When The Sun Is Shining

De sourpineapple_

8.8K 1.2K 117

ON GOING ALL ABOUT RAKA'S FAMILY [ BAGIAN DARI IT CALLED LOVE, ELVANO, & RENJANA ] *** Sebab, pada dasarnya... Mais

PROLOGUE
Ø1: MPLS
Ø2: 08 BERAPA?
03. TRIAL
Ø4. TEMAN BARU
Ø5. BUNGA TAI AYAM
Ø6. ROLE MODEL
Ø7. LOVE LANGUAGE
Ø8. REONI BAPAK-BAPAK
Ø9. ABANG
1Ø. TENGGELAM
11. HANYUT
12. KECEWA
13. PECAH
14. EGO
15. WHERE I AM?
16. ISI KEPALA
17. CAN WE FIX IT?
18. MAKAN MALAM
19. ISENG
20. WHAT HOME FEELS LIKE
21. SOUNDS SO PATHETIC
23. HIS BIGGEST FEAR
24. DOWN
25. WE WERE DONE
26. HOW MUCH THEIR LOVE
27. SUNFLOWER
28. DON'T GIVE UP

22. TALK LIKE A GENTLEMAN

269 41 2
De sourpineapple_

Dari semalam, Gemala rasanya sudah nggak tenang, tidurnya nggak nyenyak, sarapannya pun nggak enak. Bahkan ketika guru mata pelajaran pertama masuk ke kelas dan memberi mereka materi, Gemala sama sekali nggak fokus, dia resah dan gelisah.

Otomatis, hal itu menyita perhatian Neza selaku teman sebangkunya, yang merasa aneh dengan tingkah Gemala.

"Kenapa sih, Mal? Kebelet apa gimana?" tanya Neza.

Gemala menggeleng-geleng. "Hugo sekolah nggak ya hari ini?" celetuk Gemala bertanya.

Neza mengerutkan keningnya. "Lah, mana gue tau, emang gue emaknya?" sahut cewek itu. "Lagian, mau dia sekolah apa enggak emang kenapa sih? Dia, kan emang sering bolos," ujarnya lagi.

Gemala menggigit bibirnya, kakinya mengetuk-ngetuk lantai secara tak beraturan. Neza dibuat heran sendiri melihatnya.

"Udah, nggak usah mikirin tuh Buaya TKR, mending kerjain nih tugasnya," ujar Neza, menyodorkan tugas yang diberikan guru untuk mereka selesaikan selama jam pelajaran ini.

Iya, Gemala maunya nggak mikirin Hugo, tapi diluar kendalinya, dia malah terus kepikiran. Mana chatnya sama sekali nggak dibalas meskipun ceklis dua. Sebetulnya mau pergi ke mana si Hugo itu? Kenapa sampai dari semalem chat Gemala sama sekali nggak dibalas? Dia juga nggak kelihatan online sama sekali. Sedangkan di sisi lain, si empu yang lagi dia pikirin malah lagi gelut sama teman sekelasnya.

"Udah, ngaku aja, lo emang sengaja hindarin gue sama yang lain, kan?" ujar Brian mendesak Hugo.

Semua itu berawal ketika dia tahu Hugo yang tiba-tiba pindah tempat duduk, padahal sebelumnya dia ada di deret kursi yang sama dengan Brian, Ardo, dan Fazio. Terlebih lagi, Hugo jarang ikut kumpul atau pergi nongkrong bareng lagi akhir-akhir ini, sebab itulah Brian dkk itu berspekulasi kalau Hugo sengaja jauhin mereka.

Karena muak terus-terusan didesak, akhirnya Hugo membalas, "Iya, emang gue sengaja. Itu, kan jawaban yang lo mau? Buat apa sih lo mojokin kayak gitu, gue cuma pindah bangku, bukan pindah kelas, kalau kalian merasa gue hindarin, ya terus emang itu salah gue?"

Brian berdecih, lalu tertawa miring. "Oh, gitu ya lo sekarang?" ujarnya, menatap Hugo seolah menyimpan dendam baru. Sama halnya dengan Ardo dan Fazio.

Sedangkan Hugo sama sekali nggak gentar, biarlah mereka berprasangka sesuka mereka. Hugo punya hak buat memilih siapa saja yang layak jadi temannya. Hugo juga nggak merasa menyesal harus meninggalkan mereka.

"Oke, liat aja dah lo," tandas Brian, mengultimatum.

Lalu sebuah ketukan keras seperti kayu dipukul yang berasal dari ambang pintu membuat mereka spontan menoleh ke sumber suara bersamaan.

TTOK! TTOK! TTOK!

