EPILOG

538 57 34
                                    

PULUHAN siswa beralmameter OSIS SMA Cakrawala lalu lalang. Banyak hal yang harus mereka lakukan termasuk mengkoordinir siswa siswi yang ternyata merupakan penggemar Eagle.

Band papan atas ternama itu sudah sampai ke sekolah mereka tiga puluh menit yang lalu, dan saat ini dijauhkan dari keramaian.

Aviva, Aurel, Kanissa, Deora, dan Ananda juga ikut bersama Nasya dengan sebutan sebagai tamu penting dalam acara ini.

Revan beserta teman-temannya saat ini duduk menunggu Rian yang sedang menjalankan tugasnya.

"Kertas-kertasnya udah pada disebar?" Aviva memastikan kepada Cepi.

"Beres!"

"Jangan gagal ngelakuin rencana ini." Revan sebenarnya malas dengan penampilannya saat ini. Baju khas keratin karena ia harus menampilkan teater untuk persembahan kelasnya di acara Porseni.

Saat pembukaan, acara ini dimeriahkan oleh dua ratus pemain pianika dari perwakilan seluruh kelas dan ekstrakurikuler musik. Dilanjutkan dengan parodi kebaya dari masing-masing kelas. Selanjutnya, acara dibuka dengan penampilan tari dan dance serta penampilan dari masing-masing ketua ekstrakurikuler yang terpaksa atau tidak, menyanyikan lagi mars SMA Cakrawala.

Acara Porseni yang meriah dan megah itu tentu tidak lepas dari kerja keras Rian dan anak OSIS lain. Bahkan tadi malam, Rian harus sampai menginap di sekolah demi menjaga dekorasi sekolah kalau tiba-tiba saja ada hujan.

Untungnya cuaca cerah, ratusan para tamu undangan menepati kustom serta tema dari acara ini. Seni dan budaya serta modernisasi terasa kental jelas di sini.

Tadi pagi, seingat Revan, Rian dipeluk oleh kepala sekolah karena berhasil membuat acara semenarik ini. Selain untuk mengundang minat orang banyak untuk mendaftar di Cakrawala, acara ini berhasil menjadi buah bibir seluruh masyarakat Bandung hari ini.

Nama SMA Cakrawala yang dulu dikenal dengan kebandelan siswanya yang hobi tawuran perlahan-lahan membaik berkat kerja sama dan kerja keras banyak pihak.

Revan bangga, jelas.

Ia membalik badan, turun menghadap ke bawah, melihat dimana Riana duduk menyaksikan bagaimana acara berlangsung. Perempuan itu terlihat berkali-kali lipat lebih cantik dibanding biasanya.

Dengan setelan baju kebaya berwarna ungu, kesukaannya, rambut yang dibiarkan tergerai dengan pita berwarna putih. Sepatu converse dengan corak putih dan ungu. Serta satu senyum manis, Riana terlihat sangat-sangat cantik.

"Ngeliatin adek gue lebih lama lagi, gue gorok lo," ancam Rian yang tahu-tahu saja sudah muncul di dekatnya. Almameter yang dikenakannya terlihat berantakan, tanda bahwa cowok itu baru saja berlari kencang dari ruangan majelis guru.

"Udah?" tanya Revan. Rencananya, Rian baru saja membohongi semua majelis guru. Pura-pura membicarakan acara dan meminta doa semoga acara ini berjalan lancar, dengan tujuan semua majelis guru tidak akan melihat kelangsungan acara yang akan dijeda sejenak untuk menjalankan rencana mereka.

"Fasya menjalankan tugasnya dengan baik. Dia jago akting sok cemas," kikik Rian. Dia mengacungkan jempol. "Gue rasa, berhubung semua orang udah ada di lapangan dan tamu-tamu guru serta yang lain juga udah dipindahin, cuman kesisa murid ... lo bisa ngelanjutin rencananya."

"Yosh!" Aviva melompat senang. "Rencana kelima, dimulai!"

"YA!" seru mereka semua, berharap semoga Revan kembali menjalankan semuanya dengan baik.

Revan menahan napas. Jujur, dia gerogi. Takut akan segala kemungkinan respon Riana pada rencananya yang mungkin terlalu norak.

"Lo semua yakin ini bisa dibilang—"

Isolatonist GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang