Broken Wings

By claudieazalea

1.1M 68.1K 1.8K

Pernikahan seharusnya menjadi impian yang menyenangkan bagi banyak wanita. Tapi tidak dengan Kara. Pernikahan... More

1. Penderitaan
2. Bertahan
3. Menenangkan Diri
4. Benci untuk mencinta
5. Keresahan baru
6. Seseorang dari masa lalu (1)
7. Seseorang dari masa lalu (2)
9. Penolakan
8.Penguasaan diri
10.Kejutan
11. Alasan untuk tersenyum
12. Mimpi Buruk
13. SATU (#1)
14. Segala sesuatu ada maksudnya
15.Ketika rasa itu perlahan mulai datang
16. Membunuh perasaan
17. Te Amo
18. Ambigu
19. Yang ditakutkan terjadi
20. Double Shit
21. Perjanjian tak tertulis
22. Salahkah aku yang berharap?
23. Gosip
24. Bahu yang kuat
25. Konfrensi pers dadakan
26. Apa yang terjadi?
27. Refleksi masa lalu
28. Lebih dari sekedar rasa nyaman
29. I'm Sorry.. I can't
30. Filosofi gerbang Bradenburg
31. Mencintai dalam diam
32. Check up
33. Titik permulaan kesadaran
34. Angin segar
35. Apa yang kau lakukan terhadapku?
36. Perkelahaian
37. Lakukan demi hati
38. Keputusan
39. Upaya perdamaian
40. Waktu perenungan
41. Rindu
42. Ingin diperjuangkan
43. Rumah
POLLING PEMBACA
45. I'm Yours
Tanya pembaca (Pemberitahuan)
REQUEST CERITA

Extra Part

37.6K 1.4K 62
By claudieazalea

Permasalahan boleh ada, masalah akan bagaimana kita nanti.. itu tergantung respon kita. Pilihlah, ingin menjadi kuat atau menjadi lemah.

Dengan sabar Kara menunggu Javier yang sedang melakukan sesi wawancara dengan para wartawan, gala premier untuk debut film historical romance terbarunya memang banyak menuai pujian dimana-mana.Javier di klaim berani meninggalkan zona nyamannya dari film laga karena berhasil memerankan adegan romantis dengan sangat baik.

Tak jauh dari tempatnya duduk, Helena menghampiri Kara. Tatapannya tertumpu sebentar kepada perut membuncit milik Kara. Lalu dengan tulus, ia menyapa Kara.

"Selamat buat kesuksesan film baru Javier," sederet senyum terlukis di wajahnya. Kara yang melihat kedatangan Helena, ia balas melemparkan senyum pada Helena.

"Terimakasih. Tapi bukankah lebih baik kau mengucapkannya secara langsung?"

"Really? Ku pikir kau akan melarangku..." ia tertawa kecil "Mengingat apa yang ku lakukan terhadap kalian dulu." Wajahnya berubah sendu. Ia menundukkan kepalanya, lagi-lagi karena gerakan kepalanya itu, tanpa sengaja ia melihat perut yang membuncit itu lagi.

"Berapa bulan?" Tak tahan, akhirnya Helena bertanya.

"Heh?"

"Kandunganmu, Kara." Helena mengulum senyumnya. "Bukankah ini alasanmu ada disini? Lelah untuk berdiri karena usia perut yang membuncit."

Kara tertawa pelan, ah rupanya ada yang menyadari maksud terselubungnya. "Kau benar. Melelahkan memang di usia kandungan tujuh bulan begini berdiri terlalu lama. Dan lihatlah kesana..." Kara melemparkan pandangannya ke sekurumunan wartawan dan para fans yang mengelilingi Javier. "...disana sesak, banyak wartawan. Bisa-bisa aku mati kehabisan napas."

Helena mengamati kerumunan wartawan dan para fans itu. Diam-diam dalam dirinya ada sedikit perasaan iri melihat kebahagiaan Javier saat ini. Seharusnya, dia yang saat ini duduk disini, sambil mengelus perut buncitnya dan menunggu Javier. Diam-diam ada perasaan menyesal dalam dirinya, seharusnya dia tidak mengakhiri hubungannya dengan Javier. Seharusnya... dia wanita yang berada dibelakang layar hidup Javier sekarang.

