Broken Wings

By claudieazalea

1.1M 68.3K 1.8K

Pernikahan seharusnya menjadi impian yang menyenangkan bagi banyak wanita. Tapi tidak dengan Kara. Pernikahan... More

1. Penderitaan
2. Bertahan
3. Menenangkan Diri
4. Benci untuk mencinta
5. Keresahan baru
6. Seseorang dari masa lalu (1)
7. Seseorang dari masa lalu (2)
8.Penguasaan diri
10.Kejutan
11. Alasan untuk tersenyum
12. Mimpi Buruk
13. SATU (#1)
14. Segala sesuatu ada maksudnya
15.Ketika rasa itu perlahan mulai datang
16. Membunuh perasaan
17. Te Amo
18. Ambigu
19. Yang ditakutkan terjadi
20. Double Shit
21. Perjanjian tak tertulis
22. Salahkah aku yang berharap?
23. Gosip
24. Bahu yang kuat
25. Konfrensi pers dadakan
26. Apa yang terjadi?
27. Refleksi masa lalu
28. Lebih dari sekedar rasa nyaman
29. I'm Sorry.. I can't
30. Filosofi gerbang Bradenburg
31. Mencintai dalam diam
32. Check up
33. Titik permulaan kesadaran
34. Angin segar
35. Apa yang kau lakukan terhadapku?
36. Perkelahaian
37. Lakukan demi hati
38. Keputusan
39. Upaya perdamaian
40. Waktu perenungan
41. Rindu
42. Ingin diperjuangkan
43. Rumah
POLLING PEMBACA
45. I'm Yours
Extra Part
Tanya pembaca (Pemberitahuan)
REQUEST CERITA

9. Penolakan

25.1K 1.4K 5
By claudieazalea

Sebelum baca bab ini sebaiknya klik ke lembar selanjutnya (yang tulisan bab 8. Penguasaan diri, krn entah kenapa.. ini jd ngacak susunan antara bab 8 dan 9.) Happy reading!

________________________________________________________________________________________

Saat kau menikah dengan seseorang, itu artinya kau membangun masa depanmu bersamanya. Bukan tentang 'aku' atau 'kamu' tapi 'KITA'

Pria berbaran besar itu menghampiri meja bar yang ada didekat meja bartender. Jaket hitam kulitnya menutupi tubuh besarnya. Siapapun yang melihatnya akan menganggapnya tukang pukul.

Melihat kedatangan pria itu, Javier mempersilahkannya duduk disebelahnya. Tanpa basa-basi, pria bertubuh besar itu memesan satu sloki jack daniel.

"Kau terlambat.." ujar Javier sambil melihat jam tangannya.

"Maaf, Bos. Terakhir saya mengikuti Nyonya hingga ke daerah Bogor. Dan jaraknya cukup jauh darisini."

Javier mengangguk mengerti. Ia tahu benar siapa yang dijumpai Kara di Bogor. Panti asuhan Tali Kasih, tempatnya dirawat dulu, ada di daerah Bogor. Dan hari ini adalah hari ulangtahun Ibu Asuh nya, sekaligus perayaan syukuran di panti itu. Sebenarnya Kara sudah mengajak Javier untuk ikut bersamanya. Tapi, Javier menolak. Alasannya? Tentu saja karena anak-anak. Ia benci mendengar segala celotehan riang anak-anak. Sebenarnya, kalau boleh jujur, ia juga merindukan Ibu asuhnya Kara itu. Harus diakui, Ibu asuhnya itu adalah sosok wanita ter-ramah yang ia pernah temui. Sosok keibuan yang jauh melebihi Ibu kandungnya sendiri.

"Dan perlu Bos tahu.. disana juga ada Damian, si pengacara itu."

