[✓] HAMASSAAD Ukhayya Habibi

By uniessy

282K 28.6K 10.8K

Season 1 Hamas : "Weh, sebagian bab diunpublish, yang mau lengkap, beli dong novelnyeheheew!" Saa... More

QUOTE
HAMASSAAD Habibi
1. Pagi yang Menakjubkan
2. Ngantuk
3. LINE (Debat)
4. Mati
5. Lebih dari 1M
6. Disembunyikan
7. Bangkrut
8. Pertolongan
9. Ayat Unik
10. Dunia adalah Penjara
12. Berbanding Terbalik
13. Perbedaan
14. Merasa Bersaudara
15. Amalan Utama dalam Dzulhijah
16. Disayang Maka Dipahamkan
17. Belajar Shalat
18. Ketampanan yang Membutakan
19. Basah Bikin Batal?
20. Sedu Atas Rindu
21. Kuy Wudhu Before Sleep
22. Sembunyikan Aib Saudaramu
[Reminder] Puasa Arafah
[Reminder] Eid Adha Mubarak!
23. Perayaan Idul Adha
24. Percaya Janji
25. Galau Jadi Kacau
26. Babi Berlogo Halal
27. Dilarang Kepo!
28. Sunnah yang Terlupakan
29. Mengemudi Hati di Jalan yang Lurus
30. Tanya Jawab
31. Almautu Haq
32. Ketika Aku Jatuh Cinta
33. Memilih Pemimpin
34. Pendosa
35. Pekan Spesial
36. Shaum
37. Ajakan Kebaikan
[HAMASSAAD INSTAGRAM UPDATES]
38. Batas
[Reminder] Kuy Puasa Sunnah di Pekan Spesial!
39. Fenomena Sosial Media
40. Mengejar yang Allah Janjikan
41. Puji Pujian
42. Bacaan yang Menolong
43. Lil' Brother to Sister
44. Brother to Lil' Sister
45. Otewe Dufan
46. Obrolan dengan Ipat
47. Di Dufan!
[Reminder] Reading Al Kahfi
48. Cemburu
49. Ribut
50. Tak Tersentuh
51. Sekufu
52. Jangan Sok Pintar

11. Tholibul Ilm

2.9K 455 172
By uniessy

Serial HAMASSAAD – 11. Tholibul Ilm

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2016, 22 Agustus 2016

-::-

"Pedas ngga, A?" tanya Fatima pada Hamas yang kini sibuk mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru pasar malam. Sesekali Hamas sibuk cengar-cengir saat beberapa gadis melempar pandang dan berbisik-bisik satu sama lain sembari menutupi mulut mereka.

"Eh? Pedes ya bolehlah," sahut Hamas, menanggapi pertanyaan Fatima perihal level pedas atas pesanan kebab mereka.

Fatima mengangguk dan menyampaikan jawaban Hamas pada penjual kebab. Hamas kepalang janji membelikan Fatima kebab saat sebelum berangkat tadi. Jadi dia dan Fatima menepi ke penjual kebab sementara Indra dan Saad mampir ke penjual kaus.

"Nih, Pat," Hamas menyodorkan selembar uang kertas warna biru senilai lima puluh ribu rupiah. Fatima menerimanya dan memegangi uang tersebut sembari menunggu kebab pesanan mereka selesai dibuat. "Lo mau cotton candy ga?" tanya Hamas tiba-tiba.

Fatima mendongak, "Cotton candy tuh apa, A?"

"Itu yang gula-gula kapas gitu masa lo kaga paham?" Hamas menggerakkan dagunya ke satu penjual gula-gula kapas.

"Gulali?" tanya Fatima sembari menahan tawa. "Gulali itu mah, A. Bukan cotton candy."

"Ye, itu mah bahasa kamp—lo mau kaga?" Hamas bergegas meralat kalimatnya. Ngeri Fatima tersinggung.

Fatima menggeleng, "Terima kasih, A. Tapi makan kebab juga sudah kenyang."

Hamas nyengir lagi, mendadak senang sekali berbincang dengan Fatima. "Lo udah punya pacar ya, Pat?"