Tetapi dia tahu, semua itu tidak mungkin. Bahkan semakin tidak mungkin ketika pada akhirnya dia dan Hendrik Liam sah dalam perceraian. Dia trauma untuk membangun rumah tangga lagi... setidaknya dalam waktu dekat ini. Dan perceraian itu pula yang pada akhirnya sukses membuat dia tersadar, tidak ada seorangpun yang menginginkan rumah tangganya berakhir menyedihkan. Tidak ada seorangpun orang yang siap dilabeli janda atau duda dalam usia yang masih terbilang muda. Kesadaran diri itulah yang pada akhirnya membuat Helena untuk berubah... untuk tidak lagi mengusik rumah tangga Javier, karena dia tahu bagaimana sakitnya menjadi korban.

"Lelaki hebat pasti karena ada perempuan hebat dibelakangnya. Apa yang kau lakukan sudah menunjukkannya, Kara. Seandainya aku bisa seperti itu..." pikirannya mulai melalang buana, pada kebahagiaan sesaat yang dikecapnya bersama Hendrik Liam.

Kara memindahkan tatapannya ke arah Helena. "Kita sama, Helena. Kehebatanmu bahkan melebihi kehebatanku. Perempuan yang masih bisa survive setelah perceraiannya bukanlah hal yang mudah. Ku katakan.. kau berhasil melaluinya, kau hebat. Sungguh." Pujian dari mulut Kara terdengar tulus. Memberi kesan hangat di dada Helena. Refleks ia memeluk Kara, menganggapnya sebagai seorang sahabat.

"Terimakasih. Kau tahu... aku selalu ingin untuk didukung seperti ini. Pujianmu membangkitkan semangatku, aku jadi paham mengapa Javier ngotot mempertahankanmu."

"Hubungi aku kapanpun kau perlu teman untuk bercerita..." Kara mengusap punggung Helena.

"Anytime?"

"Ya... anytime."

***

Ketika keadaan sudah sedikit sepi, Javier mendatangi Kara yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Kara bangkit berdiri, ia tersenyum lega ketika akhirnya suami yang amat dicintainya itu mendatanginya.

"Lama menunggu?"

Kara menggeleng pelan. "Tidak juga.."

"Si junior kita? Bagaimana?" Javier menurunkan tangannya ke perut buncit Kara. "Semoga dia nyaman berada didalam sana.." Javier memindahkan tangannya ke pipi Kara, ia mengusapnya pelan.

Junior adalah panggilan sementara yang disematkan Javier pada anak dalam kandungan Kara. Beberapa bulan lalu saat USG dinyatakan bahwa jenis kelamin bayinya adalah laki-laki. Mendapat kabar yang super membahagiakan itu, bahkan Papa Jodi sudah menyumbangkan satu nama untuk cucu laki-laki penerus keluarganya. Tidak ketinggalan Ibu Mirna juga.. Banyaknya daftar nama membuat Javier kebingungan sendiri menentukan nama mana yang mau dipakainya. Alhasil.. untuk mempermudah komunikasinya dengan bayi dalam kandungan Kara, dia menyebutkan bayinya Junior.

Ia seringkali bercakap-cakap dengan juniornya. Hal yang tak pernah dilakukannya dulu selagi Marsha ada dalam kandungan Kara.

Seperti:

Junior, Papa berangkat shooting dulu ya. Jangan lasak. Jagain Mama.

Papa sudah pulang, Junior. Hari ini nggak bandel, kan?

Percakapan-percakapan ringan itu dilakukan sebelum dan sesudah pergi bekerja, sambil mengelus perut Kara dan menempelkan telinganya disana.

Atau pernah juga dia mengatakan begini..

Kamu kalau sudah besar jangan ikutin Papa ya. Papa ini nggak ada bagus-bagusnya, kasihan Mama kamu. Nanti calon istri kamu jadinya kasihan juga. Junior, kamu harus lebih baik dari Papa. Kalau gantengnya jangan melebihi Papa deh, nanti Mama kamu lebih cinta sama kamu lagi daripada sama Papa.

Kalau sudah begitu, Kara hanya bisa tergelak geli. Memangnya dia apa? Pedofil? Dan biasanya Kara akan ikut menyahut sambil mengelus perutnya...

Kalau Papa nggak sudi kamu jauh lebih ganteng dari dia, yaudah kamu tiruin muka Mama aja ya sayang... Biar aja tuh orang-orang ngira kalau Junior bukan anaknya Javier Reynardi.

Yang akan segera dibalas Javier dengan menarik lembut hidung mancung Kara. Hingga obrolan pun menjadi terfokus kepada mereka berdua.

"Kalau bercanda yang bagus sedikit dong, Sayang. Masak anaknya sama sekali tidak ada mirip-miripnya sama Papanya? Ya minimal adalah sedikit duplikat Papanya... entah matanya, hidungnya, alisnya... kan gitu adil."

"Ya iya... makanya jangan sembarangan ngomong ya, Boo.. jelas-jelas ini anakmu.. kalau tidak seganteng Papanya memang mau mirip siapa lagi?"

Mereka pun hanyut dalam tawa.

Dan kalian harus tahu ini... Javier mencintai keluarganya yang sekarang. Sangat malah.

***

Saat mereka bersiap untuk pulang dan berjalan ke parkiran, seseorang menghalangi langkah mereka. Laki-laki dengan perawakan tinggi, tampan dan bergaya casual. Seorang diri pula. Javier mengernyit heran, menebak-nebak siapakah gerangan pria ini. Apakah salah satu wartawan? Tapi ditangannya dia tidak membawa kamera atau perlengkapan wawancara apapun. Apakah seorang sutradara yang ingin menawarkan kontrak kerjasama? Jelas bukan. Potongannya sama sekali tidak menandakan ke arah sana. Dia bahkan masih terbilang muda, masih kuliah barangkali. Ah atau mungkin fansnya? Yaya.. melihat potongan tubuhnya sih begitu. Apalagi melihat kertas karton berukuran polio digenggaman tangannya dan sebuah spidol. Javi mengira mungkin si fans ini mau minta tanda tangan. Sebenarnya, hal yang jarang dilakukan untuk fans di jaman sekarang. Mereka biasanya minta foto bersama ketimbang tanda tangan.

"Maaf mengganggu, Mas Javi..." lelaki itu berujar dengan sopannya. "Saya Ben. Boleh saya minta tolong?"

Masih dengan sedikit heran, Javier mencoba bersikap ramah padanya. "Ya. Ada yang bisa saya bantu?" Semakin heranlah Javier karena sikapnya lebih mirip orang tersesat yang minta ditunjukkan jalan ketimbang fans.

"Pacar saya ngefans sama Mas Javi.."

Ah i see... Javier mulai mengerti. Disusul dengan senyuman tipis dari bibir Kara. Lucu memang melihat tingkah anak muda jaman sekarang.

"Dan dia mau ulangtahun dua minggu lagi, Mas. Saya berinisiatif untuk memberi dia hadiah.."

Javier paham. Tapi yang dia tidak paham, apa yang bisa dia lakukan untuk pacar si lelaki ini?

"Kalau Mas tidak keberatan, boleh tidak Mas tuliskan di karton ini ucapan selamat ulangtahun buat pacar saya, kemudian saya abadikan momen ini lewat kamera saya. Di videoin, di foto juga. Dia pasti senang sekali. Saya khusus kesini untuk ini, Mas. Saya mau kasih kejutan sama dia."

Kara mengangkat wajahnya, ia menatap Javier yang menjulang diatas kepalanya. Dari bawah ia bisa melihat sikap Javier yang nampak menimbang-nimbang. Dalam hati Kara berharap semoga Javier tidak mematahkan semangat pria itu.

Mungkin momen ini sungguh asing dirasanya. Tapi Javier tidak menampik, dia salut dengan keberanian dan keanehan lelaki itu. Cintanya yang besar membuatnya rela terlihat alay. Padahal, pria mana sih yang mau repot-repot begini? Mudahnya, kan dia bisa saja memberikan seikat bunga atau satu kue ulangtahun untuk kejutan. Tapi pria yang ada dihadapannya ini memilih cara yang berbeda.

Perlahan, Javier melepas eratan tangan Kara di lengannya. Kemudian ia berjalan menghampiri pria itu, selangkah lebih dekat. "Berikan spidol dan kartonnya. Biar saya yang menulis. Siapa nama pacarmu?"

Pria bernama Ben itu mengangguk antusias. "Tentu.. tentu.. ini, Mas."

Javier meraih pulpen dan karton yang disodorkan Ben. Ia menuliskan happy birthday di atas karton itu dengan spidol hitam. Namun, gerakan tangannya tiba-tiba berhenti saat Javier akhirnya menyadari, sejak tadi pria itu tak menyebutkan siapa nama kekasihnya.

"Siapa namanya?"

Ben dengan mata berbinar menatap Javier. Seolah matanya ikut berbicara manakala dia mengucapkan nama kekasihnya itu. Seolah bahkan hanya sebuah nama saja mampu membakar jiwanya. "Nay. Lengkapnya Naimauli Tobing."

***

Makan malam baru saja selesai dan Kara merapikan semua piring kotor yang tersisa diatas meja makan. Dia dengan telaten melayani suaminya, pun membereskan pekerjaan rumah tangganya. Dia menolak kehadiran asisten rumah tangga di rumah ini, katanya nanti saja saat usia kandungannya sembilan bulan dan dia mau melahirkan baru dia mau menggunakan jasa asisten rumah tangga. Dia berprinsip, suaminya tetap harus dilayani dengan tangannya sendiri.

Dan Javier bukan lagi pria tega tak memiliki nurani yang membiarkan Kara bekerja sendirian tanpa dibantu. Dia sepenuhnya tahu, istrinya itu tidak boleh terlalu lelah.

Dia mengambil inisiatif meletakkan piring ke rak penyimpanan dan Kara yang membersihkannya. Seperti malam ini, saat mereka ada di dapur.

"Aku senang kau menyambut hangat pria bernama Ben tadi.. tadinya aku takut sekali kau mematahkan semangatnya." Bunyi kran air mulai terdengar, Kara membilas piringnya.

"Tadinya mau ku tolak. Ku pikir alay sekali dia. Tapi...." kalimat Javier tertahan ketika dilihatnya Kara menyodorkan piring kepada Javier. Dia mengambil lap bersih dan mengeringkannya. "Tapi tidak jadi... kau tahu apa yang membuatku berubah pikiran?"

"Apa?"

"Dia meruntuhkan keegoisan dalam dirinya. Dia tidak malu untuk terlihat berlebihan demi pujaan hatinya. Aku belajar banyak darinya. Ku pikir selama ini aku bahkan belum bisa seperti itu."

Kara menggeleng pelan sambil menyunggingkan senyum tipisnya. "Kau salah. Kau bukan belum bisa. Kau hanya tidak menyadarinya."

"Masa?"

Kara mengangguk. "Ya. Contohnya saat kau mengakui kesalahan dan kekuranganmu. Sadar tidak semua itu membutuhkan keberanian untuk membuatmu akhirnya meruntuhkan sisi egois dalam dirimu?" Dia mematikan kran, memutar tubuhnya dan meletakkan jari telunjuknya diatas dada bidang Javier. "Disini.. kekerasan logikamu kalah disini. Di hati ini."

Dengan cepat Javier meraih telunjuk Kara kemudian menautkan jemarinya di jemari lentik Kara. "Kau pemenangnya, Angel."

"I know."

Javier merapatkan tubuhnya pada Kara. Mereka lupa pada aktifitas mereka sebelumnya. Lihatlah, bahkan piring-piring kotor belum semuanya dibersihkan. Dia melempaskan kaitan jemarinya di jemari Kara, kemudian menangkupkan wajah Kara dengan tangannya. "Ku rasa bukan ide yang buruk kan untuk bercinta disini?"

Wajah Kara memanas. Ia menunduk. "Jav..."

