya dia galau, deh.” Ayni akhirnya menceritakan inti. “Lo tau gak caption-nya apa? Alvin nulis ‘Ada titik yang harus
memberhentikan perjuangan’.

"Terus foto kedua, 'Can I go?'Dan gue rasa, itu perasaan terdalamnya sama lo. Yah, walaupun Alvin baru beberapa minggu ini deketin lo, tapi gue yakin lo melakukan sesuatu ke dia sampe-sampe itu cowok galau tingkat dewa.”

“Hm,” desis Riana sebal. Kenapa topik obrolannya dengan Ayni membahas Revan melulu? Tidak adakah orang lain di dunia ini?

“Jangan nyianyian orang deh. Apa yang lo perbuat ke seseorang sekarang, bakalan diperbuat seseorang ke lo besok. Emang lo mau, nanti kalo lo berjuang ngedapetin seseorang, perjuangan lo nggak digubris?”

“Udah pernah gue,” ceplos Riana. Sadar bahwa keceplosannya menyebabkan kerutan di kening Ayni membanyak, Riana langsung pura-pura melihat ke luar jendela.

“Kapan? Waktu di SMA lama lo, ya? Ha! Siapa, Ri?” Ayni menggunakan tangan kirinya yang tidak dituntut memegang stir untuk menarik-narik baju Riana. “Cerita, dong.”

“Nggak ada.”

“Iiih, siapa?”

“Bukan siapa-siapa.”

“Ri, salah lo ya. Bikin gue kepo, gue nggak bakalan diem sebelum lo jawab siapa orang yang tega-teganya mengabaikan perjuangan lo. Jawab dulu.” Ayni masih berusaha memaksa Riana agar memberitahunya tentang cowok yang tidak menggubris Riana.

“Nggak ada.” Riana menghela napas lelah. “Kenapa lo sangat ingin tau?”

“Karena gue ini temen lo. Gue merasa bakal kurang ajar banget kalo nggak tahu sesuatu yang menyakut lo. Oke, gue tau lo punya privasi. Tapi, berbagi lebih indah, kan?” Ayni mengulum senyum. “Okedeh, nggak usah bahas masa lalu lo yang malang karena pernah berjuang tapi nggak digubris. Sekarang, kita bahas soal Alvin yang kayaknya lagi galau berat sama lo. Lo seriusan nggak ngapa-ngapain dia?”

Riana memutar bola mata. “Lo udah nanya ini.”

“Dan, lo belum menjawabnya secara wajar,” tambah Ayni, senyum miringnya tampak. “Alvin itu mempesona menurut gue—Oke, cukup membicarakan semua yang menurut gue. Lo naksir Rian ya sampe-sampe nggak mau ngelirik Alvin?”

Riana ingin menubrukkan kepalanya ke dasboar mobil. “Gila lo.”

“Jawaban lo begitu sangat tidak wajar, Ade Cahya.” Ayni menggunakan tatapan dinginnya saat tidak suka sesuatu. “Gue nanya, lo suka Rian atau enggak?”

Menghela napas lelah untuk keberkian kalinya, Riana berucap, “Enggak.”

“Terus kenapa lo nggak mau ngehargain Alvin?”

Riana ingin dia cepat sampai rumah. Dia sudah cukup tertekan dengan segala pertanyaan dari Ayni. Dia juga tertekan karena setiap kali seseorang mengucapkan nama Revan, ingatannya selalu jatuh pada janji yang dibuatnya dengan Revan.

Atau, bisa ditambahkan, janji yang dibuatnya dan dilupakannya begitu saja.

“Kenapa nggak ngehargain?” alis Riana naik sebelah sebelum tersenyum dan menjawab pertanyaan Ayni. “Revan bukan barang.”

Ayni langsung melotot mendengar jawaban Riana. Mendengus napas keras-keras, cewek itu bergumam, “Untung gue lagi kenyang. Kalo lagi laper, udah gue makan lo.”

➰➰➰➰

ADA ketidakrelaan dalam diri Revan begitu mengetahui, ayahnya sudah harus kembali bertugas.

Bukan berarti Revan anak manja yang tidak rela ditinggal orangtuanya bekerja.

Revan hanya … merasa dia masih butuh ayah di sampingnya. Mengingat hari yang dijalaninya seperti mendung berkabut dan sebagainya.

