Broken Wings

By claudieazalea

1.1M 68.3K 1.8K

Pernikahan seharusnya menjadi impian yang menyenangkan bagi banyak wanita. Tapi tidak dengan Kara. Pernikahan... More

1. Penderitaan
2. Bertahan
3. Menenangkan Diri
4. Benci untuk mencinta
5. Keresahan baru
6. Seseorang dari masa lalu (1)
7. Seseorang dari masa lalu (2)
9. Penolakan
8.Penguasaan diri
10.Kejutan
11. Alasan untuk tersenyum
12. Mimpi Buruk
13. SATU (#1)
14. Segala sesuatu ada maksudnya
15.Ketika rasa itu perlahan mulai datang
16. Membunuh perasaan
17. Te Amo
18. Ambigu
19. Yang ditakutkan terjadi
20. Double Shit
21. Perjanjian tak tertulis
22. Salahkah aku yang berharap?
23. Gosip
24. Bahu yang kuat
25. Konfrensi pers dadakan
26. Apa yang terjadi?
27. Refleksi masa lalu
28. Lebih dari sekedar rasa nyaman
29. I'm Sorry.. I can't
30. Filosofi gerbang Bradenburg
31. Mencintai dalam diam
32. Check up
33. Titik permulaan kesadaran
34. Angin segar
35. Apa yang kau lakukan terhadapku?
36. Perkelahaian
37. Lakukan demi hati
38. Keputusan
39. Upaya perdamaian
40. Waktu perenungan
41. Rindu
43. Rumah
POLLING PEMBACA
45. I'm Yours
Extra Part
Tanya pembaca (Pemberitahuan)
REQUEST CERITA

42. Ingin diperjuangkan

24.1K 1.3K 31
By claudieazalea

Berjuang didalam kesakitan lebih baik daripada berjuang di dalam segala kebaikan..

Kara

Berulang kali panggilan di telfon itu memanggil-manggil sang empunya handphone. Aku hanya bisa memandangnya kaku, menimbang-nimbang apakah sebaiknya aku menyambut sapaan halo dari sebrang sana atau ku abaikan saja. Apakah tidak lancang bagiku untuk mengangkat handphone yang bukan milikku sendiri? Ini kan handphone milik Javier. Ah aku mulai menggerutu dalam hati, kenapa pula Javier harus pergi menemani Ibu berbelanja kebutuhan pokok tanpa membawa handphonenya?

Nama Tomy kembali muncul di layar handphone milik Javier. Ini sudah kali ke enam kalau ku hitung-hitung. Pikiranku bertanya-tanya, ada apa gerangan Tomy menelpon sesering ini? Apakah ada sesuatu yang penting?

Pertanyaan-pertanyaan dalam diriku mendorongku untuk... pada akhirnya menyahut panggilan itu. Sudahlah, lagipula, aku istrinya kan.. aku berhak juga menerima panggilan dari handphonenya, kan? Iya kan?

Aku berdeham sebentar sebelum aku menyapa Tomy. "Ha...."

"Hey!! Lama banget sih angkat telepon! Udah sampe pegal juga nih jempol mencet-mencet..."

Ups, belum juga aku selesai mengatakan 'Halo', Tomy sepupunya itu justru membrondong dengan seribu amukan.

"Ma..." Aku bermaksud mengatakan lagi: Maaf, ini bukan Javier, tapi Kara. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kalimatku dihadangnya lagi.

"Gimana hasil konsultasi kemaren, Jav? Ada perkembangan, kan? Terapinya berhasil? Terus kata dokter Dermawan gimana?"

Aku mengernyitkan alis. Konsultasi? Terapi? Dokter?

Sebenarnya pembicaraan macam apa ini?

Dan, ada apa pula dengan Javier?

"Halo... Jav? Jav...? Masih disitu, kan?"

Terlalu banyak hal-hal yang tidak ku ketahui. Aku menunggu Tomy mengatakan sesuatu lagi... sembari memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku.

Sakitkah ia? Kalau sakit, kenapa dia merahasiakannya dariku? Kalau sakit, kenapa dia nampak baik-baik saja? Bahkan fisiknya tak menunjukkan tanda-tanda kelemahan sedikitpun.