Javier tergelak dalam tawa. "Hahaha... bercanda-bercanda. Lagian aku cukup waras untuk menidurimu di tempat terempuk diatas tempat tidur. Bukan diatas kitchen set atau meja makan. Junior pasti tidak nyaman." Ia menggoda Kara lagi.

"Sudah.. sudah..!" Wajah Kara benar-benar seperti kepiting rebus sekarang.

"Hahahaa.. okey. Okey!" Javier akhirnya menyerah. "Tapi... bukan berarti aku tak boleh mencium istriku sendiri, kan?" Ia menyentuh dagu Kara agar terangkat menghadapanya.

"Boleh?"

Kara mengangguk.

Mendapat persetujuan, Javier mendekatkan wajahnya ke wajah Kara. Dia ingin sekali menyentuh bibir itu dengan bibirnya. Kara yang sedang hamil benar-benar membawa gairah tersendiri bagi Javier.

Bibirnya hampir saja menyentuh bibir Kara.... sebelum akhirnya suara handphone yang diletakkan diatas meja makan, tanda panggilan masuk membuyarkan keintiman mereka.

"Shiiitt!!" Javier menggumam kesal. Refleks ia menjauhkan tubuhnya dari Kara. Tetapi ia sama sekali tak berniat pergi dari hadapan Kara.

Kara hanya tertawa kecil. Tahu benar bahwa hal-hal seperti ini adalah hal yang dibenci suaminya. Pelan, ia mendorong tubuh Javier. "Sudah, angkat dulu sana. Siapa tahu penting."

Malas-malasan, akhirnya Javier menurut juga. Dalam hati dia bersumpah, siapapun yang mengganggunya benar-benar harus diberi pelajaran.

"Ya. Hallo?" Javier mengernyitkan kening karena nomor yang tertera di layar handphonenya adalah tak bernama, nomor baru.

Orang disebrang terdengar tak menyahut apapun. Hening.

"Hallo?" Sekali lagi Javier menyapa. Bagus, jadi ini telepon salah sambung yang mengganggu keintimannya?

Hening lagi. Javier masih menunggu orang disebrang menjawab. Lalu tak lama terdengar suara desahan napas dari seberang. Seperti baru saja melepas beban.

"Javier? Ini Mama, Nak.."

Wait.. wait... apa katanya?

"Ini Mama Riska. Masih ingat kan, Nak?"

Seketika dunia Javier terhenti seketika.

***

Kara menepuk-nepuk punggung tangan suaminya diatas meja makan. Semenjak telepon tiba-tiba itu, Kara sepenuhnya menyadari bahwa Javier mengalami shock batin. Ibu yang selama ini meninggalkannya baru saja menelponnya. Dan buruknya, dia baru tahu bahwa sudah enam bulan ini Mama dan Papanya menjalin komunikasi.

Kenapa Papanya merahasiakan hal ini darinya?

"Mungkin Papa punya alasan sendiri, Boo, mengenai mengapa dia tak mengatakannya padamu.. mungkinpun dia menunggu waktu yang tepat."

"Alasan apapun, Kara. Papa tidak seharusnya begini. Dimana Mama? Selama ini hal itu yang ku tanyakan. Dimana kebahagiaanku yang lain disaat aku sudah memilikimu seutuhnya dalam hidupku?"

"Jangan salahkan, Papa. Selama ini kau bahkan terlihat menolak Mama disetiap perbincangan kalian, mungkin dia takut kau melakukan penolakan."

Javier menarik napasnya perlahan. Ia memandang sendu kepada Kara. "Kau harus tahu, aku tak setega itu. Kau harus tahu.. bahwa akupun merindukannya. Kau percaya, kan?"

Kara bangkit berdiri. Ia membawa Javier yang masih duduk itu dalam pelukannya. Kepalanya bersandar pada perut buncit Kara. Pelan, Kara menepuk pelan punggung Javier.

"Aku percaya. Apapun yang kau katakan aku percaya."

Tepat saat Javier menempelkan kepalanya ke perut Kara, disaat itulah junior didalam sana bergerak. Tendangannya bahkan menyadarkan Javier dari kesedihannya.

Javier mengangkat wajahnya menatap Kara yang sudah mengulas senyum manisnya.