"Kerjakan latihan soal yang sudah saya kirim, lalu submit jawabannya, saya tunggu sampai jam pelajaran saya selesai." Seorang guru laki-laki berdiri di ambang pintu, menyerukan kalimat perintah memberi anak muridnya tugas untuk dikerjakan.

Mereka yang tadinya lagi bergerombol menonton adegan bertengkar yang sedang berlangsung otomatis membubarkan diri kembali ke bangkunya masing-masing.

"Kaga usah dipikirin, mereka emang udah begitu dari dulu," ujar cowok yang bangkunya sebelahan dengan Hugo.

Hugo berdecih. "Males amat mikirin, siapa dia. Cewek cantik juga bukan."

Cowok itu terkekeh. "Bisa aja dah lo. Emang udah bener lo pindah, sebelum makin ketularan, dari SMP, mereka emang udah badung. Nggak tau juga kenapa di sini malah bisa sekelas."

"Lo temennya?" tanya Hugo.

"Bukan. Kenal aja gue mah. Udah habis berapa aja lo diporotin?"

Kening Hugo berkerut. "Maksud?"

"Mereka doyan malak dulu, lo kayaknya dari keluarga berada, pasti udah diporotin sama mereka."

Hugo menaikkan kedua alisnya. "Oh, ternyata. Nggak ada dari seperempat uang jajan gue sih, biarin aja. Itung-itung sedekah ke orang miskin."

"Pedes juga ya mulut lo, Go."

"Sarapan sambel soalnya," sahut Hugo bergurau. Cowok itu mengeluarkan ponselnya untuk mengecek benda itu sebab dari semalam ia belum membukanya.

Begitu menghidupkan layar kunci, Hugo mendapati notifikasi pesan dan panggilan nggak terjawab dari Gemala.

Ngapain ini si cebol?

Oh iya! Hugo hampir lupa, kemarin dia sempat bilang ke Gemala kalau dia nggak masuk sekolah, berarti mereka putus. Kesannya kayak bocil banget memang, tapi Hugo jadi pengin isengin Gemala.

Cebol Bawel

Go
Lo sekolah kan hari ini?
Kita nggak beneran putus, kan?
06.05

Lo beneran nggak sekolah, Go?
Lo mau ke mana sih? Jauh ke mana?
Apa susahnya kasih tau gue lo mau ke mana?
Go, lo nggak serius, kan, ini?
06.35

Jadi kita beneran putus?
Paling nggak bales chat gue, Go
Bilang yang jelas, jangan gantung kayak gini
Lo jahat, Go
Sumpah, lo jahat banget.
Gue kesel sama lo.
07.12

Sorry, Gem.

Setelah membalas demikian, Hugo meletakkan ponselnya dengan senyum tertahan, beralih mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru mata pelajaran jam pertama di kelasnya. Hugo membayangkan bagaimana ekspresi sedih dan ngambeknya Gemala sewaktu baca chat-nya, tanpa memikirkan konsekuensi, kalau setelah itu dia bakal kena hajar sobat karib ceweknya.

***

+62-83xx-xxx-xxx

BAJINGAN BRENGSEEKKK
LO APAIN TEMEN GUE ANJINGGG
COWOK GOBLOKKKK
TANGGUNG JAWAB NGGAK LO ANJINGGG??!!
SETAI TAINYA TAI, LO LEBIH TAI, TAU NGGAK?!
GUE SUMPAHIN KENA BATUNYA LO BAJINGANNN
AWAS AJA KALAU GUE LIAT LO, GUE PATAHIN TULANG HIDUNG LO

Apaan sih?
Sehat, lo?

SEHAT MATA LO LIMA
MAKSUD LO BIKIN TEMEN GUE NANGIS APA, ANJING!!

Temen lo siapa?
Lo juga siapa? Sokab amat

GEMALA, GOBLOKKK
EMANG DAH LO BUAYA BUNTUNG TKR, BERAPA CEWEK YG UDAH LO BIKIN GOBLOK NANGISIN LO, HAH?!
SOK GANTENG BGT SIH LU DAKI SETAN

Di mana dia?

NGAPA NANYA-NANYA?!
DIA NGGAK MAU LIAT MUKA LO

Buru jawab, di mana dia?

Gue kasih tau juga emang lo mau ngapain?Nyamperin ke sekolah?

Tinggal bilang aja di mana, susah amat sih?

Toilet cewek

Keluar
Ngapain di situ

MAKSUD LO?! NGAJAK BAKU HANTAM APA GIMANA SIH LO, NJING?!

