Broken Wings

By claudieazalea

1.1M 68.1K 1.8K

Pernikahan seharusnya menjadi impian yang menyenangkan bagi banyak wanita. Tapi tidak dengan Kara. Pernikahan... More

1. Penderitaan
2. Bertahan
3. Menenangkan Diri
4. Benci untuk mencinta
5. Keresahan baru
6. Seseorang dari masa lalu (1)
7. Seseorang dari masa lalu (2)
9. Penolakan
8.Penguasaan diri
10.Kejutan
11. Alasan untuk tersenyum
12. Mimpi Buruk
13. SATU (#1)
14. Segala sesuatu ada maksudnya
15.Ketika rasa itu perlahan mulai datang
16. Membunuh perasaan
17. Te Amo
18. Ambigu
19. Yang ditakutkan terjadi
20. Double Shit
21. Perjanjian tak tertulis
22. Salahkah aku yang berharap?
23. Gosip
24. Bahu yang kuat
25. Konfrensi pers dadakan
26. Apa yang terjadi?
27. Refleksi masa lalu
28. Lebih dari sekedar rasa nyaman
29. I'm Sorry.. I can't
30. Filosofi gerbang Bradenburg
31. Mencintai dalam diam
32. Check up
33. Titik permulaan kesadaran
34. Angin segar
35. Apa yang kau lakukan terhadapku?
36. Perkelahaian
37. Lakukan demi hati
39. Upaya perdamaian
40. Waktu perenungan
41. Rindu
42. Ingin diperjuangkan
43. Rumah
POLLING PEMBACA
45. I'm Yours
Extra Part
Tanya pembaca (Pemberitahuan)
REQUEST CERITA

38. Keputusan

23.1K 1.4K 46
By claudieazalea

Titik akhir sebuah perjuangan bukan pada berapa banyaknya kita terjatuh, tapi ketika kita menyerah.

Kara

Sepeninggal Damian dan Airin, aku memilih menghabiskan waktu dengan menonton televisi. Sebenarnya, tidak jelas aku menonton apa. Yang ku lakukan hanya membuang waktu, hanya agar ruangan VVIP ini tidak terasa sepi. Mataku menelisik setiap sudut ruangan ini. Aku mendesahkan napas ketika ku lihat makan siang yang baru saja diantar petugas rumah sakit teronggok begitu saja diatas meja makan pasien. Aku sama sekali tak berniat menyentuhnya.

Suara pintu kamar terdengar seperti dibuka. Aku menolehkan wajahku ke arah pintu, hendak memastikan apakah benar ada orang yang datang.

"Hai," suaranya menyapa sebagai tanda kedatangannya. Kontan aku membuang tatapku ke arah lain, ketika ku dapati ia, datang dengan menenteng beberapa jenis buah-buahan.

Ia berjalan ke arahku kemudian meletakkan buah-buahan itu di meja, tak lupa ia mengecup keningku.

"Kenapa belum dimakan makanannya, Sayang?"

Lucu bukan, kenapa disaat seperti ini panggilan sayangnya justru terasa mencabik-cabik hatiku? Bagai pisau yang merobek-robek hatiku. Bukannya menambal hatiku yang terluka tetapi justru menambah perihnya.

"Kau harus makan. Nanti bisa sakit."

Javier, adakah yang lebih buruk daripada sakit karena kehilangan?

"Makanannya tidak enak ya? Mau ku belikan sesuatu?"

Betul saja, dia memang tidak pernah tahu. Mengapa dia masih saja mempersoalkan masalah makan dan tidak makan? Tidak tahukah ia bahwa seorang ibu tidak akan pernah mementingkan soal penghidupannya bila anaknya pergi entah kemana, menghilang bagai uap.

"Ayo sayang, mulutnya dibuka ya...." tiba-tiba saja sendok itu sudah ada di depan wajahku, lengkap dengan isinya, itu menu makan siangku.

Aku menggeleng dan tetap mengatupkan mulutku.

"Atau kita pergi cari suasana baru sebentar? Mau jalan-jalan ke taman rumah sakit? Tapi habis ini makan ya."

Aku memilih diam. Tidak ada gelengan kepala atau reaksi apapun. Aku cukup diam. Semoga dia mengerti bahwa sikap diamku adalah penolakan akan kehadirannya.