Javier tersenyum masam, mendengar nama Damian disebut, sebenarnya ia tidak heran lagi, Damian juga berasal dari panti asuhan yang sama dengan Kara. Hanya saja, saat umurnya menginjak 10 tahun, ia sudah di asuh oleh keluarga kaya raya pengusaha kayu asal Bandung. Namun, lain hal dengan Kara, sampai ia menamatkan kuliahnya, tidak satu keluarga pun mengasuhnya. Sebenarnya bukan tidak ada. Namun ia memilih untuk tidak mau diasuh oleh siapapun, ia begitu mencintai Ibu Asuhnya. Baginya, Ibu asuh nya adalah Ibunya. Ibu yang merawatnya disaat Ibu kandungnya justru membuangnya.

"Sudah ku duga." Desahnya.

"Lalu apa rencana Bos selanjutnya? Apa saya perlu memberinya pelajaran?" Pelajaran yang dimaksud pria bertubuh besar itu tentu saja satu jurus pukulan entah itu di wajah atau diperut.

"Tidak. Tidak. Jangan bertindak sebodoh itu. Jika kau melakukannya, kau justru membahayakan keselamatan karirku." Javier mengibaskan tangannya, lalu ia menenggak satu gelas kecil cocktail yang tersedia dihadapannya.

Pria bertubuh besar itu mengangguk mengerti. Javier tiba-tiba teringat akan kedatangan Kara ke lokasi shootingnya tempo hari yang lalu.

"Kenapa kau tak mengabariku saat Kara hendak mendatangi lokasi shootingku kemarin?"

"Maaf, Bos. Tapi, saya sudah mencoba menghubungi berkali-kali. Hanya saja, Bos tidak menjawab."

Javier mengernyitkan keningnya. Ia mengeluarkan handphone dari saku celananya. Lalu mengecek daftar panggilan masuk dalam handphonenya. Benar saja, ada empat missed calls di jam kedatangan Kara saat itu. Panggilan itu atas nama Zack, pria bertubuh besar itu.

Ketika memastikan ucapan Zack tidak berbohong, ia menutup layar handphonenya lagi. Ah benar, ia pasti sedang sibuk shooting sampai tidak mendengar handphone nya berbunyi sekian kali.

"Bos, sepertinya Nyonya sudah menyadari bahwa ada seseorang yang mengikutinya." Zack berkata begitu karena setiap ia mengikutinya, Kara kedapatan seringkali melihat ke sekelilingnya dengan curiga.

Javier memainkan gelas cocktailnya yang tinggal berisi satu tegukan cocktail lagi saja, ia menggoyang-goyang gelasnya untuk mengguncang pelan isinya sambil satu tangannya bertumpu pada dahinya, "Kau benar. Ia sudah tahu." Javier mengingat kejadian malam itu, saat Kara protes akan kehadiran seorang penguntit yang mengawasi gerak-geriknya.

"Lalu bagaimana, Bos? Apa kita hentikan saja?" Zack terlihat cemas.

Javier mendesah berat. Dihentikan katanya? Kalau dihentikan itu sama saja memberi akses seluas-luasnya bagi Kara.

"Jangan. Kau sebaiknya tetap jalankan tugasmu. Aku tidak peduli ia sudah menyadarinya atau tidak."

"Tapi, Bos..."

"Tidak ada tapi-tapi, Zack. Kau ku bayar untuk ini, bukan?" Javier  mengeluarkan satu buah amplop coklat tebal dari saku celana jeans nya. Melihat hal itu, bisa dipastikan kedua mata Zack berseri-seri. Memang untuk ini ia datang ke tempat ini, untuk menerima upah.

"Lakukan saja apa yang ku perintahkan! Kalau memang dia menyadari bahwa kau mengikutinya, itu semakin menguntungkan buatku..." Javier tersenyum licik.

"Menguntungkan? Bukankah kita bisa dilaporkan ke polisi, Bos? Karena sudah mengancam kenyamanan hidup oranglain?" Kini Zack nampak seperti kebingungan.

Javier tertawa. Tawanya pecah membuat bartender yang sejak tadi sibuk membersihkan gelas dengan lap bersihnya menoleh heran padanya. Namun, Javier tidak peduli. Sekali lagi, ia menenggak cocktailnya, kali ini hingga tandas.

"Kara tidak akan melakukannya. Ia terlalu mencintaiku, jadi tidak mungkin ia mempermalukanku dengan melaporkanku. Percayalah!" Katanya sambil menepuk bahu Zack, "Lagipula... kalau ia menyadari kau menguntitnya, itu artinya kedepannya ia akan lebih hati-hati dalam berurusan dengan Damian atau lelaki manapun itu."

Zack mengangguk mengerti, ia mengusap dagunya seperti orang sedang berpikir. Melihat tingkahnya, Javier jadi bertanya-tanya.

"Ada apa?"

"Sekarang aku baru percaya, Bos. Ternyata rasa cemburu itu memang bisa membuat seseorang bertindak protektif."

Javier mengangkat sebelah alisnya, "Apa? Cemburu katamu?"

"Ya. Bos dengan Nyonya pastilah karena Bos mencintainya jadi... Bos tidak ingin si pengacara itu mendekatinya." Zack yang tidak tahu apa-apa berkata dengan polosnya. Hal itu tentu saja membuat kegeraman dalam diri Javier, cinta katanya?!

"Tapi, ku rasa itu hal yang wajar, Bos. Seorang suami sudah selayaknya begitu pada wanita yang dicintainya, kan?" Zack mengulanginya lagi.

Spontan Javier bangkit berdiri. Ia menarik kasar kerah kemeja Zack. Membuat Zack mendekat paksa ke arahnya. Lalu, dengan tatapan tajam ia menatap Zack, "Jangan bicara soal cinta padaku! Sebaiknya lakukan saja tugasmu dan jangan mencampuri urusan pribadiku!!" Ia berkata dengan geramnya. Kemudian ia melepas kasar tubuh Zack menjauhinya dan melemparkan amplop coklat berisi uang itu di meja bar, sebelum akhirnya ia pergi dengan kemarahan yang masih memenuhi dirinya.

***
"Ibuuuuuuu!!" Teriak Kara dari gerbang masuk panti. Ia bahkan bergegas turun dari yaris hitam milik Sandy. Sandy ikut mengantarnya ke panti ini. Seseorang yang dipanggilnya Ibu sudah menunggunya di teras depan panti. Wanita berusia sekitar 58 tahun itu tersenyum tulus melihat kedatangan Kara. Wajahnya belum keriput benar, kulitnya bersih.. namun beberapa helai uban sudah nampak di rambutnya. Ia merentangkan kedua tangannya untuk menyambut Kara. Disisinya berdiri Damian yang sudah sejak dulu sampai.

"Ibu.... Kara kangen....." Kara yang sudah berada di pelukan Ibu asuhnya itu menggelayut manja dalam dekapnnya. Ibu Mirna, ibu asuhnya itu, hanya mengangguk sambil mengusap lembut punggung Kara.

"Ibu juga kangen kamu, Nak."

"Yah.. kangennya sama Ibu saja! Bagaimana denganku?" Sindir Damian halus.

Kara hanya memanyunkan bibirnya sambil pura-pura kesal. Melihat hal itu, Damian mengacak-acak rambutnya. Membelai puncak kepalanya dengan asal. Begitulah mereka, Ibu Mirna selalu tahu, sejak dahulu mereka memang seperti kakak-adik.

Sandy yang melihat pemandangan itu dari yaris hitamnya, segera bergegas turun. Ah, tempat ini memang selalu menawarkan kenyamanan. Sekalipun ia bukan seseorang yang diasuh disini sejak kecil, namun ia bisa merasakan ada aroma kekeluargaan setiap kali ia datang ke tempat ini.

Panti asuhan Tali Kasih bukan panti asuhan besar. Ada sekitar lima puluh anak asuh disini. Sepuluh diantaranya masih bayi, 12 orang berusia balita, 24 orang dalam usia remaja, dan 4 orang lainnya sudah dewasa---bekerja dan kuliah. Sandy mengetahui jumlah ini dari Kara. Ia yang menemani Kara membeli bahan pokok untuk panti sesuai jumlah penghuni di dalamnya. Dan... ditambah 4 orang pengasuh di panti itu.

"Ibu.. Apa kabar?" Kali ini Sandy yang menyapa dari belakang tubuh Kara. Menyadari keberadaan Sandy, Ibu Mirna melepaskan pelukannya pada Kara, lalu menyambut Sandy. Sandy meraih tangan Ibu Mirna dan menaruhnya tepat di dahinya, tubuhnya sedikit membungkuk.

"Baik, Nak Sandy. Wah, kalian pasti capek sekali ya. Jakarta-Bogor jauh kan.."

"Duhhh, bener itu Bu!" Jawab Sandy dengan nada kemayunya, "Ibu kalau mau menjamu kita dengan satu gelas teh manis dingin... sepertinya boleh juga. Sandy tuh capek ya, Bu..." katanya sambil tangannya meremas sendiri bahunya yang menegang sejak menyetir tadi.

Ibu Mirna hanya tertawa melihat tingkah Sandy. Kara mendelik tajam ke arah Sandy, ia menyikut perut Sandy. Pandangan matanya seolah mengingatkan Sandy agar tidak bertingkah seperti itu.

"Sudah. Tidak apa-apa, Kara. Ibu nanti suruh Asih untuk buatkan teh manis dingin." Kata Ibu Mirna sambil menarik Kara menjauhi Sandy. Terpaksa Kara menurut, sementara Sandy hanya bisa tertawa puas.

Kara mengikuti Ibu Mirna masuk ke dalam, ke ruang kerjanya. Sementara Sandy dan Damian memilih bergabung bersama beberapa anak panti yang berusia balita. Anak panti yang berusia remaja terlihat sibuk mempersiapkan acara syukuran di ruang tengah.

Dari balik jendela ruang kerjanya, Ibu Mirna mengawasi beberapa orang anak panti usia remaja terlihat sedang mengangkat beberapa karung beras dan kardus indomie dari mobil yaris hitam milik Sandy. Tidak banyak, hanya dua buah karung beras 20kg dan 2 buah dus indomie.

"Terimakasih ya, Kara. Kamu sudah bawakan sembako lagi kesini." Kata Ibu Mirna sambil mengulum senyum. Ia mengambil tempat duduk disebelah Kara. Di sofa tua yang ada di tengah ruangan itu. Sofa tua itu bahkan belum juga berganti sejak Kara berusia 15 tahun.

"Ah bukan apa-apa, Bu. Kara justru inginnya bawa lebih banyak sembako lagi. Tapi, mobil yaris hitam Sandy kan tidak bisa bawa banyak muatan, Bu. Lihat aja tuh.. bentuknya saja kecil."

Ibu Mirna tertawa geli, "Sedikit atau banyak tetap membantu kok, Nak. Tidak apa-apa. Lagipula Damian tadi juga sudah membawa beberapa macam sembako lainnya."

Kara mengulum senyum tipis.

"Javier mana? Kenapa dia tidak pernah kemari?" Tiba-tiba Ibu Mirna bertanya. Pertanyaannya membuat Kara terkesiap.

"Sedang sibuk shooting, Bu." Hanya jawaban itu kan, yang membuat segala sesuatunya masuk akal? Tidak mungkin ia berkata sejujurnya bahwa Javier menolak datang ke tempat ini.

"Ah, anak itu... sudah makin bagus ya karirnya?"

"Iya bu. Syukurlah."

Hening. Kara memaksakan sedikit senyumnya, berharap dengan itu Ibu asuhnya tidak menyadari kebohongan yang diciptakannya.

"Kalau memang sibuk tidak apa-apa. Asalkan kalian baik-baik saja... Ibu sudah senang."

"....."

"Nak....." kata Ibu Mirna memecah kebisuan Kara. Kara menoleh, melihat sosok penuh kasih sayang yang ada disebelahnya.

"Apa kamu belum mengandung juga?" Tanya Ibu Mirna pelan.

Kara terpaku mendengar pernyataan Ibu asuhnya. Bukan karena ia enggan menjawab tapi ia sendiri bingung untuk menjawab apa.

Pikirannya melayang pada perisitiwa beberapa bulan silam. Satu bulan sesudah pernikahan mereka, tepatnya bulan Desember.