"Jav?" Suara dari sebrang membuyarkan lamunanku. Aku terhentak lalu berdeham kecil. Tomy diam, kuduga ia mencoba mengira-ngira, ada apa dengan perubahan suara Javier.

"Tomy, ini aku... Kara," kataku akhirnya.

"Oh Crap!" Makinya pada diri sendiri.

"Sebenarnya ada apa?" Tanyaku merendah.

"Ngg... Kara, listen... anggap aku tak pernah mengatakan ini. Oke? Sekarang dimana Javier? Bisa aku bicara dengannya?"

"Javier sedang menemani Ibu belanja, Tom. Katakanlah padaku, akan ku sampaikan padanya."

"Ibu?"

"Ya. Dia menginap di panti sejak semalam." Aku menjelaskan. Ku duga, mungkin saja Javier tak menceritakan apapun pada Tomy mengenai rencana menginapnya ini.

"Oh. Ku rasa... lebih aku menelponnya lagi nanti, Kara."

"Tomy..." ucapku melembut. "Kenapa harus merahasiakan sesuatu dari seseorang yang sebenarnya bukan orang asing. Aku istrinya. Jika kau masih ingat." Oh dunia, aku bahkan menyesali ucapanku sendiri... sudah berapa kali sepanjang hari ini aku menyebutkan eksistensiku sendiri? Menegaskan bahwa aku adalah seorang istri... rasanya konyol sekali, apalagi ditengah situasi saat ini. Saat aku hendak meminta persetujuan cerainya. Ada apa sih denganku?

Suasana tampak hening beberapa saat. Aku memberi kesempatan padanya untuk berbicara. Mungkin ia perlu ruang untuk berpikir sejenak akan apa yang hendak dikatakannya.

"Begini Kara...." Tomy mengawali pembicaraan. Pembicaraan yang akhirnya menuntunnya mengatakan sesuatu. Sesuatu yang selama ini disembunyikan dariku. Kebenaran yang entah kenapa bagi Javier sangat terlarang untuk mengatakan hal ini dariku.

Duniaku hampir saja runtuh mendengar Tomy menjelaskan maksud ucapannya tadi. Hingga tanpa sadar aku menjatuhkan diriku dengan cukup keras ke atas sofa. Aku terhenyak, benar sekali. Sebelah tanganku menutup mulutku yang membuka rahangnya sebagai ekspresi terkejut. Aku memang tahu Javier memiliki kelainan dalam hal mood. Tapi aku tak pernah tahu itu sama sekali bukan hal yang wajar. Aku tak pernah tahu apa yang menjadi penyebabnya. Bodohnya, aku tak pernah tahu, bahwa selama ini dia berusaha menyembuhkan dirinya sendiri. Tanpaku.

"Kara....." Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Aku mengenali suara siapa itu tanpa harus menolehkan kepala melihatnya. Segera ku kerjapkan mataku, menahan bulir airmata yang mulai mampir di sudut mataku.

"Nanti ku telpon lagi. Sudah ya." Aku setengah berbisik kepada Tomy kemudian segera memutuskan sambungan teleponnya.

"E-hai..." Suaraku berubah gugup. Tidak, ku mohon anggap saja kau tak mengetahui apa-apa Kara, jangan bersikap seolah kau mengasihaninya. Tegasku dalam hati.

"Ibu belanja banyak sekali. Lama ya?" Ia menyunggingkan sedikit senyum padaku. Di tangan kiri dan kanannya, ia menenteng banyak sekali belanjaan. Ada sedikit peluh juga di dahinya.

Aku menggeleng pelan sambil sedikit tersenyum. Dan oh ya, tak lupa tanganku yang masih menggengam handphonenya ku sembunyikan dibalik punggungku.

"Tidak juga..." Kataku. "Bukannya perempuan kalau belanja memang lama ya?"

Javier melangkah memasuki rumah, hendak meletakkan barang belanjaan di dapur. Bukannya segera menaruh belanjaan, ia malah berlama-lama dihadapanku. Membuat jantungku kebat-kebit. Aku takut, kalau sewaktu-waktu handphonenya berdering dan ia mendapati aku menggenggamnya.

