Isolate (a) : ambisi durja kiloan

271 63 16
                                    

Isolate (a) : ambisi durja kiloan

BOLA mata Rian bergerak, mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukannya barusan pada Riana. Riana bisu, kehilangan seluruh tenaga untuk bicara.

“Sepenting apa Alvin buat lo?” ulang Rian, kali ini dengan nada penuh penegasan. “Ri, kalau emang lo nggak bisa, gue dengan senang hati ngeakhiri semuanya.”

“Kita udah jauh,” ucap Riana pelan. Rasa takutnya kini menutupi mata hingga tidak berani menoleh pada Rian. “Jangan ngerusak, Yan.”

“Tapi dari awal hati lo—“

“Manusia jadi bodoh karena hati selalu dibawa buat berperan di kehidupannya,” pungkas Riana. Bola mata birunya kali ini bergerak gelisah, takut akan segala kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. “Kalau gue nggak bisa ngehindari kepergian, gue bisa ngerencanainnya.”

“Ri, gue tau lo nggak sepicik ini,” ujar Rian.

“Rian, lo nggak kenal gue sepenuhnya. Enam belas tahun lalu, lo nggak ada di samping gue, lo nggak tau apa aja yang peranah gue lakuin ke orang lain.” Riana merasa dadanya did era sesak, negitu menghimpit.

“Gue mungkin emang nggak bisa kenal siapa lo, tapi gue bisa ngerubah apa yang seharusnya nggak lo lakuin di sini.” Jurus andalan Rian diberlakukan, menggenggam erat tangan Riana. Mengisi sela-sela jari yang semula kosong. “Demi apapun, Ri. Gue tau lo lemah, gue tau lo ngerasa bersalah atas semuanya, gue tau kalau lo ngerencanain semuanya karena lo takut sama masa depan dan masa lalu. Lo mau hidup lo terus di sini, nggak bergerak. Terus jadi monster perempuan yang suka ngehancurin kebahagiaan orang demi nyelamatin hidupnya di masa depan.”

“Jangan sok tau, Yan.”

“Tuhan udah nyusun semuanya, skenario yang nggak pernah ngecewain hamba-hambaNya. Ri, percaya. Masa depan nggak seburuk itu, masa lalu juga nggak selamanya bisa dijadiin cerminan masa depan.” Rian menyalurkan rasa hangat lewat genggaman tangan mereka. Tangannya yang bebas digunakan untuk mengusap rambut pirang Riana. “Gue di sini, ada Ayni, ada Defasya, teman-teman sekelas, semuanya bisa nemanin lo buat jalan ke masa depan.”

“Gue hampir ngebunuh seseorang di masa lalu. Gue bikin kaki orang patah, gue ngerusak persahabatn gue, ngerusak nama baik, ngadu domba, cuman karena perasaan gue, Yan.” Riana mendongak, memaksa airmatanya untuk tidak turun di saat seperti ini. “Gue durhaka sama Nyokap gue, nggak peduli ke Nyokap gue sampai-sampai dia sakit parah kayak gini. Gue manusia buruk Rian, gue buruk. Gue hitam, lo putih. Kalian semua putih. Masa lalu gue terlalu kelam, gue nggak mungkin atau nggak akan pernah bisa dapat masa depan kayak di dongeng-dongeng.”

“Lo takut ke masa depan karena masa lalu lo sendiri, padahal di sini, belum bergerak sama sekali. Lo belum bisa nebak, kalau nggak nyelipin keberanian. Semuanya udah diatur, yang perlu lo lakuin adalah percaya sama rencana Tuhan lo sendiri.” Helaan napas berat, akhir-akhir ini jadi kebiasaan Rian. Terlalu banyak labirin yang musti ia lewati bersama Riana. “Ri, lo percaya gue, kan?”

Gemetar, Riana mengangguk.

“Kalau gitu, sekarang berdiri.”

Seperti didikte, Riana mengikuti perintah Rian. Gamang, diikutinya Rian hingga menuju ke jendela sebuah ruangan kosong.

“Lo liat langitnya, Ri?” jari telunjuk Rian serta matanya menunjuk ke atas, tidak ada senyum. Wajahnya benar-benar serius. “Malam ini, enggak ada bintang sama sekali. Di sana gelap, kayak nggak ada kehidupan. Langit itu … kesepian, bintang dan bulan yang biasanya ada di sana seolah ngejauh karena langit terlalu hitam buat cahaya indah mereka.

“Tapi, apa lo bisa jamin besok pagi langit juga bakalan sehitam malam ini? Apa lo bisa jamin matahari dan awan besok pagi juga bakalan menjauh dari langit? Kalaupun iya, awan masih ada, Ri. Walaupun enggak awan cerah, awan mendung yang ngebawa badai petir, tapi awan selalu di dekat langit. Nggak peduli sehitam dan secerah apapun langit. Karena … kelengkapan bakalan terus terikat setiap menit.”

Isolatonist GirlWhere stories live. Discover now