Love Song

由 girayu

107K 3.5K 104

"Tidak semua lagu cinta bermakna cinta. Andai saja ada sebuah kesempatan bahwa masa lalu bisa di tulis ulang... 更多

Track 01 - Intro
Track 02 - The Memory
Track 03 - Forgive Me Not
Track 04 - Snow White
Track 05 - Suddenly
Track 06 - Gossip Man
Track 07 - Lost Memory
Track 08 - Sweet Latte
Track 09 - 24 November. Tell Me Goodbye
Track 10 - Silent Tears
Track 11 - Let Me In
Track 12 - Lies
Track 13 - Angel Wings
Track 14 - Let Me Hear Your Voice
Track 16 - Love Song
Track 17 - Day by Day
Bonus Track - Missing You

Track 15 - Last Farewell

3.1K 217 1
由 girayu

(a/n) sambil play multimedianya please.


NAGA berjalan terengah-engah di sepanjang koridor serba putih. Ia mengabaikan semua rasa sakit yang berdenyut di kepala dan kakinya. Ia tidak perduli dengan napasnya yang sudah mulai sesak karna tubuhnya masih belum mampu berjalan jauh. Tangannya berpegangan pada dinding. Ia berjalan terseok-seok. Di pikirannya hanya satu. Ia harus memastikan semuanya dengan matanya sendiri.


Tiba-tiba bayangan di mimpinya muncul lagi. Perempuan tanpa sayap yang mirip Malaikat. Dia tersenyum anggun dan terlihat bahagia.

'Dingin ya? Tapi Naga harus pulang. Lihat, disana, ada yang sedang menunggu Naga...'

'Dialah rumah Naga. Penghuni bangunan itu adalah rumah Naga. Kalau Naga tidak pulang, ia akan membeku selamanya disitu. Dan Naga akan kehilangan rumah Naga. Naga mau?'

Naga menggeleng pelan untuk membuyarkan ingatannya. Ia mengigit bibirnya kuat-kuat menahan panas di matanya yang mulai menjalar. Masih terseok. Masih terengah-engah.

Malam itu, malam dimana Naga kembali bermimpi tentang sosok itu. Naga ingat ia berdiri di tempat yang sama. Semua serba putih dan berkabut. Perempuan itu berdiri di ujung tebing. Naga ingin menyapanya, namun perempuan itu malah tersenyum seraya menjatuhkan dirinya ke dasar tebing yang dalam. Naga terhenyak. Ia berteriak namun suaranya tak keluar. Ia ingin meraihnya namun tangannya tak sampai. Naga hanya bisa melihatnya jatuh dan jatuh terus ke dalam dan makin dalam. Dan saat cahaya terang tiba-tiba berpencar dari dasar tebing ke segala arah, Naga mendapati dirinya di atas ranjang rumah sakit, tersengal-sengal, berkeringat dan gemetar. Mimpi itu begitu nyata.

Demi menghilangkan kecemasannya, iapun menemui wanita di mimpinya itu, tengah malam tepat jam 2. Wanita itu sedang melamun di atas ranjangnya, menatap langit malam yang kelam kehitaman tanpa bulan. Saat Naga mengintipnya dari balik kaca pintu, wanita itu menyadarinya lalu menatapnya, tersenyum. Senyum yang sama. Senyum anggun dan tulus. Naga ingat wanita itu mengucapkan sesuatu yang membuat Naga merinding. Dari balik kaca, tanpa suara, mulutnya mengatakan sesuatu.

Dan kini, ketika pagi menjelang, sebuah kabar berhembus dan sampai ke telinganya. Wanita itu... benarkan dia? Benarkah dia? Demi kembali memastikannya, Naga berjalan susah payah ke tempat itu. Dua langkah lagi, pintu sudah dapat ia raih dalam dua langkah lagi.

GRAK!!

Naga sampai di tempat yang ia tuju. Ia mengangkat kepalanya susah payah dan langsung tertegun mendapati pemandangan di depannya. Angin dingin seperti berhembus menerpa tubuhnya yang berkeringat. Seperti hawa berkabut dalam mimpinya. Tapi disini tidak serba putih dan kabur. Semuanya begitu jelas tertangkap di matanya. Di sana, di depannya, ada punggung Rara yang perlahan bergerak menoleh ke arahnya. Rara menatapnya, menangis. Dengan dinginnya, air terus mengalir melewati pipinya. Naga gemetar. Lurus di depannya, terbaring tubuh berselubung kain putih sampai kepala.