Fatima terlihat agak terkejut dengan pertanyaan Hamas. "Tidak boleh pacaran kata A Saad. Haram, A."

"Idih, Saad mah apa juga haram kata dia, Pat," tukas Hamas cepat. Matanya melirik Saad yang sedang mengangkat satu kaus dari gantungan.

"Seriusan, A. Teman Ipat juga banyak yang pacaran ujungnya galau. Hamil. Na'udzubillaah..."

Hamas menghela napas pendek. Anyep, pikirnya. Ternyata ga adek, ga abang sama bae...

"Ya cowok yang lo suka deh," Hamas masih tak mau menyerah. "Masa lo kaga ada cowok yang disuka? Kaga normal dong?"

Fatima cengengesan, "A Hamas mau tahu aja apa mau tahu banget?"

"Sett, bocah bisaan banget ngeledek gue," kata Hamas dengan mimik wajah seolah dia geram sekali dengan jawaban Fatima, membuat Fatima terkikik geli.

"Ya ada atuh, A..." sahut Fatima kemudian. Hamas terdiam.

"O."

"Tapi ngga Ipat pikirkan," kata Ipat lagi. "Kata A Saad, harus fokus belajar, lalu kuliah. Lagian kata A Saad, kalau Ipat sudah tidak bisa mengelola hati, ya sudah mendingan nikah saja sekalian..."

"Eh seriusan si Saad ngomong begitu?" Hamas terbeliak. Dilihatnya Ipat mengangguk. "Lo disuruh kawin? Kan lo masih bocah?"

"Kata A Saad, Ipat sudah besar. Sudah baligh. Sudah harus bisa bertanggung jawab. Kalau suka sama lelaki dan tidak bisa mengendalikan, mendingan nikah saja sama lelaki itu. Begitu kata A Saad..."

"Lah gimana dah, masa tiap lo suka cowok, lo langsung minta dia nikahin lo kan konyol. Pacaran kan buat perkenalan dulu biar kaga kayak beli kucing dalam karung!" Hamas masih berusaha mematahkan apa yang diyakini Fatima.

Setan banget ini si Hamas...

"Kata A Saad—"

"Lo kayaknya ngefans banget sama Saad ye, Pat? Apa-apa kata dia mulu?"

"—kalau hati kita nyangkut ke seseorang, hal pertama yang kita lakukan adalah cerita ke Allah."

"Wah, beneran ngefans ini bocah sama abangnya..."

"Allah yang mahatahu isi hati kita, A..."

"Beneran sebelas-dua belas dih najong dah, kena tausyiah dadakan nih gue?"

"Bukan kitu atuh, A Hamas mah baperan," sela Fatima sambil tertawa-tawa. "Tapi kan sekalian ngobrol ya ngga apa-apa atuh nya, selingan..."

"Bokap lo pasti straight banget ye urusan agama?" kata Hamas lagi. "Ini berjilbab juga disuruh bokap ya?"

Fatima menggeleng, "Bukan atuh, A," katanya. "Tapi disuruh Allah. A Hamas juga shalat kan diperintah Allah? Bukan diperintah ayahnya?"

"I-iya sih," Hamas mengacak rambutnya sendiri. Meski seringnya dipaksa Saad gw mah, batin Hamas.

"Ini, A," Fatima menyerahkan seporsi kebab pada Hamas, yang langsung diterima Hamas dan membuka bungkusnya, memakannya dengan brutal. Dia melongo pada kunyahan pertama saat melihat Fatima memerhatikannya dengan takjub.

"Kok kaga dimakan?" Hamas merujuk pada kebab di tangan Fatima.

"Nanti, di rumah. Masa makan sambil berdiri? Kayak kambing..."

"Uhuk, uhuk!" Hamas terbatuk dan sibuk menguasai diri.

"Maaf, A, bukan maksud mau bilang A Hamas kayak kambing—eh, maksudnya... aduh kumaha ieu..."

"Gapapa. Gapapa," kata Hamas cepat. Dia bungkus lagi sisa kebab yang belum dimakan dan meminta Fatima untuk membawakannya di dalam plastik. "Kita ke Saad aja kuy."