Aku tersenyum kikuk mencairkan suasana.

"Aku tak pernah tahu menemani wanita berbelanja selama ini. Menyesal juga tak pernah menemanimu berbelanja..." ia menertawai kebodohannya sendiri. "Mungkin lain kali, kalau kau memberiku kesempatan... aku bisa menemanimu berbelanja."

Aku menenggak tenggorokanku yang kering. Tak tahu harus bicara apa. Aku memikirkan perkataannya. Memikirkan apa yang dikatakan Tomy juga. Kenapa... kenapa harus menyembunyikan ini dariku, Jav? Kenapa pula kau masih memiliki mimpi diatas semua trauma yang kau hadapi? Bukankah lebih mudah mengatakannya padaku? Aku bisa saja membantumu, kan? Oh andai saja bisa, aku ingin mengatakan itu padanya. Tapi bibirku kelu, entah mengapa. Sebenarnya apa yang ku harapkan? Permintaan maafnya atau kejujurannya?

"Aku kebelakang dulu, ya. Taruh belanjaan nih."

Aku mengangguk. Langkahnya disusul Ibu yang menenteng berbagai jenis sayuran. Secepat kilat ku letakkan handphonenya diatas nakas kembali. Menyambungkan charger handphonenya. Membuat seolah-olah tak terjadi apa-apa. Lalu segera ku songsong Ibu dan membantunya membawakan belanjaan. Aku tidak boleh terlihat mengetahui sesuatu. Tidak boleh.

***

"Aku mencarimu dimana-mana. Rupanya bidadari cantik itu ada disini..." Ia mengatakan sesuatu sambil menggosok-gosok telapak tangannya. "Boleh aku duduk disini?"

Aku mengangkat wajahku menatapnya seraya mengangguk. Sekarang aku tak lagi seorang diri, dia--suamiku-- ada disini sekarang. Seseorang yang sejak tadi memenuhi pikiranku. Usahaku untuk menenangkan diri dengan menghindari dirinya rupanya tak berhasil. Malahan ia menyusulku ke taman ini. Taman kota yang letaknya tak jauh dari panti.

Dengan dalih ingin keluar menghirup udara segar aku berpamitan pada Ibu ke tempat ini.

"Ibu memberitahuku bahwa kau ada disini. Aku mengganggu waktumu?"

Aku menggeleng lagi. Ia kemudian menempatkan dirinya duduk disebelahku. Selama beberapa detik kami ada dalam kebisuan. Hanya memandangi orang yang berlalu lalang sambil sesekali mengamati anak-anak yang bekejaran satu sama lain. Kadang kala aku berpikir, bahagianya mereka, hidup tanpa memikirkan masalah.

Yaampun, aku bahkan sejak tadi hanya mampu menggerakkan kepala tanpa mengucapkan sepatah katapun. Diam-diam, aku melirik Javier dari ekor mataku. Mengapa ia tetap diam tanpa berniat menjelaskan apapun?

"Mengenai keputusanmu tentang perceraian kita.." Javier mengawali pembicaraan. "Aku...."

"Akan ku pikirkan lagi," potongku.

Javier seketika menolehkan kepalanya padaku, seolah tak percaya dengan apa yang ku katakan. "Serius?"

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapannya. Ya, semenjak aku mengetahui mengenai kondisi Javier... bagaimana mungkin aku masih memikirkan perceraian? Apakah aku sebodoh itu untuk menambah daftar trauma dalam dirinya? Aku memang terluka, aku kecewa... tapi, sungguh... bagaimana aku harus menjelaskan semua ini?

"Akan dipikirkan bukan berarti mengatakan tidak pada perceraian, kan? Aku hanya menimbang ulang," jawabku. Aku masih memikirkannya... Bagaimana caranya melindungi diriku sendiri? Apakah memutuskan hidup bersamanya menjamin bahwa aku tak akan kecewa lagi? Apakah memutuskan membantunya melewati masa-masa sulit dengan berstatus istri akan mempercepat penyembuhan jiwanya? Apakah jika kami berpisah dan memilih menjalin hubungan sebagai sahabat pun membantu penyembuhannya atau justru memperparah. Aku tidak tahu, dan aku perlu berpikir.