“Baru juga digituin. Jangan nyerah.” Agra menepuk punggung Revan agar keras. “Jangan masang muka kayak begitu. Kayak yang nggak ada semangat hidup aja, kamu.”

“Emang udah nggak ada,” gerutu Revan memutar bola mata. “Papa tugas berapa lama di perbatasan Aceh?”

“Kira-kira hampir sembilan puluh hari.” Agra terkekeh melihat anak laki-lakinya itu mendengus. “Kalo Papa pulang, Papa pengen dengar kau udah berhasil dapetin gebetanmu itu.”

Belum sempat Revan membalas ucapan ayahnya, suara mobil khas milik tentara Indonesia sudha terparkir di depan rumah.

“Papa udah dijemput. Baik-baik sama temen. Ingat, bandel boleh asal nggak lupa sama Tuhan.”
Revan mengangguk.

Sudah biasa seperti ini. Agra memang selalu begitu, tipikal orang yang sangat menghargai pekerjaan dan waktu. Hingga sampai-sampai, menikmati waktu dua atau tiga hari dengan anaknya, lalu kembali bertugas.

Sebenarnya menyebalkan. Namun, mengingat semua yang dilakukan ayahnya untuk dia juga, Revan tidak masalah.

Matanya melirik keempat temannya yang masih memperhatikan mobil yang menjemput Agra. Dengan gerakan brutal, karena keempatnya menghalang jalan Revan masuk rumah, cowok itu menabrak bahu Cepi.

“Untung lagi galau ya, kalau enggak, udah gue apain,” kata Cepi begitu tabrakan bahu di antara dia dan Revan usai. Memang hanya tabrakan bahu, namun ketika seorang cowok sedang dalam kondisi tidak stabil, tenaganya bisa berkali-kali lipat lebih kuat.

Revan memandang sinis ke arah Cepi. Lalu, tanpa peduli, kembali ke ruang keluarga untuk melanjutkan kegiatannya menonton Big Hero 6.

Tidak lagi film menye cewek seperti biasanya.

“Mau dibuatin minuman sama makan apa, Den?” tanya Bi Wala ketika semua remaja cowok itu sudah berada di posisi masing-masing, berhadapan dengan televisi.

“Terserah Bibi aja, deh.” Faghas menanggapi. “Makannya tapi jangan yang berat-berat.”

“Kenapa?” sahut Dion.

“Kalau makanannya berat juga, ntar ngalahin rindu, berat banget,” celetuk Cepi sambil terkekeh. “Ha, rinto mode on.

Claudio berdecak. “Yaudah, kumpulan jones-jones galau, mendekat ke si Alvin.”

Faghas tersenyum kala melihat Bi Wala mengangguk dan kembali ke dapur untuk membuatkan mereka makanan. Mendekat ke Claudio, cowok itu mencuri kuaci yang tersedia di depan cowok itu.

“Sok banget lo.”

“Iya, gue tau gue jomblo. Gue nggak taken kayak lo, gue mah apa, cuma kulit kuaci,” ucap Cepi dramatis sambil mengangkat tunpukan sampah kuaci di depan Claudio.

“Gue tau lo megangin sampah kuaci gue cuma modus supaya bisa ngambil kuaci gue. Ngaku lo?” Claudio menatap sinis pada Cepi.

Tahu bahwa sebentar lagi, film di televisi akan diabaikan, Faghas melempar Revan dengan satu plastik penuh sampah kuaci. “Ngomong apaan lo sama Riana tadi?”

“Lupa,” jawab Revan ogah-ogahan.

“Baru juga pedekate nggak dihargain, udah galau lo. Gimana kalo seandainya lo sama Rian jadian, terus Riana lupa dia ada janji sama lo.  Gue yakin setelahnya lo bunuh diri saking frustasinya,” ledek Dion, geleng-geleng kepala.

“Yon, lo nggak boleh ngeledek perasaan seseorang. Gitu-gitu juga, nunggu seseorang sampe jam lima shubuh, itu perjuangan yang bisa gue bilang sebagai cowok, gila banget. Kalo gue di posisi Alvin sih, setengah atau seperempat jam aja cewek itu nggak dateng, gue udah cabut duluan.”

Cepi melirik temannya yang masih saja fokus pada layar televisi di saat mereka semua ingin membahas yang terjadi padanya malam tadi.

