The Force of First Sight

By rachma11

31.9K 2.1K 61

Pertemuan yang berawal dari ketidaksengajaan telah mengubah pandangan Kenza Valencia terhadap Rafa Marvelle... More

《Prologue》
《One》
《Two》
《Three》
《Four》
《Five》
《Six》
《Seven》
《Eight》
《Nine》
《Eleven》
《Twelve》
《Thirteen》
《Fourteen》
《Fifteen》
《Sixteen》
《Seventeen》
《Eighteen》
《Nineteen》
《Twenty》
《Twenty One》
《Twenty Two》
《Epilogue》
《Announcement》
《New Story》

《Ten》

1K 89 1
By rachma11

Keadaan Vexia sudah membaik dan sekarang dia dinyatakan sembuh. Aku mengamati wajah damainya yang tengah tertidur. Aku menghampirinya dan duduk di sofa yang terletak di dekat tempat tidurnya.

"Vexia," panggilku lembut sambil menyentuh tangannya.

Dia menggeliat dan perlahan-lahan membuka kedua kelopak matanya. Seakan terkejut dengan kedatanganku, dia langsung beranjak bangkit dari posisi tidurnya dan duduk menghadapku.

"Lo bikin gue kaget."

Aku terkekeh geli dan mengatakan, "Gantian, dong. Biasanya, kan, lo yang suka ngagetin gue."

Sebenarnya hari ini aku ingin menanyakan tentang semuanya pada Vexia. Dia memang masih belum masuk sekolah karena harus istirahat di rumah paling tidak sampai kondisinya benar-benar pulih.

"Gue mau bicarain sesuatu sama lo. Apa boleh sekarang?" tanyaku dengan hati-hati.

"Ngomong ajalah, Ken. Nggak perlu izin juga kali," jawabnya santai.

"Kenapa lo tega sama gue? Gue suka sama Kak Rafa dan lo pasti tau itu. Lo dulu nyuruh gue buat dapetin dia. Tapi, nyatanya gue nggak bisa dan malah lo yang jadi pacarnya."

Aku tak bisa menahan lagi karena sudah terlalu lelah. Mau tidak mau sekarang aku harus mengutarakan seluruh isi hatiku padanya.

"Ini semua hanya salah paham. Gue dan dia nggak ada apa-apa. Masa, sih, gue tega ngerebut dia dari lo. Enggak, kan?"

Aku menarik napas dalam dan mengucapkan, "Buktinya anak satu sekolah udah tau semua kalo kalian pacaran. Dan waktu gue tanya langsung sama Kak Rafa juga kabar itu bener. Jadi, kenapa lo terus mengelak?"

Vexia mengalihkan pandangannya dariku, beralih menatap kosong jendela kamarnya. Dia mengembuskan napasnya dengan berat.

"Bukan gitu. Gue juga kaget pas tiba-tiba denger kabar itu. Kak Rafa dengan enaknya nyebarin gosip yang nggak bener itu. Ya, jelas gue nggak terima."

"Gue nggak ngerti sama masalah ini. Apa ada hubungannya juga sama Kak Sheren?"

Vexia memejamkan matanya sejenak, lalu mengangguk. "Kak Rafa dan Kak Devan, tuh, dulunya pernah suka sama Sheren sialan itu. Terus mereka ngebalesin dendamnya dengan cara ngebuat kita bertengkar dan berusaha ngehancurin hubungan persahabatan kita."

Aku menganga lebar dan membelalakkan kedua bola mataku terkejut. "Kenapa mereka berbuat gitu sama kita?"

"Mungkin supaya bikin Sheren sialan itu nyesel. Dia, kan, barusan putus dari pacarnya. Terus palingan dia mulai ngejar lagi salah satu di antara Kak Rafa dan Kak Devan."

Aku bergeming. Bagaimana jika Kak Sheren lebih memilih untuk mendapatkan kembali Kak Rafa daripada Kak Devan?
Lalu, aku....

Dengan perasaan yang masih sama dan tak terbalas, aku hanya bisa menatap cinta pertamaku dari kejauhan. Membayangkan kalau seandainya dia berada di dekatku dan juga memimpikan jika suatu saat aku bisa menjadi seseorang yang berarti untuknya. Tetapi, untuk sekarang hal itu masih menjadi angan yang belum bisa kuraih. Dan aku berjanji akan tetap menunggu saat di mana aku mendapatkan apa yang kumau seiring dengan berjalannya waktu. Jika nantinya Tuhan menakdirkan dia bersamaku untuk menjadi satu dan saling melengkapi, kenapa aku harus takut kehilangan?

☆♡☆♡☆

Lantunan lagu jazz yang mengisi kafe ini membuat suasana makan menjadi nyaman. Aku dan Vexia sedang makan malam bersama di sebuah kafe yang terkenal akan kelezatan steak-nya.

"Ken, lo masih jadi pacar pura-puranya Kak Devan?"

Aku menggeleng dengan cepat. "Gue nggak pernah nerima dia, kok. Tapi, dia nganggepnya gue mau jadi pacar pura-puranya."

