Isolate (I) : Iringan Rasa

414 138 24
                                    

Isolate (I) : Iringan Rasa

BEKAS hujan tadi pagi masih membekas di bumi. Menyisakan bau khas hujan yang terseruput hidung-hidung manusia yang hidup. Hari ini senin, hari dimana semua orang masih ingin bermalas-malasan karena terlalu lama berlibur dua hari sebelumnya.

Meskipun sudah lewat jam setengah dua belas, tetap saja hawa dingin yang dibawa hujan tadi tidak pergi.

Riana, memulai rutinitas biasanya. Rian mengajaknya makan siang bersama di kantin, lalu Riana menolak. Kemudian keduanya berpisah begitu saja. Satu ke kantin, dan satu lagi ke rooftop. Ah, jangan lupakan kalau Rian akan mampir ke mushala untuk salat zuhur.

Seperti biasanya, rooftop sekolah sepi. Tidak banyak siswa yang ingin ke sini karena rata-rata tingkat kemageran siswa SMA Cakrawala cukup tinggi. Tempat seperti inilah yang Riana suka. Hening. Sunyi dari banyak orang.

Karena di sini, Riana menemukan dunianya. Riana lebih suka mengasingkan diri seperti ini. Baginya, yang seperti inilah hidup. Ketika kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau, tanpa perlu memikirkan apa reaksi orang-orang selanjutnya.

Selain novel Bumi karya Tere Liye, Riana juga membawa buku Fisika, tambahan buku PR Fisika yang diberikan Revan padanya tempo lalu.

Riana memang tidak mengerti bagaimana cara penyelesaian masalah di soal-soal yang Revan kerjakan. Tapi, ketidak mengertian Riana bukan disebabkan oleh tulisan Revan yang sama seperti cowok lainnya. Bukan, tulisan Revan jauh berbeda dibanding cowok pada umumnya. Rapi.

Dibukanya lembaran PR itu. Membacanya, lalu sedikit melirik ke rumus yang sudah diberikan guru Fisika mereka.

"Nilainya diperoleh dari ketentuan rumus."

Riana seperti tersentak. Hampir saja Novel Bumi yang baru dibelinya minggu kemarin, terjatuh diantara semen yang masih basah karena hujan. Cewek itu menoleh ke samping, memperhatikan seseorang yang baru saja menyuarakan suara.

"Lo?"

"Kadang gue nggak ngerti sama lo, Ri," gumam Revan mendekat dan duduk bersender dip agar rooftop. "Mau sebingung dan gimanapun muka lo, tetep aja keliatan cantik."

Bukannya merasa tersanjung oleh pujian Revan, Riana malah berujar ketus. "Ngapain di sini?"

"Mau pedekate," jawab Revan santai. Senyumnya mengembang melihat Riana masih memicingkan mata ke arahnya. "Ri, gue tau mata lo bener-bener indah. Tapi, jangan ngeliat gue kayak gitu. Cowok juga bisa deg-degan."

Riana mendengus. "Jayus."

"Lo nggak ngerti di soal yang mana?" Revan mengabaikan celetukan Riana barusan. Dipandanginya buku PR yang kemarin diberikannya pada Riana. "Mumpung gue lumayan ngerti di Fisika, gue bisa bantu."

"Gue ngerti," bantah Riana.

"Terus kerutan samar di kening lo waktu baca ini karena apa?" Revan tidak mau menyerah begitu saja.

Riana berpikir menemukan jawaban yang pas. "Tulisan lo."

"Ada apa dengan tulisan gue? Nggak kebaca, ya?"

Nih cowok sebenarnya bego atau sok-sok rendah diri? Gumam Riana jengkel dalam hati.

"Antimainstream." Mana Riana tahu kalau mulutnya malah menyuarakan kata itu. Membuat Revan merasa seolah-olah dirinya spesial. Oh, bukan. Merasa bahwa tulisannya memang rapi kelewat batas.

"Gue bisa ngajarin lo nulis yang rapi, juga," kata Revan tiba-tiba. Tidak kehabisan cara untuk bisa modus berlama-lama di depan Riana.

"Oh." Riana memutar bola mata. "Makasih."

Isolatonist GirlWhere stories live. Discover now