The Mission

By D_green38

173K 10.1K 276

Hannah Underwood, harus menghidupi adiknya yang masih berumur 10 tahun. Ia harus mencari pekerjaan. Setelah i... More

The Mission: 2
The Mission: 3
The Mission: 4
The Mission: 5
The Mission: 6
The Mission: 7
The Mission: 8
The Mission: 9
The Mission: 10
The Mission: 11
The Mission: 12
The Mission: 13
The Mission: 14
The Mission: 15
The Mission: 16
The Mission: 17
The Mission: 18
The Mission: 19
The Mission: 20
The Mission: 21
The Mission: 22
The Mission: 23
The Mission: 24

The Mission: 1

28.8K 832 17
By D_green38

Aku terduduk di pinggir jalan, memerhatikan lautan manusia di depanku. Semakin malam, tempat ini semakin ramai. Kebanyakan anak muda seusiaku. Mereka bersama teman-temannya tertawa dan tersenyum lepas. Seperti tidak ada beban dalam hidupnya. Tidak memperdulikan kalau disini ada yang iri melihat mereka.

Ya, aku.

Aku iri pada mereka. Semenjak perang satu setengah tahun yang lalu, hidupku berubah drastis. Aku hidup bersama adik perempuanku yang masih berumur 10 tahun. Kedua orang tuaku meninggal saat perang. Perang antar Whites dan Blacks yang memakan banyak jiwa, terlebih anak-anak dan remaja. Memang konyol kedengarannya, tapi itulah yang sudah terjadi. Perang belum usai. Belum ada yang bisa menenangkan perang antar ras itu. Tempat yang kutinggali termasuk Whites. Jadi ditempat kami tidak boleh ada Blacks. Jika pun ada, orang itu akan di penjara seumur hidup.

"Mama! Lihat itu!"

Aku menoleh ke arah anak kecil itu. Umurnya sekitar 6 tahunan, bersama ibunya yang sudah agak tua.

"Tidak, kau tidak boleh memakan permen itu."

Aku menatap mereka. Anak itu nurut dengan ibunya. Dia menganggukan kepala kecilnya-tanpa senyuman.Ibunya menggenggam tangan kecilnya dan kembali berjalan menyusuri pasar malam ini. Suasana dipenuhi oleh suara teriakkan para pengunjung yang tengah bermain roler coaster. Pengunjung muda. Sedangkan pengunjung yang lansia tengah asyik di tengah danau menikmati sinar bulan yang indah.

Tatapanku kembali ke anak perempuan tadi. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu dia melepaskan pegangan ibunya dan berlari. Aku terkejut, hendak mengejar anak itu. Dan sepertinya ibu itu tidak mengetahuinya. Akhirnya aku bangkit dan berlari mengikuti gadis kecil itu. Aku melihatnya sedang berlari ke arah danau. Saat tubuh kecilnya hampir mencapai tepi danau dan hampir terpeleset, aku mengambil lengannya, dan dia menoleh terkejut.

"Apa yang kau lakukan, gadis kecil?"

"Siapa kau?" tanyanya.

Aku hanya tersenyum dan kembali menuntunnya. Pasti ibunya sedang mencari anak ini. Aku menggenggam tangan kecilnya, berjalan menuju ibunya. Dia hanya diam, mungkin dia merasa aneh di genggam oleh orang asing bertubuh kotor dan compang-camping sepertiku.

Saat aku menemukan ibunya, aku mulai berjalan cepat dan gadis ini juga mempercepat langkahnya.

"Permisi, nyonya?"

Dia menoleh, wajahnya penuh kecemasan.

"Ini anakmu, tadi dia hampir terpeleset di danau."

Dia menoleh ke bawah, dan langsung menggendong anaknya itu. Dia tersenyum-lebih terlihat senyuman paksa. Lalu dia pergi.

Beginikah sikap semua orang? Tidak tau terima kasih. Ayahku selalu mengajarkanku untuk selalu bersikap sopan di depan orang. Menolong kalau ada yang membutuhkan, dan berterima kasih kalau merasa sudah tertolong. Aku merindukan orang tuaku.

Aku kembali terduduk di pinggir. Aku melihat wahana roler coaster yang tidak pernah sepi. Setelah lewat jam 1 pagi, pengunjung mulai menyepi. Saatnya aku dan yang lain bekerja. Aku bertugas membersihkan sampah-sampah. Inilah pekerjaanku. Adikku juga bekerja, dia memaksa untuk bekerja. Akhirnya dia bekerja sebagai kurir koran setiap pagi. Melempar koran di halaman rumah orang-orang dengan berjalan kaki. Ya, jalan kaki. Aku merasa kasihan padanya, berjalan jauh dan hanya diupah hampir sama sepertiku. Tapi bisa dibilang, pekerjaan adikku jauh lebih terhormat daripadaku. Aku hanya gadis berumur 16 tahun dengan pekerjaan tukang mengumpulkan sampah yang terkadang tidak diupah.

***

Aku berjalan menuju tempat tinggalku dan adikku. Dia pasti senang sekali aku sudah membawakannya oleh-oleh. Makanan kecil yang sering dia makan dulu.

Aku menyalakan senter sebagai penerangan di tempat tinggalku ini. Banyak orang juga yang tinggal disini. Nasib mereka hampir sama denganku, tidak punya keluarga, atau mereka telah diusir. Dulu setelah ayah dan ibu meninggal, aku dan Em tidak tau harus berbuat apa. Tidak tau harus diapakan rumah-besar-ku ini. 2 minggu setelah ayah dan ibu meniggal, para marinir datang mengepung rumahku. Aku melindungi adikku yang menangis waktu itu. Aku sama sekali tidak rela kalau rumahku di segel. Rumah-mewah-ku.

"Hey, Em."

"Darimana saja kau?"

Aku menghampirinya dan duduk disampingnya, dia sedang membereskan buku-buku yang sering ia baca.

"Aku punya oleh-oleh untukmu."

"Apa? Sebuah botol bekas untuk kita minum lagi?"

Segera, aku mengeluarkan makanan kecil itu dari kantong celanaku. Makanannya sudah remuk karena kutaruh di kantong. Mata Em membulat melihat apa yang berada di tanganku saat ini.

"Chocofish!" Em mengambil kue itu dengan cepat. Kue coklat berbahan daging ikan. Kedengaran aneh memang, tapi rasa kue ini enak dan mahal pula. Em memakannya dengan lahap, aku hanya menatapnya senang. Dia tidak peduli kalau aku mengambil kue itu dari sisa kedai di pasar malam tadi.

"Ini untukmu."

Aku menatap Em, dan dia menaruh sisa kuenya di telapak tanganku. Dia tersenyum dan memaksaku untuk memakannya. Dia tau kalau aku belum makan dari tadi sore. Ya, kami hanya makan sekali sehari. Itu juga makanannya hanya secuil saja.

"Tidurah, besok kau harus melempar koran-koran, kan?"

Dia mengangguk dan menguap dengan lebar. Aku mencium keningnya dan menyelimutkannya dengan kain yang sudah usang. Mungkin itu sudah cukup bagi Em.

Aku berjalan menuju meja kecil di sudut ruangan. Dimana diatas meja itu terdapat banyak foto-foto kenangan keluargaku. Dari aku kecil hingga umurku 14 dan Em masih 8 tahun. Di foto itu, semua tersenyum bahagia. Tidak menyangka kalau semuanya akan menjadi seperti ini. Mereka telah tiada, dan aku menjadi gelandangan. Dulu ayah adalah seorang arsitek yang terkenal, banyak gedung-gedung yang sudah dia gambar. Tapi, mungkin gedung itu sudah tinggal nama. Semua gedung yang ayah buat sudah hancur lebur karena peperangan itu. Semuanya mengungsi di sini, di California.

Para marinir sibuk mengamankan wilayah kami agar terhindar dari peperangan yang memakan korban jiwa seperti dulu lagi.

Ayah ingin sekali aku menjadi orang yang pemberani dan tegas. Tidak peduli kalau aku perempuan. Ayah dan ibu berpesan untuk selalu menjaga adikku.

Ayah, ibu, aku merindukanmu.

Paginya aku telah terbangung dengan tempat Em sudah kosong. Tas kurirnya juga sudah tidak ada di sampingnya. Mungkin dia sudah pergi. Aku melihat matahari, mungkin sekarang sudah sekitar jam sembilan pagi. Aku bangun dan merenggangkan badanku, sakit karena tidur di kayu yang keras. Tapi aku juga sudah terbiasa.

Aku mengambil botol-botol kosong yang tergeletak di sudut ruangan. Aku turun kebawah untuk mengambil air danau belakang. Setelah sampai, aku membasuh wajahku. Walaupun ini danau yang sudah tercemar, namun aku dan Em sering meminumnya. Orang di gedung bekas itu juga sering meminumnya. Ya, karena tidak ada biaya untuk membeli air bersih yang harganya bisa untuk makan seminggu. Saat tengah mengisi botol itu, aku mendengar teriakan dari arah belakangku. Aku berdiri dan menutup botolku.

Karena penasaran, aku berlari ke gedungku. Para marinir.

"Tolong! Jangan usir kami!"

"Maaf, ma'am. Kami harus!"

Aku terkejut, tolong jangan lagi.

"Ada apa ini?"

Salah seorang berpakaian seragam itu maju menghadapku, wajahnya tegas dan berbadan tegap. Walaupun umurnya sudah agak tua.

"Kalian harus pergi dari sini."

"Tidak! Ini satu-satunya tempat tinggal kami!"

"Maaf, nak. Tapi kalian tidak memiliki izin apapun untuk tinggal disini. Ada yang ingin merenovasi gedung ini. Jadi mohon untuk keluar dari sini."

Aku memandangnya dengan kesal. Ini adalah ketiga kalinya aku dan yang lainnya diusir dari tempat tinggal sementara ini. Memang benar, kami tidak memiliki izin untuk tinggal disini, ya karena kami cuma gelandangan yang tidak punya uang.

Saat pandangan marinir di depanku ini menoleh kearah lain, dengan cepat aku berlari kembali kedalam. Aku tidak ingin Em kembali tidur di jalanan lagi. Itu membuat kondisi tubuhnya menurun, karena dia masih 10 tahun. Marinir juga berlari dibelakangku, berusaha menangkapku. Aku segera memasuki kamarku dan mengambil barang-barangku dengan capat.

"Jangan bergerak!"

Aku tetap membereskan barang-barangku. Tapi para marinir, mengambil kedua lenganku dan memaksaku keluar. Barang-barangku kembali jatuh di lantai, dan foto kedua orang tuaku pecah. Satu-satunya foto kedua orang tuaku yang kupunya.

Setelah sampai di luar gedung, aku meronta-ronta dan para marinir itu melepaskanku dengan cara mendorongku hingga terjatuh terperosok ke trotoar. Beruntung kepalaku tidak apa-apa. Penghuni yang lain sedih, dan mulai meninggalkan gedung ini. Aku bangkit berdiri di depan gedung ini.

"Hannah!"

Aku menoleh dan melihat Em berlari dengan wajah sedihnya dan memelukku. Dia sudah tau, kalau kami sudah diusir-lagi.

"Maaf, Em. Aku tidak bisa membawa barang kenangan kita."

Aku merasakan Em mengangguk dalam pelukanku, dan bajuku mulai basah. Mungkin dia menangis. Pengusiran kali ini lebih paksa. Kami tidak boleh membawa barang-barang kami. Aku pusing, karena menangis. Aku tidak tau harus membawa Em kemana. Em adalah tanggung jawabku. Aku tidak ingin dia untuk menderita melebihiku.

"Ayo kita pergi,"

Aku berjalan duluan, tapi Em masih melihat keatas, tepatnya melihat kamar kami yang berada di lantai 2. Dia menatapnya dan berjalan disampingku. Saatnya mencari tempat tinggal baru untuk Em.

***

Selama perjalanan mencari tempat tinggal, Em sama sekali tidak berbicara. Dia hanya terdiam sambil menatap lurus kedepan. Mungkin pengusiran kali ini lebih sulit untuk dia jalankan. Karena barang-barang yang sering ia lihat setiap malam, dan barang yang sering dia bawa kemana-mana masih berada disana. Aku hanya membawa botol-botol yang tadi pagi kuambil di danau belakang.

"Minumlah,"

Em mengambil botol itu dan meminumnya setengah. Wajahnya masih dibayang-bayangi oleh kesedihan. Tapi mau bagaimana lagi, kalau kita nekat kembali kesana, mungkin kami sudah akan di penjara khusus anak dibawah 17 tahun.

Tas kurirnya masih terselempang di bahunya, aku tidak tau apa isinya. Mungkin kosong, karena tas itu hanya dipakai kalau ia sedang bertugas saja.

"Em, maafkan aku."

"Maaf kenapa?"

"Atas tempat tinggal kita."

Em memaksakan senyuman di bibirnya, seolah dia mengatakan ini bukan salahku. Tapi itu hanya membuat hatiku semakin hancur. Aku tidak tega melihat adikku yang terbilang belum cukup umur untuk hidup keras di jalanan seperti ini. Tidak memiliki tempat tinggal tetap, dan hidup tanpa keamanan. Tidak ada orang yang peduli dengan gelandangan seperti kami. Gelandangan dimata orang hanya gelandangan, sama sekali tidak di hormati.

Aku berinisiatif dalam hatiku, aku harus mencari pekerjaan lagi. Aku tidak ingin membebani Em. Aku harus lakukan sesuatu, untuk mendapat uang.

"Aku harus bekerja, tapi bagaimana denganmu?"

"Tenang saja, aku akan mencari gedung usang lagi. Aku akan menunggumu disini, bagaimana?" Aku menatapnya, dan mengangguk.

Aku mencium cepat keningnya dan berlari, berbelok ke kiri. Sedangkan Em masih berdiri di pertigaan itu. Aku berlari menuju tempat biasa aku mulai bekerja, sebagai pemulung sampah.

Setelah sampai, aku langsung mengganti bajuku, menjadi baju tukang sampah keliling. Mengambil sampah di pelosok kota. Aku langsung naik ke belakang truk sampah ini, dan pekerjaanku sebagai tukang sampah di mulai.

Aku turun mengambil sampah-sampah di tong sampah pemukiman orang-orang kaya ini, dan selanjutnya menuju tong sampah besar dekat dengan pom bensin. Walau bau, tapi aku harus mengerjakan ini. Untuk Em.

***

Aku memandang matahari, cahayanya sudah tidak agak panas. Kira-kira waktu sudah menunjukan sore hari. Aku berlari kembali menuju pertigaan tadi. Cemas kalau Em akan menungguku terlalu lama. Dia tau jadwalku sebagai tukang sampah. Hanya setiap hari minggu dari sekitar jam 10-an hingga 5-an.

Saat sampai, aku tidak melihat siapa-siapa. Aku menjadi khawatir, apa Em lupa jadwalku? Atau Em masih mencari gedung usang itu?

"Em? Em!"

Aku menoleh ke kanan dan kiri, pertigaan ini selalu sepi. Karena bisa dibilang, ini daerah mati. Disini belum menjadi pemukiman sejak perang itu terjadi. Tempat ini hanya daratan dengan gedung bekas terbakar dan di bom.

Aku duduk di trotoar jalan, memeluk lututku dan berdo'a semoga Em akan cepat datang. Aku melihat sekitar, benar-benar sepi. Tapi hal janggal menarik pandanganku, dari ujung jalan terdapat orang sekitar berlima membawa senjata-senjata tajam ditangannya sambil mengobrol satu sama lain.

Pemberontak.

Dengan cepat, aku bangkit dan segera berlari dari sana. Berharap mereka tidak melihat keberadaanku. Aku sama sekali tidak ingin berurusan dengan mereka. Aku terus berlari kencang dan kembali bertemu dengan pertigaan, aku berbelok kanan dan disaat itu juga aku menabrak seseorang. Tubuhku sakit karena menabrak orang itu.

"Hannah!"

Itu Em.

Aku sangat senang bisa bertemu Em, dan aku juga bersyukur karena Em tidak apa-apa. Tapi badanku sakit karena terperosok di trotoar akibat hantaman keras tubuhku dengan tubuhnya.

"Aku menemukan gedung usang lagi! Ayo ikut aku."

Em menarik tanganku dan kami berhenti di depan gedung yang tidak terlalu tinggi dan terletak agak di ujung. Em membuka pintunya dan aku mengikutinya dari belakang. Kami menaiki tangga yang usang namun masih kuat untuk di injak. Gedung ini lebih sempit dari pada gedung tempat tinggalku yang lalu.

"Menurutku di sini sudah nyaman."

Aku mengerti kata 'nyaman' yang diucapkan Em. Dia tidak benar-benar menyebutkan kata 'nyaman' dengan arti yang sesungguhnya.

Aku melihat sekitar, dua botol penuh dan kosong berada di sudut ruangan, bersama tas kurir Em. Dan lainnya kosong. Hanya ruangan sepetak yang berdebu dan dingin. Tapi ini bisa menjadi tempatku dan Em untuk berteduh.

"Kerja bagus, Em."

Saat sudah melihat gedung yang baru, aku menatap Em kembali.

"Em, aku harus kembali pergi."

"Kemana?"

"Ke suatu tempat. Tenang saja, aku tidak akan pulang malam. Dan aku janji, aku akan membawakan oleh-oleh untukmu."

Em mengangguk, dan aku mengelus kepalanya.

"Tunggu! Bawalah ini."

Aku tersenyum dan mengambil senter yang ternyata berada di dalam tas kurirnya. Aku keluar gedung dan memandang langit yang mulai menggelap. Tenang Em, aku janji kita akan tinggal di tempat yang layak.

Continue Reading

You'll Also Like

27K 3.6K 27
Kana sekretaris pribadi yang menyewakan rahimnya pada pasangan suami istri yang menginginkan keturunan dalam rumah tangga mereka, yaitu bos besarnya...
126K 11.2K 46
"Aku cape yah. Aku... Ngga bisa setegar batu karang di lautan."
85.3K 8.1K 32
(Sudah Terbit) (The Watty Awards 2019 Horror-Paranormal Winner) Stela Halim, gadis dengan emosi yang tidak biasa, harus melawan paranoidnya...
94.2K 12.5K 32
PEMENANG WATTYS 2020 KATEGORI SCIENCE FICTION. Perang Dunia, dan virus mematikan menyebar dan membuat sejarah kelam terulang. Mereka yang selamat ber...