"Oh, gitu. Terus lo nggak nyoba dapetin Kak Rafa lagi?"

Aku tersenyum miris mendengar nama itu disebut. Rasanya masih banyak penghalang yang belum kulewati kalau mau mendapatkannya.

"Iya, gue pasti bakal nyoba," ucapku setelah beberapa saat terdiam.

Vexia mengangguk dan berkata, "Semangat!"

"Hubungan lo sama Kak Devan masih baik, kan, Ve?" tanyaku sambil memotong steak.

Vexia meneguk minumannya, lalu menjawab, "Sejak kemaren gue sakit, dia udah nggak pernah ngehubungin gue lagi. Bahkan, dia juga nggak jenguk gue. Dan gue, sih, bener-bener nggak ngerti ada apa sama dia. Terserah dia aja kalo emang mau menjauh dari gue. Gue pasti akan berusaha juga buat ngejaga jarak."

"Selama setahun belakangan ini dia selalu ada buat gue walaupun status gue sama dia cuma kakak adik aja. Tapi, gue ngerasa hubungan itu bener-bener kayak pacaran banget. Jujur, sekarang gue merasa kehilangan dan gue nggak yakin bisa ngelupain dia dalam waktu deket," lanjutnya.

Sudah kuduga kalau sebenarnya Vexia mau membicarakan sesuatu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata dia mempunyai perasaan lebih pada Kak Devan. Sepertinya Vexia mulai terjebak dalam dunia friend zone.

Tapi, kala itu Kak Devan pernah bilang padaku kalau dia juga menyukai Vexia. Mungkin dari awal mereka dekat, Vexia sudah memendam perasaannya diam-diam. Dan karena sudah lelah, sekarang dia baru mau jujur padaku.

"Lo nggak usah menjauh dari dia. Menurut gue dia berbuat gitu karena ada alasannya. Kenapa, sih, lo jadi nggak percaya diri? Gue yakin, kok, dia juga suka sama lo."

Vexia menatapku intens seraya mengerutkan keningnya. "Percaya diri, kok. Tapi, apa yang ngebuat lo yakin?"

Aku tersenyum tipis dan menjawab, "Karena tatapan mata itu nggak bisa bohong. Gue liat pas dulu kalian ngobrol bareng, ada tatapan penuh kasih di matanya dia buat lo. Lo aja yang nggak peka."

"Apa banget, sih. Rasanya biasa aja. Cuma perasaan lo aja kali."

Aku terkekeh geli dan memilih untuk diam. Kulanjutkan makanku yang tadinya tertunda.

Bukannya tidak mau memberitahukan soal perasaan Kak Devan yang sesungguhnya pada Vexia. Namun, aku memilih untuk bungkam karena aku ingin Vexia mendengarkan langsung dari orang yang disukainya. Bukankah itu lebih bermakna?

Ponsel Vexia berdering cukup nyaring. Aku melirik sekilas siapa yang meneleponnya. Oh, ternyata mamanya.

"Sebentar, ya."

Aku mengangguk dan membiarkannya mengangkat telepon dulu. Kafe yang tadinya tak seberapa ramai, kini seluruh meja sudah dipenuhi oleh para pengunjung dan menyebabkan kebisingan.

Vexia kembali duduk dan menyeruput minumannya yang masih tersisa. "Gue harus cabut. Kata mama ada saudara jauh gue yang main ke rumah. Lo nggak papa, kan, gue tinggal duluan?"

"Iya, nggak papa, kok. Lo pulang aja. See you."

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Aku merapikan tas kecilku dan bergegas keluar dari kafe ini.

Samar-samar terlihat wanita yang cukup familier bagiku. Bukankah itu Tante Alyssa?

Aku bingung sekali harus menghindar atau menyapanya. Sialnya lagi, Tante Alyssa memarkir mobilnya tepat di samping mobilku. Yah, satu-satunya cara adalah aku harus kembali ke kafe untuk menunggunya pergi.

"Kamu Kenza, kan?" tanyanya.

Aku yang semula ingin berjalan menjauhi mobil pun jadi mengurungkan niat dan terpaksa membalikkan badan. Aku tersenyum sopan dan menjawab, "Iya, saya Kenza. Tante apa kabar?"

Tante Alyssa berjalan mendekatiku dan balik tersenyum ramah padaku. "Baik, kok. Kamu sendiri?"

"Baik juga. Tante habis dari mana?"

Tante Alyssa melirik jam tangannya dan terlihat sedang terburu-buru. "Tante barusan pulang dari kantor. Terus tadi lewat sini jadi sekalian mampir buat beli steak kesukaannya Rafa."

"Oh, gitu. Ya sudah, saya mau pulang dulu, Tan," ucapku sambil mengambil kunci mobil dari tasku.

"Kenza, tunggu. Tante boleh minta tolong nggak?"

Aku hanya mengangguk asal dan bertanya balik, "Boleh, kok. Bantuin apa, Tan?"