Fatima berjalan sejajar dengan Hamas dan begitu heran kenapa banyak sekali orang memerhatikannya. Tapi wajahnya langsung semringah ketika melewati penjual tahu bulat.

"NISA!" panggil Fatima pada seorang gadis berhijab biru dongker. Dan yang dipanggil menoleh, ikut mengembangkan senyuman lebarnya.

"Eh, Ipat! Ke pasar malam juga? Tadi Nisa mau ajak Ipat tapi tidak enak hati sedang ada tamu," Nisa melirik Hamas dan melempar senyum sekilas. "Kamu jalan berduaan sama teman A Saad ya? Ih parah si Ipat! Bikin gosip nanti!" bisiknya gemas.

"Enak aja!" Fatima tak terima. "Ke sini dengan A Saad dan Kang Indra. Tuh, mereka di sana."

"A Indra ngapain ke sini? Tadi diajak katanya mau tidur! Sebel!" gerutu Nisa begitu melihat Indra mencoba satu kaus warna abu-abu.

"Yuk ke sana aja, Nis," ajak Ipat. Digandengnya lengan Nisa dan melangkah bersama menuju para kakak lelaki yang sedang sibuk memilih kaus.

"Ketemu Nisa, Pat?" tanya Saad begitu dilihatnya sang adik menghampiri.

"Iya, ternyata Nisa ke pasar malam duluan, A. Kirain tidur di rumah..."

"A Indra, kenapa Nisa teu diajak ke pasar malam? Jahat ih A Indra mah!"

"Weh, Nisa, kamu ke sini pasti minta jajan. Urang lagi hemat-hemat..." sahut Indra. "Mang, urang beli yang ini saja. Dibungkus, sok..."

"Jajan juga sebanyak apa sih A Indra mah reseh. Itu malah beli baju!" Nisa terlihat merajuk. Hamas sampai menahan tawa gelinya melihat perang saudara dadakan.

"Ini urang beli karena butuh. Mau ngapel kapan-kapan," kata Indra, tertawa-tawa. Padahal jadian juga belum dengan Marisa, pikirnya.

Selesai menunggu Indra bertransaksi, mereka memutuskan pulang saja karena hari sudah lewat dari jam sembilan malam. Jarak pasar malam yang agak jauh dari rumah mereka, membuat mereka mengisi perjalanan dengan mengobrol.

Hamas, Saad, dan Indra berjalan di depan. Sementara Nisa dan Fatima berjalan mengikuti mereka di belakang.

"Belum bilang, Pat," bisik Nisa takut-takut. "Kemarin baru bayar tahsin. Ah, Nisa mah takutan... Tapi sudah bilang ke A Indra..."

"Sok atuh mendingan usaha dulu, Nis..." bisik Fatima lagi.

Mendengar bisik-bisik dari keduanya, Saad bersuara. "Ngobrolin apa, Pat? Bisik-bisik di banyak orang kan ngga baik..."

"Euhm, ini, A... si Nisa mau ikut Muslimah Academy, tapi belum daftar..." kata Fatima. Dia menyikut Nisa agar mau bicara. "Ya kan, Nis?"

"Iya," jawab Nisa pelan, "A Indra, Nisa mau ikut Muslimah Academy yang kemarin Nisa bilang. Bayarin atuh, A..."

"Atuh mahal, Nis! Masa 350rebu minta ke Aa? Minta sama Abah aja sanah!"

"Iya, Kang Indra, bayarin atuh. Ipat aja sudah daftar. Sudah bayar lunas."

"Tah, Ipat mah abahnya banyak uang. Aduh, Nis, kamu mah kenapa minta bayarin di dekat banyak orang sih? Bikin malu wae."

"Buat adek sendiri, Dra, ngga usah perhitungan..."

"Cicing maneh, Ad. Urang nyari uang sampai patah pinggang ini, buat modal ngelamar anak pak haji, tahu teu?"

"Muslimah Academy apaan tuh?" tanya Hamas yang sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan mereka.

"Kegiatan buat muslimah, A..."

"Ye gue tahu kalik buat muslimah. Namanya aja Muslimah Academy. Lama-lama lo mirip sama Saad juga sih, Pat..."

