Isolate (K) : Kejujuran Rian

363 131 21
                                    

Isolate (K) : Kejujuran Rian

KERUTAN samar tercetak jelas di kening Ayni begitu melihat Riana berjalan keluar dari koridor kelas. Fakta yang lagi-lagi membuatnya bingung adalah cewek itu berjalan sendiri.

Bukan keanehan juga sebenarnya. Tapi, mengingat cewek itu baru saja diajak bicara oleh Revan, tidak seharusnya dia berjalan sendiri. Seharusnya, cewek itu berjalan bersisian dengan Revan, mengucapkan maaf pada Ayni karena tidak bisa pulang berdua, lalu berakhir pulang bersama Revan.

Yah, tetapi. Yang seharusnya tidak pernah jadi yang benar-benar terjadi. Karena begitulah hidup.

“Jadi, lo nolak ajakan Alvin buat pulang bareng?” tanya Ayni, sebagai pembuka percakapan ketika Riana berdiri di depannya. “Lagi?”

Riana menjawab pertanyaan itu dengan gelengan. “Enggak.”

“Terus kenapa lo nggak pulang bareng dia?” Ayni memberikan tatapan penuh selidik.

“Tau deh.” Riana mengedikkan bahu.

“Lo yakin nih pulang bareng gue?” Ayni masih mewanti-wanti. “Gimana kalo Alvin cemburu ke gue? Cemburu karena lo pulang bareng gue di saat seharusnya lo pulang bareng dia?”

“Enggak, Ay.”

“Lo mah enggak terus, Ri.” Ayni akhirnya ha nya bisa mendengus pasrah. Membuka pintu mobil miliknya lalu masuk.

Riana ikut masuk. Hari ini, Ayni memang sudah mengajaknya pulang bersama sejak tadi pagi.

“Ri? Cowok kalo diulur terus juga bisa nyerah loh. Mereka soalnya juga punya hati. Nggak kasihan apa sama Alvin?”

“Revan bukan pengemis,” kata Riana dan untungnya langsung Ayni mengerti maksudnya.

“Iya, dia bukan pengemis yang pantas dikasihani. Tapi, Ri. Bayangin deh, lo udah bersusah payah ngelakuin ini-itu supaya seseorang itu tau kalo lo ada di muka bumi, tapi dengan jahatnya, dia nggak ngehargai usaha itu. Dia mengabaikannya seolah-olah usaha lo itu sampah nggak berguna.” Ayni memberi jeda di kalimatnya. “Kalo orang kayak lo ada sepuluh di dunia. Gue yakin, cowok-cowok yang awalnya niat berjuang malah nggak mau berjuang lagi karena mereka tahu konsekuensi yang bakal didapat. Dan, setelahnya, cewek-cewek di muka bumi lain nggak pernah bisa ngerasain gimana rasanya diperjuangin. Dan—“

“Revan melulu,” desis Riana sebelum Ayni selesai bicara. “Bosen.”

“Ya abisnya gue kepikiran terus sama dia. Padahal, dia bisa milih cewek manapun yang dia mau. Tapi, dengan caranya sendiri, dia merjuangin lo. Kalo gue ada di posisi lo, ya, gue udah jingkrak-jingkrak dengan semua kebaperan gue kali.” Ayni benar-benar tersenyum lebar, membayangkan kalau Revan memperjuangkannya. Iya, membayangkan.  “Terus lagi tadi pagi waktu gue sarapan. Gue kan bosen tuh, mumpung Mak sama Bapak gue lagi di luar kota, gue bisa seenaknya megang hape di meja makan. Karena lo tau, gue nggak pernah dibolehin bawa hape ke meja makan—oke, itu emang nggak penting.” Ayni terkekeh mendengar Riana.

“Tadi pagi Alvin masukin foto ke Intagram, terlalu rinto menurut gue, kayaknya dia galau, deh.” Ayni akhirnya menceritakan inti. “Lo tau gak caption-nya apa? Alvin nulis ‘Ada titik yang harus
memberhentikan perjuangan’.

Isolatonist GirlWhere stories live. Discover now