Ia mengangguk setuju. "Kau benar. Bukan berarti." Lalu ia tersenyum hambar.

Kesunyian lagi-lagi merajai kami. Hanya langkah kaki beberapa orang dan suara teriakan anak-anak yang terdengar disana-sini. Sore yang suram.

"Tadi Tomy menelponku dan mengatakan maaf..." Ia memecah keheningan. Oh rupanya Tomy mengaku padanya. Padahal aku berniat menyembunyikannya sementara ini sampai aku menemukan solusi yang tepat, dia justru memberitahunya lebih dulu. "... aku kalah cepat, kau sudah tahu segalanya sekarang."

Dan kau tak berniat menjelaskannya padaku atau bahkan meminta maaf?

"I'm so sorry, Sayang. Aku tak berniat menyembunyikan ini. Alasanku bisa saja mempecundangi diriku sendiri. Maaf, tapi aku tak ingin mengatakannya sekarang."

Cih. Aku mendegus sebal.

"Aku tak akan memaksamu apapun. Tadinya, aku berniat meyakinkanmu akan masa depan kita dengan usahaku sendiri. Aku ingin kau melihatku secara utuh tanpa kekurangan. Aku ingin setidaknya... kau terpesona dengan perjuanganku..." katanya lagi, kali ini pandangannya menatap lurus kedepan, entah apa yang dipandanginya. "Tapi begitu aku tahu Tomy mengatakan sesuatu tentangku padamu.. semangatku patah. Rencanaku berubah.. bagaimana mungkin aku berjuang dengan segala kekurangan? Demi apapun, jangan kasihani aku." Dia berkata begitu tepat saat aku menatapnya diam. Apa pancaran mataku menjelaskan sorot belas kasihan? Aku bahkan tidak tahu.

"Pikirkanlah lagi tentang perceraian itu. Tapi jangan pernah merubah keputusanmu hanya karena kekuranganku. Hanya karena kau mengasihani aku."

Aku diam. Entah mau menjawab apa.

"Kenapa harus menyerah?" Kataku akhirnya. Aku pasti sudah terlalu keras berpikir hingga mengabaikan hal-hal yang seharusnya ku tanyakan justru tidak ku tanyakan. Harusnya aku menanyakan tentan alasannya tak memberitahuku kan? Kenapa yang ku katakan justru berbeda?

"Apa?"

"Kau. Kubilang.. kenapa harus menyerah meski kau memiliki kekurangan? Berjuang didalam kesakitan bukannya lebih baik daripada didalam segala kebaikan? Justru disitu letak perjuangannya, kan?"

Aku merutuki diriku sendiri dalam hati. Halooo Kara Chyntia yang seyogyanya adalah Kara Chyntia Reynardi... apa yang baru saja kau katakan? Kau memberi harapan padanya, hah?

Aku menelan ludah sesudah mengatakan ucapan itu. "Lupakan."

Aku beringsut menjauh daripadanya. Kalau saja ia bisa melihat rona wajahku yang kemerahan, aku benar-benar malu. Ini sama saja aku tidak konsisten dengan ucapanku sendiri, kan?

"Kau bilang apa barusan?" Tangannya menarik pergelangan tanganku. Menahan langkahku sebelum akhirnya ia berdiri dihadapanku.

"Ku bilang lupakan."

"Bukan, yang sebelumnya."

Aku mengidikkan bahu. "Lupakan.."

Javier menarik sudut bibirnya. "Ingin ku perjuangkan, hmm?"

Pipiku bersemu merah saudara-saudara. Kalian harus lihat ini. Oh tidak, lebih baik jangan. Rona merahnya saja bisa-bisa menyamai rona kemerahan pada langit sore ini. Apaan sih, kenapa aku terlihat seperti anak ABG begini.

Aku menyentak tangannya menjauhi pergelangan tanganku. Mendengus kesal dan meninggalkannya di taman. Sementara ia memanggil-manggil namaku, aku tersenyum seorang diri sembari tetap berjalan meninggalkannya.