"Dinyatakan meninggal pukul 09.45, pecah pembuluh darah di kepala, atas nama Aliana Rosalia." Dokter Gana berucap pada suster di sampingnya. Naga mendengarnya sangat jelas. "Meninggal...?" Naga bergumam dan menatap Rara di depannya yang masih menatap ke arahnya dengan tanpa ekspresi. Mata Rara menjawabnya. Mata kelam Rara yang berair, mengiyakannya.

***

Naga menduduki kursi tunggu di koridor. Ia termangu lama. Di sampingnya, Rara duduk tenang. Air matanya sudah berhenti. Hanya matanya yang masih terlihat lembab.

"Pecah pembuluh darah di otak, katanya," Rara bersuara pelan dan serak. Ia merunduk. "Nggak ada yang menyangka. Semua masih baik-baik aja sampai tadi pagi. Malah dia masih sempat bercanda soal kepalanya yang sekarang botak. Hehe..."

Naga melirik Rara lemah. Rara memang sedang tertawa di sampingnya. Tawa yang terdengar begitu menyedihkan buat Naga.

"Padahal seminggu lagi, dia udah bisa kita bawa pulang. Yah, belum seminggu dia juga udah pulang sih. Sendirian. Ke rumahnya yang lebih abadi yang ada di sana..." mata Rara menerawang langit-langit. Tidak ada air mata disana.

Naga menatapnya dengan perasaan campur aduk. Ada iba, sedih, tidak rela. Setelah semuanya. Yah, setelah semuanya yang ia pikir akan berakhir indah. Tapi ini juga bukan ending yang jelek, ia tahu. Setidaknya, walau berat, wanita itu sudah mendiami tempat yang lebih baik darinya sekarang.

"Dua malam yang lalu, gue menemui dia Ra," Naga merunduk lesu. Rara menoleh ke arahnya, matanya menelusuri setiap lekuk wajah Naga.

"Inget kan? Gue pernah bilang kalo gue ketemu bang Jay disana," Naga menunjuk ke atas, seolah-olah itu adalah tempat yang dia bilang ketika itu. "Disana, sebenernya gue juga ketemu sama wanita cantik bersenyum tulus yang mirip Malaikat, tapi nggak punya sayap. Yah, dia nyokap lo. Dia yang nunjukin gue jalan untuk pulang ke tempat lo. Dia yang bawa gue kembali ke sini Ra..."

Rara menatap lekat wajah Naga yang sedang tersenyum. Naga kembali melanjutkan, "dua malam lalu itu, waktu gue menemui dia, dia bilang terima kasih sama gue. Aneh kan? Padahal harusnya gue yang berterima kasih sama dia. Udah memaafkan gue dan bang Jay, bahkan sampai datang langsung menemui lo dan bokap lo untuk meminta maaf dari kalian buat gue, buat bang Jay."

Naga mengambil jeda.

"Coba, menurut lo lima hari ini apa aja yang udah nyokap lo lakuin? Bukan cuma sekedar pamit dengan kalian untuk pergi baik-baik aja, Ra. Tapi juga ninggalin kasih sayangnya yang selama tiga tahun ini sudah sangat lo ragukan keberadaannya. Dia pengen lo tahu, kalau hanya lo dan bokap lo, keluarga yang dia miliki, orang-orang yang ia sayangi. Makanya, sebelum benar-benar pergi, dia akan meninggalkan kenangan dan kesan yang baik pada kalian. Biar kalian bisa dengan indah mengenangnya, setelah ia pergi nanti..."

Bayangan Naga di mata Rara mulai kabur karna air mata kembali memenuhi matanya. Ia merasakan ketulusan ibunya pada ucapan Naga barusan. Kenapa harus Naga yang bilang? Kenapa ia tidak bisa merasakannya sendiri? Karna itukah mereka bertemu?

Naga menggenggam tangan Rara yang menangis keras disampingnya. Ia memejamkan mata sesaat untuk membiarkan air yang juga tumpah dari matanya. Sambil mengenang senyum Aliana di malam itu, Naga menarik kepala Rara dalam dekapannya.

'Terima kasih, Naga...'

***

Angin berembus masuk dari jendela, meniup pelan rambut depan Naga yang mulai agak panjang. Naga termenung di tepi ranjang sambil menatap langit sore. Awan merah yang dulu pernah dilihatnya, kembali muncul. Menggantung bebas di angkasa. Melayang-layang dibawa angin, seperti sedang menyapanya. Andai benar disanalah tempat mereka, apakah itu berarti mereka sedang bahagia sekarang?

"Naga lagi apa?" Gami muncul dari belakang. Naga tak bergerak, masih menatap lurus ke luar jendela. Gami menghela napas. Ia menghampiri adik laki-lakinya itu dan ikut memandang ke langit.

"Hari ini pemakamannya ya?" Gami bersuara pelan.

"... Iya..." Naga menyahut dalam lamunannya. Dirinya memang tidak bisa mengantar Aliana menuju peristirahatan terakhirnya sekarang, tapi jiwanya sudah pernah mengunjungi rumah abadi Aliana di sana.

"Yang kuat ya Ga. Rara juga... dia bakal kuat juga kan?"

"Ya."

Gami tersenyum. Ia menepuk bahu Naga pelan, lalu menempelkan kepalanya disitu. Naga melirik kakaknya. Rambut Gami menyentuh dagunya, menebar wangi apel yang membuatnya rileks.

Ya... dia kuat. Kami kuat.

***

Desakan angin membuat daun-daun bergesekan dan mendesis. Seperti suara tangisan yang mengiringi seorang mahluk Tuhan yang sekali lagi pergi. Langit juga semakin jingga, pertanda malam akan segera menjemput, membuat suasanan semakin sedih. Rara terpaku di depan pusara ibunya. Hanya gundukan tanah merah dan basah bertaburan kelopak bunga mawar merah saja yang tersisa disana. Tidak ada suara, tidak ada senyuman, apalagi pelukan untuk Rara. Ibunya benar-benar sudah tiada. Rara menyadarinya sejak melihat jasad wanita cantik itu bersatu dengan tanah tadi. Dia benar-benar pergi. Dia sudah pergi sekarang.

"Rara!!" panggil seseorang yang sejak tadi tidak kuat lagi menahan gemuruh perasaannya dari jauh. Ia berlari mendekati Rara yang menoleh pelan ke arahnya. Rara terhenyak. Maya muncul dan memeluknya.

"May...?"

Maya menangis memeluk Rara. "Maafin gue Ra... Gue mengaku sahabat lo, tapi gue nggak pernah ada di saat lo susah."

Rara termenung. Ini bukan salah Maya. Rara memang tidak suka masalahnya diketahui banyak orang. Bukan gayanya.

Dengan tenang Rara menepuk-nepuk pundak Maya. Maya melonggarkan pelukannya. Ia terisak sambil mengamati Rara yang tersenyum.

"Kok, malah lo yang nepuk-nepuk gue? harusnya kan gue..." celetuk Maya membuat Rara tertawa kecil.

"Lo tahu dari mana?"

"Gue ngeliat lo di kampus waktu sama Naga. Kalian ribut-ribut padahal setahu gue, kalian nggak sedeket itu sampe bisa ribut kaya begitu. Akhirnya gue... gue menyelidiki, ada apa sebenarnya di antara kalian. Sampailah gue di Rumah sakit itu, dan akhirnya tahu semua. Gue sempet sakit hati sama lo Ra, karna lo udah bohongin gue. Tapi, melihat lo selama beberapa hari ini, gue jadi malu. Daripada cemburu nggak jelas, gue seharusnya ada di saat lo susah. Maaf Ra, gue baru berani dateng sekarang..."

"Lo nggak salah kok. Gue emang nggak pengen siapapun tahu tentang gue..."

"Kok lo gitu sih? Gue kan bener-bener khawatir sama lo Ra!"

"Iya, gue tahu. Makasih yah..."

Maya kembali terisak. Ia memeluk Rara lagi. "Mulai sekarang, lo boleh jujur apapun sama gue. Termasuk soal pacaran sama Ekanaga."

"Hah?!" Rara melepaskan pelukan Maya. "Pacaran sama siapa?"

"Nggak usah pura-pura deh, lo suka kan sama dia?" Maya memicingkan matanya. Rara diam tak berekspresi. Maya pasti udah gila!

"Gue kan udah bilang, nggak bakal ngerelain Naga sama cewe manapun, kecuali dia lebih cantik dari gue!" seru Maya mantap. Rara mengangkat alisnya. "Lo emang ngga lebih cantik dari gue sih, tapi lo kan sahabat gue. Jadi, itu udah lebih cukup utuk membuat gue merelakan Ekanaga..."

Maya tersenyum diujung kalimatnya. Rara hanya bisa terpaku mendengar ucapan aneh orang didepannya ini. Apa benar ada ikatan semacam ini? Apa persahabatan itu memang ada?

Sore itu Rara memantapkan hatinya. Ia ingin belajar lagi. Belajar untuk lebih percaya sama orang, belajar terbuka, dan belajar menerima. Walau belum sepenuhnya dalam suasana yang bisa membuatnya tersenyum lepas, namun demi Maya, ia membalas senyum orang itu demi menghargainya.

"Terima kasih, May..."

Maya tersenyum lebar mendengarnya.

***

Hari ini Naga keluar dari Rumah Sakit. Banyak fans yang sudah menunggunya di luar pintu RS, membuat jalanan sesak walaupun mereka tidak gaduh. Tapi tidak ada yang tahu kalau Y Management sudah membawa Naga sejam lebih awal dari waktu dia harusnya keluar. Kini Naga sedang dalam perjalanan pulang ke asramanya. Ia duduk di pinggir jendela mobilnya sambil menerawang melihat langit biru.

"Kenapa nggak ke rumah Ga? Tumben," Sian melirik bayangan Naga dari spion dari balik kemudi.

"Mmm... gue kangen kamar gue yang di asrama," jawab Naga seadanya.

Eri yang khusus ikut mejemputnya, menghela napas panjang. "Asal lo tahu ya Bang, gue bahkan sampe ngebersihin kamar lo sampe kinclong! Demi menyambut lo pulang."

"Mmm. Mandiin Hago juga?" Naga menoleh polos pada Eri yang langsung terpaku. Eri memalingkan wajahnya. "Hago... Hago... agak lupa sama nama itu... sejenis apa ya..."

Naga tertawa. Ia menendang pelan kaki Eri. "Becanda. Ntar malah gantian lo lagi, yang masuk RS gara-gara digigit Hago."

Eri diam-diam merasa lega, karna keadaan kembali normal. Naga tersenyum lagi, mengajaknya ribut seperti biasa.

"Bang, habis ini kita bakalan sibuk banget loh," Eri menyandarkan kepalanya pada kepala sofa mobil. Ia melirik Naga. Naga masih membelakanginya, sibuk melihat jalanan dan langit di luar mobil.

"Uhm."

"Mungkin, konser kita juga tahun ini, bakal jadi awal Asia Tour kita."

"Iya."

"Dan... lo udah nggak ngoyo buat nyanyiin Suddenly lagi kan?" tanya Eri hati-hati.

Naga menoleh sambil tersenyum. "Kenapa nggak?"

"Masih mau nyanyi?!" Eri bangun tiba-tiba.

"Uhm. Mungkin. Tapi gue udah nggak ngotot lagi buat masukin lagu itu ke dalam album gue selanjutnya sih," Naga memicingkan mata ke atas, berpikir sejenak.

Eri melengos lega. Berarti dia udah sembuh, batinnya.

"Daripada itu, ada lagu baru yang lebih mau gue nyanyiin nanti," Naga kembali tersenyum menatap Eri. Eri penasaran. Ia diam untuk menerka-nerka, sejenak kemudian menyerah dan melirik Naga.

"Lagu apa?"

Naga tertawa kecil sambil angkat bahu. "Liat aja nanti..." sambil masih tertawa ia memalingkan wajahnya lagi ke jendela. Menatap guratan-guratan awan putih di langit yang biru. Membiarkan sinar matahari yang transparan masuk dari kaca jendela, dan dengan hangat mencium wajahnya. Rasanya Naga tak sabar menunggu saat itu datang

***


(a/n)

Gue tetep bersyukur yang baca cerita ini sampai sini cukup banyak meski belum menembus angka 100 dan banyakan silent readers nya timbang yang voments, tapi, gue seneng kenyataannya cerita ini tetep ada yang setia baca :)

hatur thankyou buat readers !


繼續閱讀

You'll Also Like

1.9M 88.9K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
6.1M 478K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
717K 67.2K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...