"Kara, aku mohon. Setidaknya kalau kau tidak mau melakukannya untukku, lakukan itu demi Marsha. Dia bisa sedih kalau lihat Mamanya terus menerus sedih dan tidak mau makan."

Aku cukup tersentak ketika ia menyebutkan nama Marsha. Selama ini, dia bahkan tidak mau mengakui bahwa anak itu adalah anaknya. Apalagi menyebutkan namanya.

Benar itu Nak, apa memang kamu sedih kalau lihat Mama tidak makan?

Sekali lagi, Javier mencoba apa yang tadi dilakukannya. Ia menyodorkan sendok itu berisi makanan itu, kali ini sangat dekat dengan mulutku. Mau tidak mau, karena ia menyebutkan nama Marsha, aku membuka mulutku.

"Nah, gitu dong," katanya ketika dilihatnya makanan itu sudah masuk ke dalam mulutku.

Ironis sekali, Javier mengukur tingkat kesedihan Marsha hanya dari makan atau tidaknya aku ini. Pernahkah dia sedikit berpikir, bahwa Marsha jauh lebih sedih ketika mendapati dirinya tidak bisa terlahir ke dunia ini?

Bodoh, untuk apa aku bertanya begitu padanya. Tentu saja dia tidak akan pernah tahu.

"Kata dokter, besok sudah bisa pulang. Senang kan, bisa pulang ke rumah?"

Aku lebih senang jika kau mengembalikan Marsha-ku, Jav.

"Kau juga bisa aktif di galerimu lagi kalau kau mau."

Kenapa sih, dia selalu menawariku hal-hal yang bisa membuatku lupa dengan Marsha? Kenapa?

"Aku ingin ke tempat Ibu. Ke panti."

Jelas, yang ku butuh hanya satu... ketenangan. Mungkin dengan melihat banyaknya anak-anak panti disana, bisa sedikit mengurangi kesedihanku karena kehilangan Marsha.

"Tapi Kara, kau baru saja pulih.. masa kita harus melakukan perjalanan jauh? Jakarta-Bogor itu bukan jarak yang dekat."

"Lalu, apa bedanya dengan kau yang menawariku bekerja kembali di galeri? Itu juga sama halnya dengan menguras tenagaku," jawabku acuh.

"Galeri itu kan milikmu.. kau bisa dengan bebas melakukan apapun disana. Aku tak menyuruhmu bekerja disana. Setidaknya kau perlu sedikit hiburan, cuci mata, berbincang-bincang dengan Sandy... atau apalah itu.."

"Di panti aku punya lebih banyak teman bicara. Ada Marsha-marsha kecil lainnya yang bisa ku jumpai disana. Tolong Javier, bisa tidak mengerti sedikit saja perasaanku? Bisa tidak kau tak memaksakan apa yang menjadi maumu? Terakhir kali kau memenangkan egomu, kita kehilangan anak kita, Jav. Ingat?"

Aku menatap tajam ke arahnya. Aku tidak pernah semarah ini padanya. Tapi emosi ini terlanjur meluap. Dia hanya menatap lurus kepadaku, dan seperti biasa... dengan ekspresi wajahnya yang datar, tak tertebak.

"Minggu depan saja, ya?"

"Aku mau sabtu ini."

Javier mendesahkan napasnya. Ia mengaduk-ngaduk menu makan siangku. Memilah-milah antara sayur dan ikan yang hendak masuk ke dalam perutku.

"Okey, sabtu ini. Aku yang akan mengantarmu nanti."

"Aku bisa pergi sendiri."

"Kara, jangan konyol. Kau baru pulih lalu kau mau pergi sendiri? Bagaimana kalau terjadi apa-apa denganmu di jalan? Tidak. Aku tidak mau kehilangan apapun lagi saat ini," ucapnya tegas. Sejenak ia meletakkan sendok yang sudah diangkatnya. Oktaf suaranya naik setengah dari cara bicaranya yang sebelumnya.

Apa maksud ucapannya itu? Ia tidak mau kehilangan apapun lagi? Memangnya aku ini cukup berharga baginya? Dasar pemain sandiwara!

"Kalau begitu, Damian dan Airin yang akan mengantarku," jawabku tak mau kalah.