"Dia bergerak.." ucap Javier pelan.

Kara mengangguk. "Dia menghibur Papanya. Junior merindukan neneknya."

Javier memberinya tatapan yang berkaca-kaca, dia terharu. Pergerakan dalam kandungan Kara juga kata-kata Kara pada akhirnya membuat Javier yakin, keluarganya harus utuh kembali.

Dan Javier tahu dia harus berbuat apa.

***

Setelah penjelasan panjang lebar mengenai hilangnya Mama Riska selama ini, Javier mencoba memaklumi keadaan Mamanya. Minimnya perhatian dan quality time Jodi dengan istrinya membuat Riska memilih hidup bebas dan menjalin hubungan dengan seorang brondong. Satu tahun hidup bersama brondong ternyata tidak menjamin kebahagiaannya. Brondong itu memiliki motif terselubung, yang ternyata menguras habis-habisan hartanya. Dan selama belasan tahun, Riska hidup dalam kemiskinan. Dia bahkan malu untuk kembali ke keluarganya.

Pertemuannya enam bulan lalu dengan Jodipun terjadi tanpa kesengajaan. Di sebuah pedesaan di Jawa Barat. Tempat pertama kali mereka bertemu. Bermaksud melepas rindu kepada Riska, Jodi memilih bernostalgia ke tempat kenangan mereka. Namun, siapa sangka.. rupanya Riska sudah lama tinggal di desa itu. Nostalgia yang pada akhirnya mengantar mereka kembali bersama.

Banyak kepahitan yang sudah dilalui Mamanya. Dan waktu belasan tahun hidup dalam keterbatasan, bukankah hukuman itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya menyesal? Javier tidak ingin menambah beban itu lagi. Javier ingin melihat kedua orangtuanya kembali bersama.

"Maafkan, Mama. Mama tak akan pernah berhenti mengatakannya padamu, Nak." Kini hanya mereka berdua yang ada di teras belakang rumah Papa Jodi.

"Melihatmu tumbuh besar seperti ini dan sukses.. semakin menambah perih di hati Mama sekaligus bangga. Bangga karena Papamu sudah mendidikmu dengan sangat baik. Sekaligus sedih karena Mama tidak ada disana untuk mengawasi pertumbuhanmu."

Javier mengamati wajah Mamanya lekat-lekat. Hal yang dari sejak dulu ingin dilakukannya. Ia ingin sekali menghitung keriput di wajah Mamanya, mengenali garis wajah Mamanya.. dan hal itu baru terwujud saat ini. Dia harus apa? Tidak ada kata terlambat. Semua indah pada waktunya.

"Ma... apa pernah ada yang mengatakan ini sama Mama... Mama itu tetap cantik walaupun sudah lima puluh tahun."

Semburat kemerahan muncul di wajah Mamanya, bukannya balas menjawab perkataan Mamanya. Javier malah tulus memuji.

Mama Riska menggeleng. "Belum ada. Baru anak Mama yang satu ini mengatakannya."

Ada tangan hangat tak terlihat yang menyentuh telapak tangan Javier. Hangat sekali rasanya. Hangatnya bersamaan saat Mama Riska menyebutkan: anak Mama.

"Papa juga belum mengatakannya?"

Mama Riska menggeleng. "Papamu... dia bukan tipe yang romantis, Nak. Alasan itu kan yang akhirnya membuat Mama mengambil keputusan bodoh untuk meninggalkannya. Mama lupa.. keromantisan bukan hal penting dalam suatu hubungan. Yang penting kesetiaan. Romantis itu hanya bumbu penyedap. Mama lupa, bahkan Mama menjadikan romantis sebagai menu utama."

Javier tersenyum miris. Ngilu rasanya membayangkan kehancuran pernikahan kedua orangtuanya dulu. Ngilu rasanya mengingat trauma yang dihasilkan dan dampak bagi dirinya. Tapi Javier memilih untuk tidak lagi menyalahkan siapapun.

Permasalahan boleh ada, masalah akan bagaimana kita nanti.. itu tergantung respon kita. Pilihlah, ingin menjadi kuat atau menjadi lemah.

