Isolate (V) Verifikasi Luka

341 103 10
                                    

Isolate (V) : Verifikasi Luka

BAHU Riana merasa asing begitu tangan Ayni bertengger di sana. Sesuatu yang dulu biasa Riana dapatkan, namun tidak sekarang. Ayni yang berjalan di sebelahnya, Ayni yang mengintimidasi orang-orang yang memberikan tatapan merendahkan kepadanya, Riana langsung merasa ciut berjalan di samping Ayni.

“Kenapa, Ri? Udah, nggak usah dimasukin ke hati. Anggap aja, tikus yang lagi keliaran di genteng, ntar kalo mereka udah capek berhenti sendiri,” ujar Ayni, seakan mempunyai kontak batin memahami diri Riana.

Riana sebetulnya kebal pandangan seperti ini. Pandangan meremehkan. Bukan sekali atau dua kali Riana mendapatkannya, sudah sering.

“Siang Aynikuuuu.” Seorang cowok tiba-tiba menghalangi jalan mereka. “Lo barengan anaknya tante-tante? Jangan, jauh-jauh sini! Gue enggak mau, ya, Ayni comel-comel gue dikenalin ke om-om karena bergaulnya sama anak pecun begini.”

“Mamam tuh comel-comel.” Ayni dengan sigap langsung menendang alat vital cowok itu.

“Ay?!” Riana hampir terpekik, berbanding terbalik dengan Ayni yang memasang muka santai—menuntut melanjutkan perjalanan.

“Kenapa, Ri?”

“Dia?”

“Dia nyakitin sahabat gue, gue dengan senang hati minjem kerjaannya malaikat maut,” jawab Ayni, lugas. Tanpa dosa cewek itu tersenyum, tidak peduli pada cowok yang sudah mengerang kesakitan dan diputari siswa-siswa lain yang menatap memelas.

“Sahabat?” ulang Riana, pelan.

“Iya, sahabat! Lo kan sekarang sahabat gue, apapun yang lo rasain harus gue rasain biar persahabatan ini ada faedahnya.” Ayni tersenyum cerah.

Gimana kalau gue bukan figure sahabat yang baik buat lo?

Gimana kalau gue nantinya bakal ngecewain lo kayak gue yang dulu?

Gimana kalau nyatanya gue jahat, Ay?

Pertanyaan itu memenuhi kepala Riana dalam waktu sekejap. Kakinya perlahan mundur teratur dari Ayni.

“Gue bukan sahabat lo, Ay,” celetuk Riana pahit. Membuat Ayni yang ada di depannya mengerutkan kening.

“Tapi, gue udah nganggap lo kayak gitu, Ri!”

“Gue ini anak pecun, Ay! Gue dari keluarga nggak benar, lo nggak mungkin sahabatan sama gue, lo itu anak baik-baik. Lo tau kalau satu sekolahan udah tau kalau gue anak pecun, dan temanan sama gue, artinya lo juga bakal dipandang buruk sama mereka,” jelas Riana, tergesa. Rasanya, dia ingin segera berbalik menghindari mata Ayni.

“Yang sahabatan sama lo itu gue, bukan mereka. Yang ngontrol diri gue itu, gue bukan status lo anak pecun atau bukan. Yang pecun itu Nyokap lo, bukan lo. Sahabatan itu gampang banget, Ri. Saking gampangnya, orang-orang nggak bisa ngelakuinnya.” Ayni melirik beberapa siswa yang menjadikan mereka bahan tontonan. “Lo semua ngapain? Gue nggak lagi syuting, ya!”

Pelan-pelan, terdengar lengosan menyebalkan dari bibir mereka. Ayni tidak peduli, matanya terus saja mengamati Riana, seolah dengan tatapan matanya itu, Riana bisa tahu kalau meski baru beberapa bulan, Ayni sudah menganggap Riana sahabatnya. Terlepas dari apapun status atau rumor yang beredar.

“Gue harusnya seneng lo barusan ngomong sepanjang itu ke gue, harusnya kita tumpengan atau traktiran karena ternyata lo bisa ngomong panjang,” ucap Ayni, mengusap wajahnya gusar.

“Jauhin gue.”

Itu dua kata terakhir yang diucapkan Riana sebelum akhirnya berlari menuju tempat lain dimana Ayni tidak akan pernah tahu keberadaannya.

Isolatonist GirlOnde histórias criam vida. Descubra agora