Isolate (S) : Semua Hal

400 110 14
                                    

Isolate (S) : Semua Hal

TERLIBAT hutang budi yang banyak pada Rian, Riana tidak enak hati menolak ajakan makan siang di kantin dari cowok itu. Walaupun dia sudah berniat dari rumah akan membaca novel barunya.

Untungnya, masih ada Ayni yang sudah tersenyum manis dan melambaikan tangan ke arah mereka berdua.

“Gue sebenarnya nggak mau makan di kantin tau, Ri, Yan,” adu Ayni, kedua pipinya menggembung. “Tapi mau gimana lagi, cacing-cacing perut gue nggak bisa diajak kompromi.”

“Panteslah. Gue pikir lo kesambet apa tiba-tiba mau ke kantin.” Rian berdecak, melirik Riana. “Lo mau makan apa, Ri? Jangan bilang lo nggak makan, bosen gue dengernya.”

“Mi goreng,” jawab Riana.

Rian mengangguk. “Ay, tunggu bentar, ya. Gue mau mesen.”

Ayni melihat punggung Rian yang kini sudah mulai berjalan mendekati stan kantin. “Jadi … kenapa tiba-tiba lo ke kantin? Bukannya lo biasa ke rooftop?”

Riana mengangkat kedua bahu. “Diajak.”

“Selama ini lo diajak, tapi nggak pernah mau tuh, nolak terus.” Ayni memicingkan matanya curiga. Segala prasangka langsung menyerbunya. “Lo mulai suka sama Rian dan mau memanfaatkan segala kesempatan buat deketan berdua, ya? Bukannya lo baru aja jadian sama Alvin?”

Riana lantas membelalakkan mata. “Kata?”

“Coba deh lo gunain kemampuan mendengar lo yang paling handal. Terus dengerin suara bising di sini, semuanya tuh lagi ngegosipin berita lo yang baru aja jadian sama Alvin.” Ayni melirik ke kanan-kiri, waspada ada yang mencuri dengar pembicaraannya. “Bener kan gue, lo jadian sama Alvin ya, pas pulang sekolah kemarin itu?”

“Enggak.”

“Terus kenapa caption foto Alvin bisa kayak begitu?” Ayni cepat-cepat mencoba mencari keberadaan ponselnya. “Pake tanda hati segala lagi. Haa, lo beneran jadian, ya? Tuh kan, apa kata gue. Tren bad boy adalah cowok idaman yang bakalan selalu berhasil ngenalukkin cewek manapun berlaku juga di cerita lo.”

Riana malas menanggapi ocehan Ayni.

“Lo tuh beruntung banget tau nggak, Ri? Alvin tuh ya, deketnya di sekolah ini, kalau bukan sama—“

“Hai!” Defasya menyapa seraya tersenyum lebar. “Fasya boleh gabung kan, Kakak?”

“Abis darimana? Biasanya kalo ke kantin bareng Rian terus.”

“Kangen sama gue ya, Kak Ayni?” Defasya menepukkan tangan bangga. “Nggak, ding. Gue tadi ngobrol bentar sama Bang Alvin. Makanya nggak langsung ke kantin.”

“Ngobrol bareng Alvin?” Ayni menampakkan wajah tidak percayanya. “Tumben banget.”

“Gue juga nggak tau, semenjak ada konser Eagle dan gue ngepergokin dia yang lagi cemburu liat—“ Defasya menggigit jari. Mengetuk kepalanya berkali-kali. Terkadang keceplosan itu memang menyebalkan.

“Cemburu liat?”

Defasya berusaha bersikap biasa. “Cemburu? Siapa yang bilang cemburu? Gue tadi bilang memburu foto pas malam-malam itu.”

Ayni tidak percaya. “Ri, lo denger Fasya tadi bilang cemburu? Atau memburu?”

“Nggak denger.”

“Iih, udah dibilangin kalo misalkan gue bilang memburu.“ Defasya mengulum bibir. “Ah, Kak Ayni nggak percayaan banget sama gue.”

“Bukannya nggak percaya, gue jelas-jelas dengar lo bilang cemburu tadi, bukan memburu,” koreksi Ayni.

Isolatonist GirlWhere stories live. Discover now