Gue nggak bisa samper kalau di situ

LO SEBENERNYA SEKOLAH KAN, NJING?!
NGAKU AJA
AKAL-AKALAN LO AJA, KAN BUAT NGADALIN TEMEN GUE?
WAH, LO EMANG BRENGSEK MANTAB
send a voice note
*di mana, go?*

Ke atap gedung jurusan lo. Gue samper ke sana.

Akhirnya, setelah drama per-labrakan, Hugo pergi ke rooftop gedung jurusan TKJ, dia pikir Gemala nggak mau karena pasti bakal disetanin sama temennya yang ngamuk-ngamuk ke Hugo itu, tapi ternyata sewaktu tiba, Gemala sudah ada di sana. Duduk di bangku belakang tembok yang menghalau sinar matahari.

Cewek itu noleh ke Hugo, mukanya merah dan matanya sembab, tapi dia sendirian, Hugo kira bakal sama temannya yang sudah nafsu buat cakar mukanya Hugo, tapi ternyata cewek itu cuma sendirian.

"Kenapa nangis, Bol?" tanya Hugo dengan santai dan enteng, seolah-olah Gemala nangis bukan karena dia tapi gara-gara jatuh dari sepeda.

"Lo jahat, Go," cetus Gemala, menatap Hugo dengan perasaan kesal.

"Emang. Nggak ada yang bilang gue baik," balas Hugo, masih dengan wajah tanpa dosanya.

"Kenapa lo nggak bilang kalau lo sekolah? Kenapa lo nggak bales chat gue? Lo emang sengaja mau ngajak putus? Yang kemarin itu cuma basa-basi lo aja, karena tujuan lo yang sebenernya tuh emang mau ngajak gue putus, kan?" cecar Gemala berentetan, membuat Hugo pusing mendengarnya.

"Hadeuh, Bol, lo menyedihkan banget sumpah." Hugo meringis dan berdecak, cowok itu melesakkan kedua tangannya ke dalam saku celana seraya memandang Gemala dengan miris.

Sudah wajahnya bulat, merah, beler, matanya sembab. Jadi mirip adik bungsunya Hugo kalau habis nangis.

"Gue serius, Go!" seru Gemala.

"Mending bersihin dulu deh itu ingus lo." Hugo menarik tangan kanannya dari saku dan menyodorkan sebuah sapu tangan pada Gemala.

"Gue nggak ingusan!" Gemala membantah, menampik tangan Hugo yang mengulurkan sapu tangan padanya.

Hugo mengerutkan keningnya lalu menghela napas, meraih dagu Gemala secara tiba-tiba, bikin cewek itu terkejut. Lalu Hugo mengusapkan sapu tangannya menyeka wajah Gemala yang sembab. Harusnya Gemala marah, harusnya Gemala menolak, tapi nggak tahu kenapa, Gemala malah menurut, dia seolah kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

"Bukannya udah tau dan udah sering ngatain gue brengsek? Terus kenapa sampai ditangisin?" komentar Hugo di sela tangannya bergerak menyeka wajah sembab Gemala.

Gemala lalu menarik tangan Hugo, mendorong cowok itu sedikit menjauh. "Lo belum jawab pertanyaan gue, Go. Jelasin kenapa lo nggak bales chat gue? Kenapa lo nggak bilang kalau lo hari ini sekolah? Kenapa lo kemarin tiba-tiba—"

"Sshhh, udah nggak usah dilanjut." Hugo memotong. "Kalaupun gue ceritain, lo nggak akan ngerti. Dan lo nggak perlu buat ngertiin masalah gue juga. Semalem gue main PS sama Abang gue, dan dari semalem gue emang nggak ngecek hp," jelasnya. 

"Lo kaget, kan baca balesan gue tadi pagi? Itu iseng aja sih, kirain lo bakal ngambek, taunya malah cengeng, nangis sampai ingusan begini, kayak bocil," ujar Hugo diakhiri kekehan meledek.

"Lo emang jahat." Gemala mengerucutkan bibirnya.

"Iye, gue tau, nggak usah lah lo ulang-ulangin. Emang nggak ada, kan yang bilang gue baik?" balas Hugo.

"Kita nggak putus, kan?" Gemala bertanya.

Hugo mengendik. "Lo maunya gimana?"

"Harusnya lo tau kalau sampai gue tangisin kayak gini, jawaban gue gimana," sahut Gemala.

Hugo tersenyum miring. "Yaelah, tinggal bilang iya atau enggak aja susah amat sih, Bol?" ledeknya. "Siapa dulu yang bilang nggak akan baper sama gue? Yang jual mahal dan bilang nggak minat buat pacaran sama gue?" Ia mencibir.