"Hehehe, itu, A... Muslimah Academy nanti di sana belajar olahraga sunnah. Kayak memanah sama berkuda."

"Berkuda? Udah kayak warrior lo ntar..."

"Memanah dan berkuda dan berenang sih sebenarnya, A. Tapi yang berenang kapan-kapan kitu katanya."

"Di mane tuh? Buat cowok kaga ada?"

"Belum kayaknya mah, A. Tapi belum tahu juga, coba nanti Ipat tanyakan."

"Ada kayaknya mah, Pat..."

"Beneran, Nis? Coba ah nanti nanya ke adminnya..."

"Ejangan jangan... Kaga usah, Pat."

"Si Hamas mah orang kaya, ada juga dia kerjain nih kayaknya! Beda sama urang. Udah, Nis. Kapan-kapan aja!"

"Antum mah kebangetan, Dra."

Kemudian mendadak semua hening. Hamas cengengesan melihat Indra yang salah tingkah.

"Kok urang yang kebangetan sih, Ad?" Indra bertanya dengan raut kesal.

"Nisa mau belajar itu kan bagus, perempuan memang harus banyak ilmu. Masa kasih biaya aja ngerasa berat. Nisa juga kan tanggung jawab antum..." jelas Saad.

"Tah, yang begini nih yang pait," Indra geleng-geleng kepala. "Itu pelatihan cuma dua hari, Ad. Bayar 350 ribu. Mahal... kalau mau panah-panahan mah tadi aja minta di pasar malam. Cuma dua puluh rebu."

"Itu mah buat bocah!" Hamas menimpali. "Geblek banget ini orang."

"Ya kan sama intinya memanah. Dah urang mah juga lagi belajar memanah," kata Indra. "Memanah hati Marisa. Eaaa..."

"Najis," umpat Hamas dan refleks membekap mulutnya sendiri.

"Imam Asy Syafi'i berkata; Tholibul 'ilmi afdholu min sholaatinnaa filah. Menuntut ilmu itu lebih utama dari shalat sunnah," kata Saad kemudian. "Apalagi ilmu agama, yang bakal jadi bekal di akhirat."

"Tuh, A... dengarkan..."

"Cicing maneh, Nis!"

"Robiah Bin Abi Abdurrahman, guru dari Imam Malik pernah bercerita, beliau hendak menuntut ilmu agama tapi tidak punya ongkos, sampai naik ke genteng rumahnya dan jual genteng agar dapat uang dan bisa berangkat. Atau Ishaq Bin Rawaih, itu pernah menikahi janda yang diwarisi buku-buku Imam Syafi'i oleh mendiang suaminya," kata Saad lagi. "Saking sebegitunya biar dapat ilmu, Dra..."

Padahal yang dikasih tausyiah si Indra. Yang ketohok si Hamas...

"Tuh, apa perlu Nisa jual genteng rumah, A?" rajuk Nisa sok mandja.

"Ngga perlu atuh, Nis," ucap Saad. "Nisa kan punya abang meuni kasep, banyak uang... masa keberatan keluar uang buat adiknya menuntut ilmu?"

"Ah, maneh mah keterlaluan..." Indra mengerang. Tangannya mencengkeram bungkus plastik berisi kaus yang baru ia beli. "Iya, Nis, nanti A pikirkan lagi. Doakan besok banyak objekan Uber nya?" kata Indra, mendekati adiknya, merangkulnya dengan penuh rasa sayang.

Wajah Nisa langsung semringah. "Nisa pasti doakan, A! Semoga rezekinya banyak dan berkah! Nanti Nisa bantu promo ke Teh Marisa kalau begitu!"

Mata Indra membesar, "Beneran, Nis?"

Hamas dan Saad geleng-geleng kepala, sementara Fatima tertawa-tawa.

"Masih pamrih aja," komentar Saad.

"Nisa sih, Kang Indra jangan diPHPin atuh," kata Fatima. "Teh Marisa kan banyak yang kasih proposal..."

"Proposal?" gumam Indra. Dilepasnya tangannya dari Nisa, dan beralih ke Fatima. "SERIUSAN, PAT?"

