Hello Nayla [SELESAI]

By tulipshine

225K 11.1K 537

[SELESAI✓] "Caraku mencintai bukanlah dengan memilikinya, Tapi dengan cara melindunginya, membuatnya bahagia... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua belas
Tiga belas
Empat Belas
Lima belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima [TAMAT]

Delapan

8K 482 43
By tulipshine

* * *

Sore hari, setelah pulang sekolah Rafa meminta Farel untuk menemaninya ke toko kue. Terasa menyenangkan bagi mereka, ketika bisa menghabiskan waktu berdua, setelah berpisah cukup lama.

"Lo beli kue untuk siapa?" tanya Farel sambil mengikuti langkah Rafa yang sibuk memilih kue.

"Buat temen."

"Temen atau pacar?"

Rafa menghentikan langkahnya dan berbalik melihat Farel.

"Lo pernah pacaran?" tanya Rafa tiba-tiba, membuat Farel tertawa.

"Gue tahu, lo pasti mau nembak cewek kan?"

"Gak lah. Yakali gue nembak cewek, ntar dia mati gimana?"

"Maksud gue bukan gitu goblok." kesal Farel.

"Terus?"

"Maksudnya nembak itu..., nyatain perasaan, lo minta dia buat jadi pacar lo." jelas Farel.

"Oh...,"

"Oh doang?"

"Terus apa lagi?" tanya Rafa dengan wajah datar.

Farel mendengus kesal lalu mengikuti Rafa memilih kue, lagi. Setelah mendapatkan apa yang Rafa cari, Farel mengajaknya Rafa ke rumah sakit. Hal ini sudah mereka rencanakan sebelum pergi.
Rafa meminta Farel menemaninya membeli kue, sementara Farel meminta Rafa menemaninya kerumah sakit, untuk melakukan cuci darah.

Rafa dan Farel tiba di rumah sakit. Farel turun dari mobil, sementara Rafa enggan melepas sabuk pengamannya. Melihat Rafa terus diam, akhirnya Farel memaksa Rafa untuk turun. Mau tidak mau Rafa turun dengan wajah yang terlihat kesal.

"Lo kenapa?" tanya Farel, karena Rafa hanya diam disepanjang perjalanan menuju rumah sakit.

"Kita pulang aja, yuk. Cuci darahnya besok aja." kata Rafa.

"Tapi jadwal gue cuci darah, hari ini."

"Udahlah, emang cuci darah penting banget ya? Sekali doang ga cuci darah, lo bisa langsung meninggal?" kata Rafa, asal. Membuat Farel tertawa melihat sikap saudaranya itu.

Farel mengangguk, "iya, gue bisa meninggal. Maka dari itu, sekarang kita masuk ke dalam, sebelum Tuhan berkata lain... Kalau gue dipanggil lebih dulu, ntar lu kangen, kita kan-"

"Banyak omong. Yaudah sekarang kita masuk." kata Rafa lalu menarik Farel untuk masuk ke dalam gedung rumah sakit.

Farel hanya pasrah saat lengannya ditarik. Ia tertawa sambil menggeleng pelan melihat tingkah laku Rafa. Baginya Rafa sama sekali tidak berubah. Rafa selalu perhatian padanya, meski terkadang cara penyampaiannya terlihat kasar.

Rafa duduk di kursi tunggu, dekat dengan ruangan tempat Farel melakukan cuci darah. Rasa bosan mulai menghantui dirinya.
Rafa mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang, dan meminta orang itu menemuinya.

Setelah beberapa menit, orang yang tadi Rafa telpon—datang menghampirinya. Rafa mengajak orang tersebut ke tempat ia memarkir mobil.
Sesampainya di sana, Rafa langsung membuka pintu mobil belakang dan memgambil kue yang tadi ia beli.

Rafa memberi kotak berisi kue pada orang yang ia suruh, "kirim ke alamat yang sama." kata Rafa.

Orang suruhannya mengangguk, kemudian pergi.

Begitu selesai dengan urusannya, Rafa kembali masuk untuk menunggu Farel. Saat memasuki gedung yang sangat ia benci itu, Rafa melihat seorang petugas rumah sakit dengan panik membawa pasien ke ruang UGD. Rafa melihat pasien itu, sekilas. Seketika rasa ngilu menyelimuti tubuhnya. Inilah alasan kenapa Rafa membenci rumah sakit. Baginya rumah sakit adalah tempat yang menyedihkan. Dimana isinya adalah orang-orang lemah yang menderita berbagai penyakit, keluarga korban yang menahan perih melihat kerabatnya jatuh sakit, bahkan tak jarang, rumah sakit, tempat berakhirnya kehidupan seseorang. Itulah yang ada dipikiran Rafa, setelah insiden beberapa tahun lalu yang menimpa ayahnya.

Rafa meneteskan air mata, ketika ingatan-ingatan lalu kembali terbuka. Dirinya yang masih berusia tujuh tahun, harus merasakan pahitnya hidup. Ibunya yang pergi, memisahkannya dengan Farel, saudara sekaligus teman yang sempurna bagi dirinya. Dan juga, ayahnya yang sempat setres. Bahkan melakukan percobaan bunuh diri beberapa kali.

Rafa ingat betul bagaimana ia dulu menangis dan berteriak melihat ayahnya yang berlumuran darah. Kejadian itu tak pernah hilang dalam ingatannya.
Beberapa hal yang ayahnya alami membuat Rafa berpikir. Sekejam itukah cinta? Membuat seseorang hampir mati. Mungkin, salah seseroang yang terlalu mencintai, atau tidak ikhlas ketika waktu memutuskan untuk berpisah. Sehingga matipun menjadi jalan akhir. Entahlah. Rafa seakan-akan tak ingin merasakan jatuh cinta.
Bertahun-tahun Rafa menutup hati. Banyak sekali wanita yang ia tolak, hanya karena ia takut, akan jatuh cinta pada orang yang salah. Seperti ayahnya.
Tapi takdir berkata lain. Rafa yang dulunya menghindar dari tatapan wanita, kini berubah setelah kehadiran Nayla.
Wajah Nayla mampu membuat jantungnya seolah-olah akan lepas.

"Rafa?" panggil seseorang, membuat Rafa kaget dan menghapus air matanya dengan cepat. Rafa mendongak melihat siapa yang memanggilnya.

"Po-py?"

"Lo ngapain disini? Jangan-jangan, lo kalau malam mingguan di rumah sakit ya?" tanya Popy, lalu duduk disebelah Rafa.

"Gak kok, gue disini lagi..." Rafa seketika lupa kenapa ia berada di rumah sakit.

"Lagi paan?" tanya Popy penasaran.

"Cuci darah." jawab Rafa begitu ingat akan tujuannya datang kerumah sakit.

"Cu..." baru saja Popy ingin bertanya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia meminta Rafa menunggunya sebentar. Popy beranjak—menjauh dari Rafa, dan segera mengangkat telepon dari ibunya.

Popy kembali menghampiri Rafa. Wajahnya tampak panik begitu mengangkat telepon.

"Lo kenapa? Panik gitu, mukanya." kata Rafa.

"Gue disuruh pulang sama nyokap, abisnya Nayla sama Hasya sekarang ada di rumah gue." jelas Popy.

"Nayla?"

"Iya, Nayla sama Hasya. Jadi kita bertiga itu janjian untuk belajar kelompok. Tapi gue lupa, dan malah pergi ke rumah sakit, jenguk tante gue yang baru aja lahiran. Lo tau ga? Anak tante gue itu cewe, cantik banget. Pokoknya cantik deh, imut lagi, hampir mirip dengan gue. Chubby gitu...," lontar Popy, panjang lebar, membuat Rafa ternganga mendengarnya.

"Mendingan sekarang lo pulang, kasian kan kalau Hasya dan Nayla harus nunggu lama." saran Rafa.

"Bener juga. Yaudah gue pulang duluan ya." pamit Popy, lalu pergi.
Rafa menghela nafas panjang, lalu tertawa ketika mengingat ucapan Popy tadi, mengenai anak tantenya yang katanya cantik dan imut seperti dirinya.

* * *

Sesampainya di rumah, telinga Popy terasa sakit akibat ocehan kedua temannya. Ia tahu ia salah, ia tak menepati janji, tapi baginya kedua temannya itu sudah berlebihan—memarahi dirinya hingga membuatnya menutup kuping akibat malas mendengar ocehan tidak berguna, itu.

Akibat kesal, Hasya menarik tangan Popy dan menjauhkannya dari telinga.

"Kuping lo jangan di tutup. Biar lo tahu gimana kesalnya kita nungguin lo tiga jam." tegas Hasya.

"Duh, kalian lebay banget sih. Baru juga tiga jam." jawab Popy membuat Hasya semakin geram.

"Lo bilang apa? Lebay?" akibat kesal, Hasya mengambil bantal sofa, kemudian melemparnya ke arah Popy.

"Dalam waktu tiga jam, kita bisa nyelesaian beberapa tugas..., nggak, bukan beberapa. Tapi, semua tugas. Sayangnya, karena lo lupa kalau hari ini kita belajar kelompok, waktu tiga jam itu terbuang sia-sia." kata Nayla, sambil membuka buku pelajaran.

"Denger, tu, kata Nayla." ucap Popy.

"Lo tu yang harusnya denger." kesal Hasya.

Popy cengengesan lalu mengambil kue yang telah disediakan ibunya. Dengan cepat Hasya menepis tangan Popy.

"Karena lo lupa, jadi lo di hukum. Lo gak boleh makan ni kue, sampe waktu yang gue tentukan." tegas Hasya.

Popy tercengang melihat tingkah Hasya, "gila. Lo mau gue meninggal karena kelaperan, hah?"

"Gue gak bolehin lo makan ni kue sampai batas yang gue tentuin. Dan waktu itu bukan sepuluh tahun, yang bisa bikin lo meninggal. Lagian kan gue cuma ngelarang lo makan kue ini, bukan makan yang lain. Kalau lo laper, gigit aja pulpen, atau kertas. Lo kan bisa makan apa aja." jawab Hasya, geram.

"Lo pikir gue apaan, makan pulpen sama kertas. Eh tapi..., Rafa. Gue inget, tadi gue ketemu Rafa."

Hasya memutar kedua bola matanya. Bagaimana bisa temannya itu beralih ke lain topik.
"Kenapa jadi bahas Rafa!" pekik Hasya.

"Tau lo, kaya gak ada pembahasan yang bagus aja." sambung Nayla, yang sibuk membaca materi yang akan mereka pelajari.

"Gue serius, tadi di rumah sakit, gue ketemu Rafa. Kalau gak salah..."

"Kalau gak salah, berarti benar." sambar Hasya.

"Lo itu bisa gak sih, gak usah potong pembicaraan gue."

"Lagian apa gunanya kita ngebahas dia."

"Nih, ya. Pas Nayla dibawa ke UKS, siapa yang panik, Rafa kan? Dia juga yang ngompres Nayla, sampai demamnya turun. Terus, Rafa ngasih Nayla bunga, dengan mengucapkan kata maaf. Itu tandanya, umurnya udah nggak lama lagi." tegas Popy, membuat Hasya dan Nayla terbelalak.

"Maksudnya?" serempak Hasya dan Nayla.

"Tadi, gue sempet nanya alasan Rafa ke rumah sakit. Dia ngejawab, kalau dia kerumah sakit itu mau cuci darah."

"Cuci darah?" tanya Hasya dan Nayla dengan heran. Nayla menyingkirkan buku yang ia baca, lalu mencari informasi di internet tentang penyakit yang membuat penderitanya harus melakukan cuci darah.

"Gimana?" tanya Hasya pada Nayla yang sibuk membaca beberapa artikel.

"Kalian kenapa repot-repot sih. Nih ya, gue pernah baca salah satu buku. Jadi kalau kita mengalami kerusakan ginjal atau semacam gagal ginjal gitulah, kita disarankan untuk melakukan cuci darah, karena ginjal kita udah ga berfungsi dengan normal, atau mungkin emang udah ga berfungsi." jelas Popy, membuat Hasya dan Nayla tercengang.

"Jadi, maksudnya, Rafa itu mengalami kerusakan ginjal?" tanya Hasya.

"Yup. Lo bener." jawab Popy mengiyakan.

"Tunggu dulu. Kita gak bisa dong langsung nyimpulin penyakit Rafa gitu aja. Lagian kita kan gak tahu itu benar atau nggak. Kalau memang benar, mungkin itu hukuman karena dia udah sering buat gue malu di depan banyak orang." kata Nayla.

"Nay, ini udah terbukti. Gue denger sendiri, Rafa bilang langsung ke gue. Lagian telinga gue bersih, kok. Jadi gue gak mungkin salah dengar." oceh Popy, meyakinkan.

"Mungkin yang dikatakan Popy bener, Nay. Soalnya Rafa bersikap baik gitu sama lo. Bisa jadi, dia mau nebus dosa-dosanya, sebelum ya..., itupun kalau dia sembuh."

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.4M 303K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
532K 10.1K 145
Kumpulan Quote Izin copast buat author nya ya ? #558 #339 #325 #271 #225 #142 #69 #10 kamu #11 Quote #9 Quote #6 Quote
3.6K 111 13
Mboh, baca aja kalo suka Nevin, Gizan, Firman, NightD uke Req boleh tapi jangan ada unsur rp(roleplay) karena otak saya tidak kuat
696K 9.4K 24
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+