Kara, sebenarnya apa yang kau lakukan?

***

"Jadi namanya Marsha? Nama yang sama dengan anak kita. Tidak salah memberinya nama itu?" Javier memandangi bayi dalam box itu, dia baru saja tertidur lelap. Heran, kenapa dia selalu saja berada disisiku. Rupanya dia benar-benar memanfaatkan waktu yang ada.

"Marsha nama yang umum. Siapapun berhak memakainya."

Javier mengangguk. Entah anggukan setuju atau terpaksa.

"Ku pikir ada pengecualian. Kau tak akan memberikannya kepada bayi yang bukan darah dagingmu.."

Aku mendesah berat. Tuhan.. kenapa pula dia harus mengingatkanku akan bayi kami yang telah hilang itu lagi?

"Ku pikir itu sama sekali bukan hal yang penting bagimu, kan?"

"Apa maksudmu?" Ia mendelik melihatku. Apa yang salah dengan ucapanku? Memang selama kehamilanku, keberadaan janin dalam tubuhku bukan hal yang penting, kan?

"Entahlah. Lupakan saja." Aku bergegas keluar kamar anak. Tak ingin membuat keributan disana. Di ruang tengah ku lihat Ibu sedang menyulam kain, aku melewatinya dan memilih masuk ke dalam kamar. Begitupun Javier, ia mengikutiku. Ku rasa, kalau Ibu pandai menilai, sudahlah barang tentu ia tahu ada yang tak beres dengan kami.

Aku duduk di tepi ranjang. Hingga kedatangannya dan bunyi pintu yang kembali di tutup, aku memilih untuk tidak melihatnya. Bahkan sampai ku dengar ia mendaratkan tubuhnya tepat disebelahku, aku enggan mengubrisnya.

"Salah besar jika kau menilaiku begitu..." Ia berkata, melanjutkan pembicaraan kami yang tadi. "Kau dan Marsha sama berartinya untukku."

Tetapi kau yang membunuh bayi kita, Jav! Kau mendorongku!

Aku diam. Ingin rasanya ku ledakkan amarahku.

"Demi apapun, Kara.. aku tak sengaja mendorongmu. Amarahku terlalu besar hingga aku tak menyadari kau yang ada disana menghalangiku. Semua terjadi diluar kendaliku.."

Baru sore tadi aku mengatakan ingin diperjuangkan. Tetapi malam ini, apa sebenarnya yang ku lakukan? Apa duduk diam tanpa pembelaan adalah salah satu caraku untuk memberinya kesempatan menjelaskan dan berjuang?

"Aku tak ingin membela diri saat ini. Tapi kau harusnya tahu mengapa aku melakukan itu.. Maksudku, perlakuanku menghajar Damian."

Apa aku terlihat seperti juru ramal yang mengetahui kedalaman hati seseorang? Mengapa pula dia berkata 'harusnya tahu'?

"Takut istrimu yang bodoh ini menorehkan aib bagimu karena berduaan dengan Damian sehingga nanti pada akhirnya menimbulkan gosip dan merusak karirmu. Itu kan maksudmu?" Nada sarkatis keluar dari ucapanku. Aku belum pernah bicara selantang ini padanya. Untuk beberapa saat aku merasa berada diatas awan. Tetapi ketika kulihat pancaran matanya yang menyiratkan kesedihan, lantas aku menyesal.

"Aku cemburu. Aku tak ingin siapapun menyentuh istriku. Bahkan sekalipun itu sahabatmu sendiri."

Apa? Apa katanya? Aku tidak salah dengar kan? Setahun lebih membangun rumah tangga dan dia mengatakan cemburu? Sesuatu yang sangat langka! Aku bertanya-tanya, apa ini akibat dari terapi yang dia jalani?

"Aku menyayangimu jauh sebelum aku menyadari perasaanku sendiri. Dan aku mencintaimu.. jauh sebelum Marsha ada. Walau bodohnya... perlu ahli kejiwaan untuk membantuku keluar dari masalah ini." Dia menyunggingkan senyum tipisnya tampak canggung membenarkan kebodohannya.