Dan Javier tidak ingin lagi bersembunyi dibalik kekerasan hatinya yang sebenarnya lemah itu. Dia ingin menjadi kuat, mengayomi. Demi istrinya, demi anaknya.

"Mama..." Javier memanggil sebutan itu dengan lembut. Hal yang sejak dulu dirindukan Riska dari anak semata wayangnya.

"Ya, Nak?" Riska mengerjapkan kedua matanya, menahan agar airmatanya jangan keluar.

"Terimakasih ya. Terimakasih sudah kembali pulang. Javi rindu, Mama."

Dan... tidak ada alasan lagi untuk menahan tangis, kan? Riska larut dalam keharuannya. Ia memeluk tubuh liat anak semata wayangnya itu. Dia menumpahkan kebahagiaannya disana.

Terpisah jauh dari mereka, dari balik tembok pemisah, ada Papa Jodi dan Kara yang mengamati mereka. Tak tahan dengan keharuan Javier dan Mamanya, Jodi memilih berbalik meninggalkan tempat itu dan menyembunyikan tetes airmatanya dari Kara. Sementara Kara, ia memilih tetap disana sembari menghapus airmatanya. Ia mengelus perut buncinya.

Junior, selamat datang di keluarga bahagia milik kita, Sayang. Nenek sudah pulang.

-----------------------

END


Yaaa akhirnya benar2 tamat deh, nih saya kasih agak panjang.
Alasan saya kasih extra part krn saya rasa belum klimaks, Javier dan Mamanya belum ketemu. Satu masalah itu yg belum selesai. Juga tentang Helena, saya baru sadar.. Helena hilang ditengah cerita dan kasusnya dia belum selesai.
Akhirnya saya perpanjang deh..

Nah disini saya selipin juga kisah Ben dan Naima. Nantinya kisah Ben disini akan jadi kenangan masa lalu yang selalu diingat Naima (ceritanya ada di tulisan saya berjudul Return) dibaca ya hahahahahhahahahahaha...

Emmm... saya juga berencana meg hidden cerita saya yang mendamba, duh bener2 saya susah dpt mood untuk nulis cerita itu, ntah knp. Malah yg return lebih lancar.

Oohh ya kalau berminat silahkan baca return ya, saya lebih aktif disana skrg.

Itu anaknya Javier kenapa jadi laki-laki? Kok ga cewek aja biar sama kayak Marsha? Ahahaha... ga tau kenapa, saya pengennya cowok aja. Biarlah dianya nanti lahir tanpa bayang2 dr Marsha.

Lagipula, menurut kabar burung yg beredar (ntah ini mitos atau bukan) kalau anaknya perempuan katanya yg lebih bergairah saat berhubungan itu berarti si ceweknya. Tapi kalau anaknya laki-laki, berarti yg bergairah yg cowoknya. Wkwkwkwkkwkwkw pernah denger teori itu? Iya, itu berita isapan jempol apa beneran gak tau deh.. hahahhaa *abaikan saya*

Jadi karena di bab terakhir yg lebih panas itu si Javi yaaa anaknya saya kasih cowok aja.

Bener2 teori pembodohan. Hahhahha.. 😃😃😃😃 jgn dianggap serius, anyway.

Enjoy this ending and enjoy my new story: Return.

Thankyou!

Continue Reading

You'll Also Like

575K 31K 47
Cerita lika-liku tentang Olivia Clark yang berada di negri orang. Di New York Oliv merasakan patah hati juga bahagia secara bersamaan. Ia juga bert...
12.4K 462 7
bagaimana rasanya mempunyai 6 kekasih? Jaemin pasti tau bagaimana rasanya di tambah lagi kekasih nya yg sangat sangat mesum!! 1.nomin (Jeno Jaemin 2...
259K 17.9K 47
Senja menatap lamat-lamat pantulan dirinya sendiri di cermin. Begitu indah maha karya yang sedang dipakainya saat ini. Sebuah gaun berwarna putih tul...
144K 10.2K 45
Semua biang keributan berawal dari insiden tak terduga saat malam pergantian tahun. Umpama anjing dan kucing jika bertemu, mereka akan saling melonta...