Javier memandang sendu kepadaku. "Kara, ku mohon... ijinkan aku memperbaiki kesalahanku. Berikan aku kesempatan jadi suami yang cukup baik untukmu. Ya?" Nada suaranya terdengar melemah.

Aku tidak mampu berkata apapun lagi. Yang ada dipikiranku saat ini... benarkah dia bersungguh-sungguh untuk jadi lebih baik? Atau seperti biasa... ini janji kosong yang dia ucapkan?

"Ku anggap kau setuju. Ku antar kau sabtu ini."

Ternyata meski dia berjanji menjadi lebih baik... sifat pemaksa dalam dirinya belum juga berubah. Bagaimana mungkin diamku diartikan setuju?

***

Hari yang disebut hari pembebasan itu tiba. Syukurlah, aku tak perlu berlama-lama di rumah sakit ini. Sembari menunggu kedatangan Javier yang sedang membayar biaya administrasi perawatan, aku merapikan baju-bajuku, menyisir rambut, memakai sedikit bedak agar tidak terlihat pucat.

"Selamat pagi, Ibu. Wah... sudah mau pulang, ya?" Seorang perawat tampak masuk ke dalam ruangan. Membawakan obat untuk ku konsumsi pagi ini. Dia membantuku untuk mengkonsumsi obat itu.

"Kelihatannya senang sekali ya, Bu. Apalagi suaminya yang jemput."

Aku hanya tersenyum tipis mendengar penuturannya. Salah, aku senang karena akan segera keluar dari rumah sakit ini. Bukan karena Javier yang menjemput.

"Saya tidak menyangka loh, Bu. Ternyata yang namanya Javier Rey itu orangnya perhatian sekali ya, Bu. Beda dengan yang ada di televisi. Kalau di televisi, sepertinya sikapnya dingin dan acuh begitu. Tapi kok, mengenai kehamilan Ibu tidak ada yang tahu ya? Kenapa tidak ada wartawan yang kesini? Eh, maaf Bu. Saya kebanyakan ngomong ya? Ini pasti karena saya terlalu ngefans sama Javier." Sambil tersenyum malu-malu ia memberiku obat. Aku menerimanya dan lekas meminumnya.

"Saya memang merahasiakan kehamilan ini. Jadi, tidak banyak yang tahu," aku menjawab seadanya.

"Oh. Pantas saja ya, Bu."

Aku mengangguk saja.

"Saya makin menganggumi dia sebagai idola saya. Saya rasa dia sosok suami idaman."

Aku mengerutkan alis mendengar pengakuannya. "Masa?"

"Iya, Bu. Menjagai istri pagi, siang dan malam. Itu kan sesuatu yang luar biasa, Bu. Padahal siapa sih yang tidak tahu Javier Rey, artis yang banyak job disana sini. Dia menyempatkan dirinya untuk menengok Ibu."

Kalau kau bisa mengukur tingkat kebaikannya hanya dari waktunya saat menjagaku, bagaimana tanggapanmu ketika mengetahui bahwa dia sendiri membunuh anak kandungnya? Apa kau akan tetap mengaguminya?

"Saya sempat gemas lihat pemberitaan belakangan ini. Itu loh, bu... yang menyangkut Helena." Dia setengah berbisik takut kalau suaranya terdengar, entah oleh siapa. "Tapi, melihat keadaan ini... saya gemasnya malah jadi gemas manja sama Javier, Bu.." dia terkekeh geli.

"Gemas manja?" Aku menautkan alisku. Apa lagi ini maksudnya?

Ia mengulum senyum malu-malunya. "Iya, bu. Habisnya tipe suami seperti suami Ibu itu, minta dibawa pulang ke rumah sih.."

"Saya kok rasanya mau buang dia jauh-jauh dari rumah ya.." ucapku begitu saja.

"Hah???" Si perawat terheran sendiri.

Menyadari ada yang tak beres dengan ucapanku, buru-buru aku menyela ucapanku. "Saya hanya bercanda."

"Oh bercanda. Saya pikir serius. Ibu buat shock saja." Dia mengurut dadanya, seolah menunujukkan sikap leganya. Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa seorang yang disebut fans ini mengacaukan hidupnya sendiri dengan orang yang bahkan tak mengenalnya.

Tapi, kalau dia saja bisa shock begitu... kenapa aku yang hanya sekedar mengucapkan 'mau buang dia jauh-jauh', tidak merasakan kegentaran sedikitpun?

***

Aku mengamati punggungnya yang berjalan menuju pintu ruang inap. Ditangannya ia menenteng tas berisi pakaianku.

Punggung yang lebar itu, punggung yang seharusnya menjadi tempatku merebahkan kepala sejenak ketika aku memeluknya dari belakang. Kini ku rasa punggung itu hanyalah seonggok daging tak berfungsi manakala aku melihatnya.

Pernikahan macam apa yang ku jalani ini? Masih sanggupkah aku menjalani hari-hari dengan pembunuh anakku?

"Kenapa masih disitu?" Tiba-tiba saja ia membalikkan tubuhnya. "Ayo kita pulang."

"Aku.... ku rasa aku lebih baik pergi sendiri, Jav. Jam segini... bus ke bogor masih banyak."

Ia menggeleng kemudian meletakkan tas pakaianku. Dengan langkah tegas dihampirinya aku. "Kita sudah sepakat sebelumnya. Aku yang akan mengantarmu."

"Kita? Aku bahkan tidak menyetujui apapun."

"Kara, aku benar-benar minta maaf. Jauh dalam lubuk hatiku, aku menyesal. Sungguh. Jadi tolong, jangan bersikap seperti ini."

Apa dia pikir minta maaf bisa menyelesaikan masalah? Apa dia pikir minta maaf bisa mengembalikan Marsha?

"Atau kau mau apa? Aku bisa memenuhinya... jalan-jalan ke Jerman? Negara kesukaanmu itu. Kau mau? Aku bisa memesan tiketnya sekarang."

Dalam keadaan normal, aku akan dengan mudahnya setuju. Tapi, aku terlanjur membenci pria dihadapanku ini... bagiku sekarang, bukan soal kemana tujuannya aku hendak pergi tapi bersama siapa. Hidup bagiku sekarang benar-benar seperti neraka, bersamanya aku benar-benar tak ingin.

"Atau kau mau aku minta maaf dengan Damian? Apapun itu Kara, apapun itu akan ku lakukan. Demi kita."

Tolong Javier, aku tak ingin mendegar pembenaran apapun.

"Ceraikan aku."

"Apa??" Ia tersentak bukan kepalang.

"Aku bilang ceraikan aku. Kau menanyakan apa yang menjadi mauku kan? Itu kemauanku, Jav. Ceraikan aku."

Pada akhirnya, semua luka ini... semua sakit hati ini... semua siksaan fisik dan batin ini... semuanya bermuara pada satu hal... perceraian.

Kara, kau bahkan tidak sekuat yang kau pikir. Kau bahkan tidak mampu mempertahankan dan memperjuangkan apapun... baik anakmu, suamimu ataupun rumah tanggamu.

Oh Tuhan, mengapa hidupku seperti ini? Aku menyerah..

Tbc....

Halloooo pembaca, terimakasih atas atensinya dan yg sudah ikutan polling makasih yak! Saya ga nyangka banyak bgt yang komen... ah, kalian baik banget sih *pelukin satu-satu*

Fyi, ending sepenuhnya ada ditangan saya ya... gak ngaruh berdasar hasil polling :)

Ohiya, ini ceritanya bakalan di update 3-5 bab lagi... setelah itu tamat ya! Kalau lagi semangat banget nulisnya ya saya bisa nambah lbh dr 5 bab itu. Hehehee...

happy reading dan terimakasih sudah menunggu cerita ini dgn setia 😻😻 *kalian luar biasssaaaaaa.... :) :')

Continue Reading

You'll Also Like

144K 10.2K 45
Semua biang keributan berawal dari insiden tak terduga saat malam pergantian tahun. Umpama anjing dan kucing jika bertemu, mereka akan saling melonta...
516K 28.5K 20
Menikah mungkin merupakan impian semua wanita. Apalagi menikah dengan sahabat yang sudah lama sekali kamu cintai dalam diam. tapi jikalau dengan meni...
3.4M 26.6K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
118K 8.3K 72
⚠️⚠️⚠️Warning, adult content! Terdapat adegan kasar dan seksual implisit, mohon bijak untuk memilih bacaan sesuai umur!⚠️⚠️⚠️ ⚠️⚠️⚠️Cerita di private...