Gemala mendengkus. "Ledekin aja terus. Lo juga bilangnya cuma main-main, kenapa sampai sekarang masih pacaran sama gue? Kenapa segala samperin gue ke sini?" balasnya kesal.

"Au dah, kenapa juga gue masih mau pacaran sama lo, udah mah cebol, bawel, tukang halu, cengeng pula," jawab Hugo tengil.

"Iya emang, apalah gue ini dibanding sama cewek-cewek lo yang lain," sahut Gemala, kepalang sebal.

Satu alis Hugo tertarik naik. "Emang lo nggak sadar?"

"Sadar apa?"

"Gue nggak deketin cewek, kecuali cewek itu cantik," ucap Hugo, membuat Gemala tersendat.

Cewek berkacamata itu sudah mau ge-er kalau ucapan Hugo adalah pujian, secara nggak langsung dia bilang kalau Gemala cantik, tapi Gemala tahu tabiatnya Hugo, dia nggak mau dikatain ke-pede-an, jadi Gemala hanya membalas,

"Mungkin pas deketin gue, mata lo lagi siwer."

Hugo tersenyum miring. "Iye kali ya, apalah lo di antara cewek-cewek gue yang lain," ucapnya, membuat Gemala terdiam.

"Itu, kan, jawaban yang lo mau?" ujar Hugo beberapa saat setelahnya. "Makanya, nggak usah nyari penyakit. Terima dan validasi aja pujian baik buat lo, nggak usah nyangkal inilah itulah."

Dahi Gemala berkerut, cewek itu memandang Hugo penuh tanya. "Lo kenapa?"

"Apa lagi yang kenapa?"

"Kenapa lo tumben begini? Lo nggak pernah begini sebelumnya."

Hugo menautkan alisnya. "Ya terus salah gitu? Nggak boleh?"

Gemala menggeleng. "Bukan, tapi aneh aja."

Hugo mengendik tak acuh. "Mau nerusin nangis apa ke kantin?"

Gemala mengerucutkan bibirnya.  "Pengen batagor."

"Batagor mulu makanan lo," cibir Hugo.

"Biarin, lebih ngenyangin daripada makan hati," balas Gemala.

"Lagian, hati kok dimakan." Hugo melengos. "Buru. Ngapain masih di situ? Perlu gue gandeng?" ujarnya, ketika Gemala masih duduk diam di tempatnya lihatin Hugo.

"Emangnya mau?"

"Kaga mau lah, gila lo. Jangan ngimpi," sahut Hugo, salty.

"Ya udah lah, jangan judes-judes gitu!" protes Gemala, beranjak dari tempatnya dan menyusul Hugo.

"Gue emang begini!" Hugo menyahut sambil berlalu pergi, berjalan mendahului Gemala.

"Tungguin, napa, Go!" seru Gemala, berlari mengejar Hugo.

"Males, lo lelet," balas Hugo, sambil menoleh ke belakang melihat Gemala yang berjalan cepat mengejar langkah lebar Hugo, membuat Hugo menarik senyum kecil.

***

Bokap
Ikut Papa keluar nanti malem

Hugo sedang berjalan ke parkiran sambil memainkan ponsel sewaktu notif pesan dari papanya itu muncul, membuat cowok itu refleks mengerutkan kening. Hugo membuka pesannya, lalu mengetikkan balasan.

Ke mana?

Ikut aja, nggak usah banyak tanya

Nggak nge-prank, kan?

Nggak lah.

Ok

Pesan Hugo berakhir dengan keterangan dibaca, di sela langkahnya, Hugo masih merasa penasaran, kenapa tumben banget papanya ngajak keluar? Biasanya yang sering keluar bareng papanya itu Elvano dan Elkano. Hugo pernah ikut tapi ya ikut dengan yang lain, bukan Hugo sendiri.

Entah mau ke mana papanya mengajak, yang pasti, Hugo harus mempersiapkan diri kalau mendapat roasting-an disepanjang jalan nanti ketika keluar dengan papanya.

Sampai ketika waktu selesai makan malam, di mana yang lain sedang ada di ruang tengah, Hugo langsung masuk kamar buat ganti baju, karena papanya bilang, setelah makan malam mereka berangkat. Kebetulan juga sewaktu Hugo keluar, papanya selesai bersiap. Kemunculan mereka berdua mengundang tanda tanya di wajah si kembar dan Reon.

"Mau ke mana, Pa? Kok rapi amat?" Elvano melontar tanya.

"Keluar, boys night out," jawab Raka sambil benerin letak jam tangannya.