"Tante baru inget kalo ada berkas yang ketinggalan di kantor. Jadi, kamu mau nggak nganter steak ini ke rumah buat Rafa?"

Aku menelan ludah gugup. Di satu sisi aku mau saja membantu Tante Alyssa sekaligus ingin bertemu dengan Kak Rafa. Tapi, di sisi lain aku takut dimarahi oleh orangtuaku karena pulang larut malam.

"Saya lewat daerah situ, sih, Tan. Nanti saya kasihin ke Pak Satpam aja, ya?" tawarku dengan nada memohon.

Well, semoga itu bukan pilihan buruk. Aku hanya perlu waktu sebentar untuk menemui Pak Satpam.

Tante Alyssa menyetujuinya sambil mengucapkan, "Oke, terima kasih. Hati-hati di jalan, Sayang."

Setelah menerima kantong yang berisi steak kesukaan Kak Rafa, aku pun segera mengendarai mobil dan menuju ke rumahnya. Beberapa menit kemudian aku sudah sampai di depan kediaman Kak Rafa.

"Pak, permisi. Saya temannya Rafa," kataku dari luar pagar.

Pak Satpam itu pun keluar dari pos dan menghampiriku dengan tergopoh-gopoh. "Ada perlu apa, Non?" tanyanya sambil membuka pagar untuk menghampiriku.

"Tadi saya ketemu sama Tante Alyssa di kafe. Beliau nitipin makanan ini buat anaknya."

Pak Satpam itu manggut-manggut mendengar penjelasanku. "Masuk aja, Non."

Aku menggeleng pelan dan mengatakan, "Nggak perlu, Pak. Saya titip aja. Tolong kasihin ke dia, ya."

Aku pun mengulurkan kantong makanan padanya. Belum sempat Pak Satpam menerimanya, tiba-tiba ada yang menarik kasar dari tanganku. Oh, tentu saja aku terkejut. Aku pun mendongak dan ternyata itu adalah Kak Rafa.

"Terima kasih, Pak. Saya permisi."

Aku berjalan cepat menuju mobil tanpa menunggu jawaban dari Pak Satpam itu. Tentu saja aku tidak tahu harus berbuat apa jika berhadapan dengan Kak Rafa. Situasi yang terjadi akhir-akhir ini sangat membingungkan untukku.

"Sok perhatian lo."

Suara itu menghentikan langkahku dan membuatku berjalan ke arahnya. Aku pun menyahut, "Bukannya sok, Kak. Aku cuma mau nganter makanan itu dari Tante Alyssa. Tadi aku nggak sengaja ketemu di kafe. Terus katanya Tante Alyssa ada berkas yang ketinggalan di kantor. Jadi, Tante Alyssa minta tolong ke aku, deh."

Kak Rafa menaikkan satu alisnya dan mengangkat kantong makanan itu tepat di depan wajahku. "Bodo amat. Walaupun dari mama gue, tapi tetep aja makanan ini udah lo sentuh. Jangan harap gue bakal mau gitu aja. Ini, tuh, cocoknya dibuang."

Ucapannya yang sangat menusuk itu membuatku merasa terhina. Bukan sampai di situ saja, dia melempar kantong makanan itu ke pinggir jalan. Tak terasa tetes-tetes air mata sudah menggenang di kedua pelupuk mataku.

"Segitu bencinya, ya, sama aku? Bahkan aku udah mau repot-repot ke sini buat nganter makanan kesukaan Kakak. Tapi, Kakak nggak mau menghargai. Aku juga nggak tau apa nanti orangtuaku bakal marahin aku karena pulang telat. Cuma gara-gara aku, kan, Kakak jadi ngebuang makanan itu?" tanyaku dengan suara terisak dan pipi yang basah. Bahuku mulai bergetar dan timbul isakan kecil. Aku sudah melupakan janji pada diriku sendiri kalau tidak akan menangis di hadapannya.

"Cengeng banget, sih, lo," tandasnya dingin seraya berlalu dari hadapanku.

Aku tak menanggapi lagi. Kurasa ini semua sudah cukup. Tidak ada gunanya lagi aku menjelaskan agar dia mengerti. Sekalinya benci itu pasti akan sulit untuk mengubahnya menjadi cinta. Karena aku tahu, dia bukanlah seseorang yang mau membuka hatinya untuk orang baru sepertiku. Mungkin juga dia tidak menganggap kalau aku benar-benar menyukainya. Atau karena dia belum bisa melupakan seseorang dari masa lalunya. Entahlah, segalanya terasa lebih rumit.

☆♡☆♡☆

Akhirnya gue balik lagi setelah sekian lama ngilang. Kemarin-kemarin itu gue sama sekali nggak punya waktu buat ngetik karena ujian nasional sudah di depan mata. Minta doa kalian ya, semoga gue bisa masuk smafav^^

Don't forget to vote and comment, thanks.

Continue Reading

You'll Also Like

15.5M 875K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
2.4M 140K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.4M 257K 31
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
6.2M 481K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...