Isolate (e) : endapan rasa yang menguara

250 57 6
                                    

Isolate (e) : endapan rasa yang menguara

HUJAN masih dengan lebatnya membasahi bumi. Mengirimkan aura dingin yang menyejukkan dan menambah kenikmatan cangkir-cangkir kopi bersama roti yang dihidangkan oleh barista bertopi di kafe Gadiri.

Rian masih menunggu, masih berharap bahwa laki-laki yang dikiriminya pesan beberapa jam lalu akan datang memenuhi permintaannya.

Ini bukan kali pertama, sudah tidak terhitung jumlahnya Rian mengajaknya untuk mengobrol serius.

Hari ini, Rian mencoba keberuntungan lagi. Rian meminta waktu hanya lima belas menit untuk bicara padanya.
Seharusnya dari setengah jam yang lalu, orang itu sudah datang, duduk di depannya mendengarkan apa yang hendak Rian sampaikan.

Tetapi, Rian mencoba mengerti. Jalanan sedang hujan dan mungkin dia kewalahan menempuh perjalanan menuju kafe ini.

“Sori, gue telat.” Setelah sepuluh menit menunggu lagi, akhirnya laki-laki itu tiba. Dengan sepatu kets favoritnya, ia duduk di hadapan Rian, menyunggingkan senyum. Berbanding terbalik dengan wajah Rian yang sudah terlihat kelelahan.

“Oke, gue bakal—“

“Sebentar.” Ia memotong ucapan Rian, mengambil ponselnya dan menyalakan waktu penghitung mundur. “Janji kita Cuma lima belas menit.”

“Gue nggak nyangka lo nganggapnya serius, Vin.” Rian menarik napas panjang. “Hari ini, Riana kehilangan Mamanya. Gue nggak ngerti kenapa akhir-akhir ini hidupnya tambah riwet.”

Revan mengedikkan bahu. “Lo tau hukum alam? Karma? Gue rasa dia lagi ngalaminnya.”

“Semudah itu ya kemarin lo bilang cinta terus hari ini ngerubah semuanya?” Alis Rian terangkat sebelah, merasa tertantang pada pembicaraan ini.

Revan mendengus. “Tanya sama pacar lo. Seberapa kuat dia narik ulur perasaan seseorang? Berapa persen kesenangan yang dia dapat kalau berhasil matahin hati orang lain? Gue nggak rinto, meskipun cowok, gue juga bisa capek.”

“Gue udah berulang kali nyoba bilang ini ke lo.” Rian memberi jeda. “Semua yang Riana bilang ke lo, itu nggak bener.”

Atmosfer diantara dua sekawan itu mendadak berubah beku. Mereka mulai berlagak bagai orang asing. “Gue tau. Terus sekarang lo mau apa ke sini? Banggain diri lo karena berhasil dapatin Riana sementara gue enggak? Gue rasa kita cukup jantan untuk nggak bicarain masalah kayak gini.”

“Nggak usah ngelak terus. Kalau masih punya perasaan, jangan ditangkis. Jangan pura-pura nggak peduli, jangan pura-pura lo sama dia orang asing kayak gini. Sekecewa apapun kalian berdua, terlebih lo, memutuskan hubungan yang udah diciptain sama Tuhan itu nggak baik. Selagi masih sama-sama manusia, lo masih bisa kan maafin Riana dan nyoba nerima segala sesuatu yang dia bilang?”

“Selagi masih sama-sama manusia, lo tau kan kalau perasaan kecewa nggak ada penawarnya?” balas Revan, telak. Ia tersenyum senang karena kini Rian memundurkan wajah. “Riana yang minta gue ngejauhin dia setelah lo berdua jadian. Itu permintaan dia, dan gue nggak bisa nolak. Jangan ngebuat semuanya makin rumit, jalani hidup lo, gue jalani hidup gue. Kita udah jalan di jalannya masing-masing.”

“Tapi yang Riana mau sebenarnya nggak gini, Vin,” tegaskan Rian, urat di sekitar dahinya keluar saat mengatakan ini. “Dia cuman takut. Takut sama semua masa depan dan pahitnya kehilangan. Dia cinta sama lo, Vin. Dia bisa ngebales  perasaan lo. Lo udah berhasil narik perhatian dia bahkan di hari pertama kalian ketemu. Dia ngelakuin semuanya, karena kekurangan dia waktu jatuh hati adalah satu, egois dan mau menang sendiri. Dia trauma, dia nggak mau ngerasa sakit cuman karena jatuh cinta. Dia punya alasan kuat buat ngelakuin semuanya ke lo.”

Isolatonist GirlWhere stories live. Discover now