“Lo nyadar nggak lagi diceritain, Vin?”

Revan tidak kunjung menoleh.

“WOI, REVANDRA ALVIN YANG LAGI GALAU!” panggil Dion dengan nada tinggi. “LIAT KE KITA BENTAR, KEK!”

“Emang Riana sama Rian tadi malem beneran jalan, Cep?” tanya Faghas, tidak menggubris perihal Dion yang masih geram pada Revan.

“Bukan jalan sih sebenernya. Kata Rian, dia minta ditemenin nyari keperluan mading kelas gitu. Cuma itu doang awalnya, eh nggak taunya dia malah kepikiran buat ngajakin si Riana makan malem di rumahnya, yaudah deh. Gue rasa sih … Riana lupa,” jawab Cepi.

“Nggak ada yang namanya lupa. Kalo seseorang nggak nepatin janjinya, bisa jadi dia nggak suka sama janji itu, dia emang nggak niat, dan terakhir, lo bukan prioritas dia dan itu artinya, apapun yang menyangkut lo, nggak penting buat dia,” ucap Faghas. Cowok itu lagi-lagi melirik Revan yang masih tidak mau mengalihkan pandangan dari layar televisi.

Claudio buka suara. “Itu makanya kita dikasih titit. Biar nyadar kalo kita ini laki, dan tahu bahwa di dalam kamus cowok, nggak ada yang namanya nyerah.”

“Sok bijak.”

Qoute of today dari Faghas Teguh dan Claudio teguh.”

“Tapi, kalo berjuang terlalu keras juga salah, kali. Nggak ada yang bagus kalo mulanya udah diawali sama paksaan.” Faghas mengedip rileks. “Itu sih tergantung Alvinnya lagi. Kalo dia nyadar dia cowok, dia bakal terus berjuang, nggak peduli kalo rivalnya itu sahabat sendiri.”

“Gue merasa keren lo semua membicarakan gue.”

Akhirnya Revan duduk, tersenyum miring pada teman-temannya. Menghadap keempatnya dengan tatapan tak terbaca
.
“Gue merasa jijik lo bicara seperti itu.” Dion geleng-geleng kepala.

Assalamualaikum.”

Semuanya lantas menoleh ke arah yang sama. Tempat dimana seseorang dengan santainya berdiri sambil tersenyum menatap lima cowok di ruangan ini.

Big Hero Six?” tanya Rian sambil menaikkan alis. “Boleh juga.”

Dion langsung merenggakan tubuh. “Ada Rian. Ganti film deh.”

“Kok ganti?” tanya Cepi.

“Pengen ngeliat yang nikung-nikung,” jawab Dion sambil nyengir lebar dan bergerak menuju Revan yang memegang kendali televisi karena remot ada di cowok itu. “Pinjem, Vin. Gue pengen nonton balap.”

Mengabaikan ocehan Dion, Rian duduk di dekat Cepi.

“Ngapain nonton balap?”

Dion nyengir lagi ketika menjawab, “Biar nggak si Alvin yang ngerasa ditikung, gue juga pengen ngerasain ditikung.”

“Kayak cewek lo bahas-bahas ditikung.” Claudio memutar bola mata. “Lagian, kenapa tiba-tiba?”

“Karena tukang tikungnya ada di sini,” jawab Cepi tanpa berdosa. “Baru aja dateng.”

Revan tersenyum kecil melihat tingkah teman-temannya. Turun dari kursi, cowok itu duduk di dekat Claudio sambil memakan kuaci cowok itu. Entah kenapa, cowok itu kehilangan energi untuk bicara.

  “Gue, ya?” Rian bertanya dan mengamati wajah kelima temannya. “Gue nikung apaan dah.”

SUBHANALLAH, Rian. Tidak tahukah Anda bahwa, kelakuan Anda tadi malam bersama gebetan sahabat Anda?” Dion tersenyum manis, mengalahkan glukosa.

Tiba-tiba, Revan mencelutuk, “Dasar temen, gebetan temen sendiri digebet.”

Claudio ikut-ikutan. “Dasar temen, temennya sendiri dimakan.”

“Jangan kayak cewek deh,” tegur Faghas ketika teman-temannya mulai mengeluarkan bahasa-bahasa najis. “Yan? Lo kemarin malam jalan bareng Riana?”

“Jalan?” tanya Rian, keningnya berkerut. “Gue cuma minta temenin nyari keperluan mading. Mengingat Riana sering banget dihukum buat hiasan kelas karena dia jarang piket. Berhubung dia tau tempatnya, yaudah gue ajakin. Juga karena bendahara kelas gue kalo gerak lelet banget.”

“Denger nggak, Vin?” seru Cepi terkekeh karena Revan pura-pura tidak mendengarkan Rian bicara. “Kayak cewek aja, sih. Sensitif. Baperan. Ngambekan. Eh, udah ah.”

“Emang kenapa?”

“Tadi malam Alvin udah janji sama Riana buat belajar bareng di kafe Eten, nggak taunya Riana mungkin lupa. Parahnya, si Alvin nunggu—“

“Nggak kenapa-napa, Yan,” potong Revan. Dicobanya tersenyum. “Nanyain doang.”

“Vin, kalo lo kayak gini terus masalahnya nggak bakalan selesai. Mending bilang ke Rian—“

“Rian suka Riana. Gue suka Riana. Riana kayak suka ke Rian. Gue bakalan berusaha buat Riana suka gue. Dan, Rian tetep jadi dirinya sendiri. Gue sama Rian bakalan jadi rival,” ucap Revan dengan intonasi yang lugas. Membuat kelima temannya menganga sempurna karena kalimat cowok itu.

“Vin, gue nggak suka Riana,” sela Rian, sedetik setelah Revan mengalihkan pandangannya lagi pada layar televisi.

“Oh, gue percaya.” Revan menyahut dengan anggukan. “Gue sangat percaya, Yan.”

“Vin, entah keberapa kalinya gue bilang, lo udah kayak cewek,” ujar Faghas.

“Kalo lo emang nggak suka sama Riana, jauhin Riana. Pindah tempat duduk dari dia. Jauhin, dan pura-pura nggak kenal sama dia. Jangan kasih dia perhatian. Jangan ini-itu.” Revan mengedipkan mata lalu menoleh ke belakang, menatap wajah Rian yang sudah kesal setengah mati karena sikap kekanakan Revan. “Lo bisa?”

“O-oke.”

Dion memelototkan mata. “Lo bakalan jauhin Riana, Yan?”

Rian menarik napas panjang. “Gue bakal jadi rival lo.”

Lima kata dari Ade Zeroun Arrian sudah cukup membuat Revan tersenyum lebar. Berdiri dari duduknya, mendekat ke Rian, dan menepuk punggung cowok berkacamata itu sambil berkata, “Itu baru temen gue. Kalo nanti Riana milih lo, gue janji bakal mundur. Tapi, kalo Riana milih gue, lo harus mundur.”

Alis Rian terangkat sebelah. “Dari rival terberat seorang Revan, Ade Zeroun Arrian, menyetuijuinya.”

Faghas tersenyum kecil melihat dua temannya itu kini bertatapan sok sinis dan bergaya kalau mereka memang sedang bermusuhan. Dion menyandarkan kepalanya ke sofa seraya berdoa tentang Takdir Tuhan. Claudio melipat tangannya di dada, berharap semuanya akan baik-baik saja setelah pengakuan Rian. Cepi tersenyum lega sambil bergumam, “Kejujuran adalah harga mati dalam sebuah persahabatan.”

➰➰➰➰

iya, gue tau ini udh lama bgt. udah 22 hari gak diapdet. keterlaluan bgt.😭😭😭

Tapi gue bener-bener sibuk akhir-akhir ini. UH berceceran. Latihan nari, nyelesain catetan, dan lo yang SMA pasti ngerasain hal yang sama.

Maka dari itu, gue gak apdet teratur lagi. Maapkan daku. Semoga gue bisa apdet gini gini terus.

Setidaknya, ini triple update!!

Salam si sok sibuk,

Searani

Continue Reading

You'll Also Like

8.6M 525K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
9.8M 886K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...
1.2M 167K 26
[Fantasy & (Minor)Romance] Seluruh umat manusia tahu kenyataan bahwa volume air di bumi semakin naik dan menenggelamkan satu persatu pulau di dataran...
30.8M 1.8M 67
DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 3 SUDAH TAYANG di VIDIO! https://www.vidio.com/watch/7553656-ep-01-namaku-rea *** Rea men...