Isolate (W) : Wacana Hati 2

316 96 10
                                    

Isolate (W) : Wacana Hati 2

SELESAI mengantar Revan pulang, Riana segera kembali ke apartemennya. Pemandangan yang pertama kali dijumpainya adalah Mamanya dan Rian.

Sewaktu Revan pamit diri tadi, Rian memang mengatakan bahwa dia akan mengobrol sebentar dengan Mama Riana. Namun, Riana mengira hanya akan mengobrol. Hanya akan mengobrol tanpa embel-embel berpelukan seperti ini.

Jelas, Riana seperti menemukan sisi lain Rian ketika cowok itu memeluk Mamanya.

Pikiran-pikiran jelek langsung memenuhi kepala Riana. Mengabaikannya, Riana berpura-pura tidak melihat mereka berdua kemudian masuk ke dalam dapur untuk membereskan meja makan.

Rasanya, sudah lama sekali dia tidak mencuci piring sebab makanannya selalu ia beli di restoran apartemen.

Bohong tetaplah bohong, sekuat apapun Riana berusaha fokus pada piring-piring kotor di depannya, pikirannya kembali mengacu pada pemandangan Rian dan Mamanya yang berpelukan.

Mereka membicarakan apa sebenarnya?

Kurang lebih lima belas menit, dapur sudah bersih oleh tangan Riana. Ia ke depan begitu mendengar, Mamanya memanggil.

“Kenapa?” tanya Riana, kembali dingin dan tak tersentuh. Matanya yang sensifif melirik ke mata Mamanya yang sembab.

Ada apa sebenarnya?

“Gue mau cabut dulu, sori nggak bisa bantuin lo beres-beres.” Rian melirik arlojinya. “Makasih ya, Tan, Ri. Saya pulang dulu.”

“Lo pulang pakai apa?” Sekalipun Riana curiga pada perlakuan Rian, dia tidak bisa mengelak bahwa gadis itu peduli pada Rian.

“Palingan angkot. Yaudah, gue duluan, ya?”

“Eh, perlu gue anter?”

“Enggak usah, udah mau maghrib, mending lo ganti baju, siap-siap maghriban,” pesan Rian. Cowok itu menundukkan tubuh seraya tersenyum pada Yusnila baru kemudian berjalan keluar diantar Riana sampai ke muka pintu.

Ketika pintu ditutup, Riana melirik Mamanya yang kembali terduduk di ruang tamu. Ada sesuatu yang terjadi. Riana berpikir seperti itu.

Ada beberapa map yang berserakan di atas meja, Riana tidak melihatnya sewaktu pulang sekolah tadi. Mungkin baru dibuka Mamanya.

“Jadi.” Riana menggantung kalimatnya. “Rian adalah pelanggan baru Mama?”

Yusnila yang semula menutupi wajahnya dengan telapak tangan, tengadah. “Kamu ini bicara apa, Ri?”

“Aku lihat Mama sama Rian pelukan!” Riana sedikit berteriak, harapnya besar rasa kesalnya bisa tersalur lewat jarak ke Mama. “Nggak bisakah Mama cari pelanggan lain, Ma?”

“Riana, kamu harus tau. Rian datang ke sini—“

“Aku nggak mau denger. Aku udah capek sama semua drama Mama. Aku capek dengar kalimat Mama yang selalu bilang ‘Riana kamu harus tau bla-bla-bla’. Dari dulu, Mama terus gitu, Ma. Nggak pernah ngejelasin sesuatu yang bisa bikin aku tenang. Aku udah besar, Ma. Udah bisa jadi tempat curhatan Mama. Tapi, ketika aku lihat Mama nerima Rian sebagai pelanggan Mama—“

“Jaga omongan kamu!”

Satu tamparan keras mendarat ke pipi Riana.

Nyeri langsung mewabah daerah pipi. Riana tidak meringis, sama sekali tidak terasa rasa sakit, malah sekarang gadis itu tertawa.

“Mama nggak serendah apa yang ada di pikiran kamu, Riana!” Yusnila meneteskan air mata untuk kali pertama di depan Riana. “Mama bakal jelasin, oke? Mama juga terkejut hari ini, Sayang. Mama … Mama syok. Nggak ada pelanggan-pelanggan baru lagi. Mama udah berhenti, oke?”

Isolatonist GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang