Weirdos.

Door daffodilsforme

484 91 20

"Sorry, barusan dare." "Terus?" "Ya... Gue ga serius." "Bodo amat. Besok aku bilang ke bapak kamu kalo kamu h... Meer

00 | Cita-cita
01 | Dare
02 | Oke
03 | Maksa
04 | Panggilan
05 | Date
06 | Pulang Sekolah
07 | Sabtu
08 | Calon Mertua
09 | Call
10 | Gelisah
11 | Hujan
12 | Mimpi
13 | Cewe Gila(ku)
14 | Panas
15 | Buta
16 | Bunda
17 | Ancaman
18 | Perhatian

19 | Buku

15 4 2
Door daffodilsforme


"Oke. Lu mau ngasih gue ke dia kapan?"

Akbar terdiam sejenak mendengar hal tersebut. Ia mengusap lehernya. Otaknya mencoba mencerna maksud dari kalimat Dyan. "Maksudnya?" Tanyanya.

"Yang dia suka, kan? Dia suka gue. Jadi lu kapan mau ngasih gue ke dia?"

Rasanya Dyan ingin menenggelamkan kepalanya pada bakso yang baru saja Virsa pesankan. Bagaimana bisa ia melakukan hal seberani itu?! Ia tidak percaya bahwa ia melakukannya hanya karena merasa cemburu.

CEMBURU. Iya, ia mengakui bahwa ia cemburu.

Sungguh tidak bisa dipercaya bahwa ia akan memiliki perasaan itu pada VIRSA. Ia ingin menyiram es teh yang ia genggam kepada seluruh mukanya.

"Dyan! Kenapa melamun? Kalo mau minum, diminum aja! Jangan dipegang doang," Seru Virsa membangunkan Dyan dari lamunannya.

Pria itu merengut menatap Virsa. Ia malah menjadi kesal dengan gadis di depannya. Gadis ini yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya dan mengacak-acak perasaan yang bahkan belum bisa Dyan mengerti. Apa pun yang ia rasakan saat ini, adalah salahnya.

"Semua ini gara-gara lo."

"Hah? Apa sih? Kok tiba-tiba nyalahin orang!" Virsa ikut kesal dengan sikap Dyan.

Dyan menghela nafas dan akhirnya meneguk es teh yang sedari tadi ia genggam. Ia lebih malu lagi mengingat respon Akbar yang menertawakannya.

Akbar mengerjapkan matanya beberapa kali. Salah satu alisnya naik. Kemudian tali kesimpulan mulai tersambung di kepalanya. Bukannya tersinggung, gelak tawa malah pecah dari mulut laki-laki tersebut.

Dyan terkejut melihat reaksi yang tidak terduga tersebut. Ia menjadi merasa dongo karena terlihat jelas bahwa sedang cemburu.

"Ya elah. Ngga usah posesif gitu! Kalo lo bilang dia pacar lo, gue juga ngga bakal ngejar kalik!" Seru Akbar di sela-sela tawanya.

"Gue ngga–"

"Kenapa gue ngga kepikiran juga ya? Pasti kalo sakit, ya lu dirawat cewek lu lah~" Godanya sambil menyengir. Dyan terdiam dengan muka yang merah padam.

Akbar kembali terkekeh. "Sorry, ya. Suwer! Gue ga bakal deketin dia! Dia punya lo seutuhnya, kok." Lelaki itu menepuk pundak Dyan. Kemudian ia pun pamit pergi meninggalkan Dyan yang masih seperti udang rebus.

Dyan membanting gelasnya setelah meneguk habis es teh di dalamnya. Rasa malu kembali menghantamnya. Bahkan ia tidak peduli dengan tatapan aneh dari Virsa dan orang-orang lain.

Virsa yang melihat sikap Dyan menghela nafasnya. Bakso terakhir yang hendak ia makan malah terjatuh karena ia tersentak terkejut dengan dentuman keras gelas Dyan. Sendoknya pun ia letakkan kembali pada mangkok bakso. Tangannya ia gunakan untuk menopang kepalanya menatap pada lelakinya.

"Kenapa?" Tanya Virsa selembut mungkin. Apa mungkin Dyan semarah itu karena ia mengabaikannya hampir sepanjang hari?

Virsa menunjuk bakso Dyan yang tidak tersentuh sama sekali. "Kenapa es tehnya udah kamu habisin padahal baksomu masih utuh?"

Perhatian Dyan akhirnya beralih pada mangkok bakso di depannya. Astaga. Bisa-bisanya ia sampai mengabaikan bakso kesayangannya. Minumannya pun malah sudah habis duluan. Ia melenguh lemas.

Virsa yang menyadari emosi Dyan pun merasa sedikit kasihan. Ia meraih gelas Dyan dan melangkah cepat kembali ke warung kantin. Seolah-olah ia sedang melakukan tugas negara yang penting.

Alis Dyan tertaut menatap gelas yang telah disahut oleh gadis tersebut. Ia pun menghela nafasnya. Terpaksa ia harus memakan baksonya tanpa segelas es teh.

Namun selang beberapa saat Virsa kembali terengah-engah dengan gelas yang kembali penuh. Ia meletakkannya di samping mangkok Dyan. Lalu ia posisikan dirinya duduk kembali di bangku sebelumnya.

"Padahal udah jam segini, tapi masih rame banget!" Keluh Virsa sambil mengipas-ngipas kerah seragamnya.

Dyan tertegun menatap gelas es tehnya. Gadis ini sudah tahu betapa ganasnya warga kantin. Tetapi masih tetap menerobos hanya untuk membeli es teh untuknya kembali. Rasanya ia diperlakukan seperti seorang pangeran, atau anak presiden, atau malah presidennya sendiri.

Ia bisa merasakan darahnya berdesir dengan perasaan malu. Rasa gelitik yang tidak pernah ia pahami kembali muncul di perutnya. Ia menjadi sedikit merasa bersalah karena telah menyalahkan Virsa tadi.

"Makasih..." Dyan berbisik.

Virsa tersenyum. Ia bisa mendengar Dyan dengan jelas. "Apa?" Tanya gadis itu pura-pura tidak tahu.

"Makasih!" Ketus Dyan. Ia kembali mengunyah bakso terakhir pada mangkoknya.

Virsa terkekeh geli. "APAAA?" Serunya.

Dyan menelan kasar bakso terakhirnya. "MAKASIH ANJIR!"

"APAAA?????"

"TULI BENERAN MAMPUS LO!"

•••

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Dyan melenguh lega setelah mengerjakan ulangan harian yang luar biasa sulit. Untungnya masih bisa ia hadapi dengan teknik 10 menit belajarnya. Rasanya otaknya akan meleleh.

Ia senderkan badannya pada tembok di belakangnya. Sebenarnya ia bisa saja langsung berangkat pulang saat ini. Lagipula ia perlu mengantarkan adiknya.

Tetapi pacarnya tadi masih membantu guru untuk membawakan kertas ulangan pada mejanya. Gadis itu memberinya kode untuk tidak pulang terlebih dahulu. Dyan tidak bisa tidak melaksanakannya. Alasannya, karena ia takut tindakan apa yang akan gadis itu lakukan jika ia meninggalkannya.

"Duh. Ngga kuaaatt butuh pelukan ayanggg," Keluh Varel. Dyan bergidik geli mendengar panggilan tersebut.

"Peluk noh handphone lo," Sindir Arsa. Varel menatap sinis lelaki tersebut. Ia tidak perlu diingatkan bahwa saat ini sedang menjalani LDR dengan pacarnya. Setiap hari pun ia selalu meratapi nasibnya yang tidak bisa memandang langsung kekasihnya.

"Gue doain pacar lo modelan kayak Dyan!" Sumpah Varel. Dyan menghela nafasnya. Padahal tidak ikut-ikut tetapi tetap saja dirinya disinggung.

"Amit-amit! Ogah gue sama yang ngga bisa paham perasaannya sendiri!" Kalimat itu tertancap pada benak Dyan. Ia mengepalkan telapaknya kesal.

"Yang penting ngga mainin perasaan orang!" Balasnya.

"Ngga usah mulai lo!"

"Apa? Mau baku hantam?"

Varel yang menyinggung Dyan terlebih dahulu menjadi merasa bersalah. Dua sahabatnya ini memang love language nya saling berantem. Dan dirinya sering menjadi pemicunya.

"Udah! Kok malah gelut!" Varel mencapit kedua bibir temannya.

Namun kemudian segera menyesali tindakannya ketika merasakan basahnya bibir mereka. Ia mengelap tangannya pada masing-masing seragam mereka. "Kalian habis adu mulut apa cipokan sih?! Kok basah gitu!"

Arsa dan Dyan bersamaan menatap tajam Varel yang masih mengelapkan tangannya pada pundak mereka. Mereka pun menyadari bahwa selama ini pemicu mereka bergelut adalah karena lelaki ini. Seharusnya mereka menghantam Varel, bukan satu sama lain. Kedua lelaki tersebut menatap satu sama lain seolah-olah membagi pemikiran yang sama.

"Lu wajah, gue perut."

"Oke."

Varel menaikkan alisnya. Ke mana arah pembicaraan ini? Kemudian ia melihat kedua temannya yang mendekatinya dengan tangan yang mengepal. "L-loh, guys? Mau ngapain?" Varel melangkah mundur dengan kaki yang sudah mulai lembek.

"Jadiin lo bubur."

"Geprek."

"LOH. KOK GITU?! SALAH GUE APA???" Varel menutup matanya sambil mengangkat tangannya membentuk pertahanan. Mungkin tidak seharusnya ia memancing dua-duanya secara bersamaan.

"Dyan?" Sebuah suara menghentikan tindakan mereka. Ketiga lelaki itu menatap ke sumber suara. Virsa.

Virsa mencoba mengambil kesimpulan dari situasi yang ia lihat saat ini. Varel yang terpojok dengan Arsa dan Dyan yang mengelilinginya. Ia tidak mau percaya, tetapi otaknya sudah terlanjur menyimpulkan hal paling tidak masuk akal.

"MAAF!!" Gadis itu membungkukkan badannya dengan penuh rasa bersalah. Ia telah mengganggu mereka! Mereka sedang merebutkan Varel. Kemudian Varel juga mungkin sedang ingin mengatakan pilihannya! Tetapi ia malah menganggunya!!

Virsa hendak melangkah kabur. "S-SEMANGAT VAREL! PILIH SATU AJA YAA!!"

"BUKAN GITU ANYING!!" Teriak mereka bertiga.

•••

"O-oh! B-bukan lagi ngerebutin Varel?"

"Bukan!" Seru Dyan sekali lagi. Ia menghela nafas untuk kesekian kalinya. Siapa juga yang nafsu melihat Varel?! Ia masih lurus!

"Lagian Dyan kan pacar lo, neng. Kok mikir dia bakal ngerebutin Varel?" Heran Arsa.

"A-asalkan dia bahagia?~" Jawab Virsa bernada.

Dyan mencapit bibir Virsa gemas. "Lucu bat lo!" Sarkasnya.

Varel dan Arsa saling menatap satu sama lain. Mereka menmberi kode satu sama lain. Setelah memahami satu sama lain, mereka pun kembali menatap pasangan di depan mereka.

Arsa berdehem. "Ya udah. Kita duluan, ya!" Serunya sambil menepuk pundak Varel.

Sebelum Dyan bisa mengatakan sesuatu, mereka sudah gesit lari keluar dari sekolah. Tidak begitu terkejut, karena ia menjadi sudah terbiasa dipotong seperti itu.

Pandangannya pun ia alihkan pada gadis di sebelahnya. Seperti biasa, ia mendapatkan senyuman dari gadis itu. "Mau ngomong apa?" Tanyanya.

Virsa terkesiap setelah mengingat niatnya membuat Dyan menunggu. Ia menaikkan tangannya meminta Dyan untuk kembali menunggu. Dengan sergap, ia langsung berlari masuk ke kelas mereka dan mengambil tas ranselnya. Setelah dianggap barangnya sudah lengkap, ia pun kembali berlari dengan suatu barang di tangannya.

"Nih." Virsa menyodorkan barang tersebut di depan muka Dyan. Sebuah payung berwarna pink.

Lelaki di depannya terlihat sedikit terkejut dengan sodoran di mukanya. Namun kemudian muka datar kembali ia pasang. Tangannya pun meraih mengambil payung di depannya sambil menganggukkan kepalanya.

Dyan mengusap lehernya sambil memandangi barang di tangannya. Rupanya hanya untuk memberikan payungnya. Tentu saja. Memangnya Ia ingin Virsa mengobrol apa dengannya? Meminta maaf karena mengabaikannya hampir setengah hari?

"Makasih, ya." Lamunan Dyan terbangun dengan ungkapan tersebut. Ia kembali menganggukkan kepalanya meng-iyakan Virsa.

"Ngapain gue butuh perhatiannya Virsa? Kayak anak kecil aja!"

Telapak Virsa mengibaskan tangannya mengusir. "Ya udah sana, gih!"

"Udah?"

"Hm?"

Dyan mengutuk dirinya sendiri karena mengeluarkan pertanyaan yang seharusnya ia pendam. Rasanya ia ingin membuka payungnya dan menutupi mukanya. Mulutnya terbungkam tidak mengatakan sepatah kalimat lagi. Terpaksa ia harus menatap Virsa yang mengharapkan sebuah penjelasan.

Sepanjang hari, baru dua kali Virsa berbicara dengan Dyan. Ketika istirahat kedua dan saat ini. Minimnya percakapan mereka membuat Dyan merasa sedikit sepi. Padahal sebelumnya, kehidupan normalnya memang seperti ini. Lagipula Arsa serta Varel terus mengoceh tanpa habis di sampingnya. Apanya yang sepi?

Tanpa sadar tangannya terkepal menahan kenyataan mengenai apa yang ia rasakan. Nyatanya, ketika Virsa memintanya menunggu, Dyan dengan sukarela melakukannya dengan beralasan takut dengan gadis tersebut. Ia berharap bisa bercakap lebih banyak. Ia harap hari ini ia tidak perlu mengantarkan adiknya hari ini dan bersama Virsa saja.

"Stress...." Dyan menghembuskan nafasnya. Pandangannya ia palingkan dari gadis di depannya.

Virsa yang mendapati Dyan diam tak bergeming menjadi semakin bingung. Ekspresi Dyan terlihat sedih. Gadis itu menjadi merasa bersalah. Sebenarnya ia tidak yakin bahwa Dyan tidak suka diabaikan olehnya. Terlebih lagi ia sudah mengelaknya sebelumnya.

Tetapi emosi di matanya bisa terlihat jelas. Dan Virsa tidak tega membiarkan lelaki itu pulang dengan keadaan seperti itu. "Dyan," Panggilnya membuat lelaki tersebut kembali memandangnya.

Sebuah senyuman Virsa ukir. "Kamu beneran ngambek gara-gara aku nyuekin kamu?"

"Dibilang eng–"

"Maaf, ya." Pernyataan tulus itu membuat Dyan tertegun. Ia mengeraskan genggamannya pada payung di tangannya.

Dyan yang kembali diam membuat Virsa dilanda kebingungan. Akhirnya ia pun kembali dengan senjata ultimatumnya. "Tahu ngga? Bedanya kamu sama buku tadi?"

Dyan memutar bolanya malas. Virsa selalu melakukan hal seperti ini di saat yang tidak tepat. Tidak disangka tepatnya. Tetapi Dyan yang selalu penasaran pun meladeni tindakannya. Ia menggerakan kepalanya menanyakan maksud Virsa.

"Kalau buku tadi, aku baca karena lagi ada perlu. Tadi ujian, kan?" Ujarnya. Dyan mengangguk.

"Tapi aku ngga mau kalo disuruh baca buku itu tiap hari! Aku juga ngga tertarik sama isinya!" Kedua alis Dyan bertemu. Ia masih belum menemukan punchline dari gombalan Virsa.

Senyum Virsa kembali merekah. "Kalo kamu, setiap saat aku mau membaca kamu. Aku mau mempelajari kamu. Apapun isinya, aku akan selalu tertarik mengenai hal apapun yang berkaitan dengan kamu."

"Buku itu jendela dunia. Sedangkan kamu itu duniaku."

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

1M 48.1K 51
(SEBAGIAN PART DI PRIVAT) jadi follow dulu kalau ingin baca keseluruhan cerita :) Namaku Lily Anissa Pradipta. Yaa benar, aku dari keluarga Pradipta...
DAFFODIL Door uba

Tienerfictie

88.2K 8.6K 24
"Gue selingkuh lagi." "Sama siapa kali ini?" Levi Ead Fenrizon, lelaki yang tak cukup hanya dengan satu perempuan. Ia memacari banyak perempuan seka...
312K 40.2K 49
-Katanya sayang, tapi suka ngajak tawuran- Raka dan Keyla adalah sepasang kekasih yang hobinya gelut di mana saja. Sekali akur hanya di meja yang sam...
14K 1.5K 17
Setelah diputuskan dan dipermalukan oleh mantannya, Citra menganggap bahwa cowok hanya sumber penyakit bagi hatinya. Sehingga ia memutuskan untuk tak...