Deretan pertanyaan yang sejak tadi bertengger di kepalaku seketika melintas dalam mulutku, mereka mewujud dalam kata-kata. Anggap ini sebagai respon dari apa yang Javier katakan barusan.

"Kalau memang kau mencintaiku, kenapa kau menyembunyikan ini dariku?" Yang ku bicarakan adalah tentang masalah kepribadiannya.

Dia diam sesaat. Menatap lurus kepadaku. Pandangannya bahkan mampu mengikat jiwaku.

"Karena aku takut kau pergi ketika kau tahu apa yang menjadi kekuranganku. Sayang, gangguan kepribadian bukanlah sesuatu yang harus ku bagi denganmu. Setidaknya menurutku saat itu."

Aku mengenalnya sebagai sosok yang keras, bertempramen dan labil. Yang tidak aku tahu, ternyata jauh dalam dirinya ada sebongkah hati yang begitu rapuh. Tidak bisa dijamah dan hampir pecah.

Aku mengenalnya sebagai sosok yang tidak peduli terhadap apapun, cuek, pongah. Yang tidak aku tahu, ada semacam sifat dasar dalam dirinya untuk mempertahankan apa yang dia punya, melindungi daerah teritorinya dari segala macam serangan yang membahayakan.

Aku mengenalnya semenjak kami kanak-kanak. Tetapi bukan berarti aku mengetahui semua luka batinnya. Semua jalan hidup yang dia jalani semenjak dia kanak-kanak. Onak duri kah itu, badai, jalan lurus atau topan yang dilaluinya.. aku tak pernah tahu.

Sampai akhirnya ku dapati kenyataan dihadapanku. Pria rapuh dengan segala bentuk penyesalan dan tekadnya untuk berubah.

Mengapa tidak aku memberinya kesempatan?

Tbc

Jadi gini, krn saya sejak awal menceritakan Kara sosok yg sangat amat menyayangi suaminya... mau diapain jg dia sayang, jd memang pd dasarnya kalau sudah sayang bgt apalagi namanya hidup dlm pernikahan, pd akhirnya dia pasti luluh jg. Apalagi tau pasangannya ada kekurangan. Yg buat Kara cepet luluh ya krn tau si Javi nya butuh topangan, kembali lagi... rasa cinta yg besar membuatnya mengesampingkan rasa kecewa dan lukanya. Kenapa ga dr kemaren2 sadarnya?? Heyyyyy.... memulihkan perasaan terluka seseorang ga semudah itu apalagi dengan kata-kata. Cewek butuh diperjuangkan, intinya begitu.

Kalian pernah ngerasain gimana rasanya diperjuangkan sama org yg kalian sayang? Rasanya berharga banget kan? Hayooo siapa yg pernah ngerasain?

Tuh makanya Kara kasih kode, dia pengen diperjuangkan. Krn dia ga pernah tau gimana rasanya dianggap berharga sama Javier.

Jd wajarlah ya dia minta...
Wong mintanya sama suami sendiri wkwkwkwkwww..

Anyway maafkan saya lama update. Saya malah buat tulisan baru mengenai rekomendasi novel favorit saya, kalian bisa cek.. novel2 apa saja yg jd favorit saya selama ini, mana tau bisa jd rekomendasi buat kalian. Akan terus saya update ya kalau saya nemu bacaan yg bagus tp khusus novel aja bukan bacaan wattpad.

With love,
Audie.

Continue Reading

You'll Also Like

9.6M 1.1M 67
Tidak ada perlawanan ketika tubuhnya dihempaskan ke lautan luas tersebut. Otaknya tidak merespon bahwa ia berada dalam keadaan berbahaya, tidak ada r...
16.8M 1.9M 87
SUDAH TERBIT VERSI NOVEL. Bisa didapatkan di toko buku dan marketplace fav kamu seperti shopee, tokped, webstore MIZAN. "Dia cewek gue." Atlanta Nath...
5.8M 337K 17
"Ayang pelukkk" "Yang kenceng meluknya" "Ayang mau makannn" "Ayangg ciummm" "Ayanggg ikutt" "Ayanggggg" Pertamanya sok-sok an nolak.. Ujung-ujun...
15.7M 990K 35
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...