Indra langsung heboh. Saad sampai harus menarik Fatima agar menjauh dari wajah Indra yang tiba-tiba mendekati adiknya.

"Santai, Dra..." kata Saad setelah Fatima bersembunyi di balik punggungnya.

"Ih, jangan bercanda atuh, Pat... ini urusannya sama hati. Hati urang yang urang jaga baik-baik..." Indra melas, tangannya yang terkepal diletakkan di depan dada. Mukanya pas banget kalau disuruh main sinetron ratapan anak pungut.

"Ampun, Kang, ampun..." kata Ipat dari balik punggung Saad. "Ipat baru dengar aja kemarin pas halaqah, Teh Marisa katanya dapat beberapa proposal. Ipat kurang paham proposal apah..."

Hamas menarik kerah belakang Indra saat dilihatnya Indra masih gencar menghampiri Fatima. "Jangan macem-macem maneh..."

"Apa sih!" Indra melepaskan tangan Hamas dari kerah bajunya. Dia benar-benar sedang galau rupanya.

"Proposal kerja kali, A..." Nisa was-was. Takut keputusan Aa-nya berubah lagi.

"Nah, tugas kamu, Nis. Cari tahu itu proposal apah, baru nanti A kasih uang buat daftar apa tadi tuh?!"

"Ih A Indra kok gitu sih!!!" Nisa mulai sewot. Hamas sampai berjengit melihat wajah Nisa yang merajuk. Asli, nyeremin meski masih ada manis-manisnya gitu.

"Sabodo!"

Indra tidak peduli. Dia menderapkan langkahnya masuk ke dalam halaman rumahnya yang memang sudah tak seberapa jauh. Nisa terpaksa mengejar kakak lelakinya itu dengan harapan semoga kakaknya tidak benar-benar ngambek.

"Kocak ye si Indra," kata Hamas. Mereka bertiga jalan lagi, menuju rumah Saad dan Fatima.

Fatima tertawa, "Kang Indra mah baik, asal pinter aja ambil hatinya."

"Lah tapi kesian si Nisa. Punya abang baperan," kata Hamas lagi.

"Nasib, A," balas Fatima sambil terkekeh.

"Ngomong-ngomong... asli, Ipat sudah daftar dan bayar lunas?" tanya Saad pada adiknya. Dilihatnya Fatima mengangguk.

"Sudah. Pakai uang Ipat sendiri, A. Boleh nabung," jawab Ipat. Gigi-ginya terlihat. "Tapi uang jajan di sana belum ada. Hehehe."

"Gampang itu mah," kata Saad. Dirangkulnya lagi sang adik. "Nanti A bagi. Uang Aa masih ada kalau buat Ipat mah..."

Dan Hamas melangkah gontai di belakang keduanya. Mengekor Saad dan Fatima memasuki rumah, Hamas tiba-tiba menyesal kenapa orangtuanya begitu patuh pada pemerintah dengan hanya memiliki dua anak saja cukup.

Sebab rasanya kan asik jika punya adik perempuan seperti yang dimiliki Saad dan Indra.

Akan ada orang yang menjadikannya tempat bermanja. Dengan halal. 

Ettdah, kalau gue minta adek sama nyokap, yang ada gue disuruh kawin. Ogah amatan!

Mungkin bisa, Bang Hamas... punya ADEK KETEMU GEDE EEEEAAAAAA  *HALALIN AQ MZ* #digeplakpakesendal

Continue Reading

You'll Also Like

11K 967 22
Kenalilah sahabatmu, dengan pergi safar bersamanya. Season 5 yak ini :D Khayran insyaaAllah
1.6K 294 32
Rona senja mengingkari ekspresi jingga, menarik impresi warna kelabu sebagai gradasi panorama. Namun, Caraka tetaplah esensi utama, pada selarut ra...
1.7K 241 9
Satu pemukiman tenang, satu rumah indah dan sebuah rahasia kelam, menyambut Wu Xie kala ia menginjakkan kaki di Magnolia State. Dia bermaksud untuk...
1.4K 107 16
Ketika Diri menyadari bahwa darah yang mengalir berwarna biru. Kehidupan biasa pun seketika berubah jadi Seru... Sima Anggara tak bisa berkata apa...