"Jav, tadi saat misa Natal di gereja.. tak sengaja aku lihat anak sekolah minggunya banyak sekali..." kata Kara disuatu malam natal, saat mereka usai melakukan hubungan intim mereka sebagai suami istri. Malam itu, saat Kara sedang bersandar manja pada bahu suaminya.

"Hmm.. lalu?" Javier tak mengerti.

"Aku suka sekali pada anak-anak, Jav. Maksudku... apa tidak sebaiknya kita punya anak? Aku juga ingin ada darah daging kita menemani hari-hari kita.." tanya Kara pelan. Pertanyaannya seperti membujuk. Ia harus melakukan ini. Karena sebenarnya, selama ini Javier selalu melakukan tindakan yang membuat benih itu tidak tertanam di rahim Kara. Ia selalu menghindarinya.

"Mungkin aku harus mengingatkanmu tentang hal ini lagi. Aku tidak suka anak-anak dan kau perlu ingat ini.. bahwa aku menikahimu bukan untuk keturunan. Tapi, memenuhi keinginan ayahku dan memperbaiki karirku."

"Tapi, Jav.. bukankah Papa sudah katakan bahwa ia ingin menimang cucu?" Tatapannya memohon, namun Javier sudah kepalang kesal. Ia benci pembeicaraan ini. Ia beringsut menjauhkan kepala Kara dari sandaran di bahunya.

"Itu maunya Papa, Kara! Maunya Papa! Bukan aku! Jadi kau jangan memaksaku!" Nada suaranya meninggi menghentakkan Kara dari permohonannya.

Bahkan, hingga saat ini seruan kasarnya masih terngiang di kepalanya. Ia tidak menginkan seorang keturunan pun dari rahimnya.

Dengan lemah Kara menggeleng untuk menjawab pertanyaan Ibu Mirna, "Kara belum hamil, Bu. Mungkin belum waktunya dikasih Tuhan."

Ibu Mirna menggeser duduknya mendekati Kara, ia meraih tangan lembut Kara dan menepuk pelan punggung tangannya, "Yang sabar ya, Nak. Waktu Tuhan itu yang terbaik. Yang penting kalian sudah usaha.."

Kara mengangguk lesu, seandainya Ibu asuhnya ini tahu.. apakah masih tetap ia akan berkata begini tanpa menyalahkan Javier?

***

Acara syukuran ulangtahun Ibu Mirna berlangsung baik. Banyak anak panti yang merasa senang akan kedatangan Damian dan Kara. Kara khusunya, karena baru setahun belakangan ini ia meninggalkan panti. Masih banyak anak panti yang mengenalnya. Berbeda dengan Damian, meski tidak banyak anak panti mengenalnya, tapi tetap saja sosoknya menjadi sosok yang dirindukan pula. Pasalnya, ia yang paling rutin mengirim bantuan ke panti ini. Kalau Sandy? Jangan ditanya... kedatangannya selalu memberikan warna tersendiri bagi anak panti, guyonan khas nya menjadi canda tawa diantara mereka.Ah, seandainya Javier disini... pasti kebahagiaan ini terasa lengkap.. gumam Kara dalam hatinya. Sayangnya, Javier terlalu egois. Masih saja menganggap dunianya adalah dunianya dan dunia Kara adalah dunia Kara sendiri.

Tbc

Continue Reading

You'll Also Like

9.6M 1.1M 67
Tidak ada perlawanan ketika tubuhnya dihempaskan ke lautan luas tersebut. Otaknya tidak merespon bahwa ia berada dalam keadaan berbahaya, tidak ada r...
8.4M 673K 71
Kanesa Alfira hanya berencana berlibur usai resign dari Tano Group setelah bekerja selama 6 tahun. Memilih pulau Komodo sebagai destinasi liburan 2 m...
25M 2.5M 73
Bagaimana perasaan kalian jika dijodohkan dengan seseorang yang tidak masuk kedalam kriteria pasangan impian kalian? itulah yang Zara rasakan. Namany...