"Kok nggak bilang? Vano sama Kano nggak diajak?" tanya Elvano lagi.

"Reon juga enggak?" Si bungsu ikut-ikutan bertanya.

"Udah sering. Gantian dulu," jawab Raka, lalu beralih pandang pada Hugo. "Sana, pamit sama Mama," titahnya.

Hugo mengangguk, dia mendekati mamanya yang sedang duduk di sofa ruang keluarga buat pamitan dan salim. "Hugo keluar dulu, Ma."

Ghea tersenyum disela anggukannya. "Iya, hati-hati di jalan."

"Gue nggak disalimin juga?" celetuk Elvano.

Hugo mengerutkan hidungnya. "Ludahin mau?" sahutnya.

"Dih, udah jahat lagi mulutnya," balas Elvano sambil manyun-manyun.

"Papa keluar dulu, Ma, kalau Reon minta buat dikelonin jangan mau." Raka berpamitan pada istrinya.

Reon yang dengar namanya disebut pun langsung angkat bicara. "REON NGGAK MINTA DIKELONIN!" bantahnya.

"Siapa tau kamu mau mencuri kesempatan," goda Raka.

Ghea melirik si bungsu dan menghela napas, lalu kembali mendongak pada suaminya. "Hati-hati, Ka. Jaketnya dipake, udaranya lagi dingin, Hugo juga. Jangan malem-malem pulangnya, besok masih weekdays," pesannya.

Raka mengangguk. "Iya, Sayang." Kemudian berpindah tatap pada Hugo. "Ayo, Go," ajaknya.

Raka berlalu lebih dulu, disusul Hugo yang ngintil di belakangnya. Hugo masih nggak tahu papanya itu mau ngajak ke mana, apalagi mereka pergi setelah makan malam.

Apa jangan-jangan Hugo disuruh tinggal sendiri? Dia mau dikasih lihat sama kos-kosan yang mau dia tinggalin? Apalagi papanya, kan suka menyindir-nyindir Hugo soal hidup bebas, jangan-jangan memang mau merealisasikan Hugo buat hidup bebas?

Karena terlanjur penasaran, ketika di dalam mobil pun Hugo bertanya, "Sebenernya kita mau ke mana, Pa?"

"Halah, nanti juga tau sendiri," jawab Raka.

Akhirnya, Hugo pun memilih buat diam, dan menebak-nebak sendiri ke mana papanya mengajak pergi. Mereka sempat berhenti di minimarket, Raka meminta Hugo untuk mengambil snack dan minuman yang dia mau. Hugo semakin bingung, tapi dia tetep nurut dengan ambil beberapa snack dan minuman.

Lalu setelah itu mereka lanjutin perjalanan, mungkin sekitar dua puluh menit di jalan, mereka kembali berhenti. Kali ini Hugo terheran, kenapa papanya berhenti di sini?

"Ayo turun, ngapain bengong?"

Dengan ekspresi heran, Hugo bertanya, "Di sini?"

"Iya."

"Hutan begini?"

"Ini bukan hutan. Buruan turun, bawa sekalian itu snack-nya." Raka menitah seraya menutup pintu mobilnya.

Dengan ragu-ragu, Hugo turun sambil menenteng kantung snack-nya.

"Ayo," ajak Raka, berjalan lebih dulu.

Hugo yang masih bengong pun segera menyusul dengan buru-buru, mengikuti langkah lebar papanya. Hugo nggak ngerti, dia juga bingung, kenapa papanya ngajak Hugo ke sini? Sebetulnya ini bukan hutan, melainkan bukit buatan yang biasanya jadi spot mendaki orang-orang yang kepengin mendaki tapi nggak berani naik gunung.

Jalannya berbentuk tangga yang dibuat setapak, lalu dengan penerangan di setiap beberapa meternya, jadi Hugo hanya bisa mengekor di belakang papanya, sambil lihat kanan-kiri yang ditumbuhi pohon-pohon tinggi. Semakin ke atas mereka berjalan, semakin jelas juga pemandangan yang dapat Hugo lihat dari atas sini, lampu-lampu kota yang berkelap-kelip, lalu lampu kendaraan di jalan yang masih tampak ramai.

"Capek?" Raka tiba-tiba bertanya.

Hugo yang larut dalam pikirannya sendiri sampai tersentak, cowok itu lantas menggeleng beberapa kali. "Belum."

"Ya udah. Papa yang capek. Kita berhenti di sana." Raka menunjuk ke arah tepian bukit dan berjalan ke sana, masih diekori oleh Hugo.

Pria paruh baya itu lantas menghela napas panjang, napasnya sampai senin-kamis karena dipakai berolahraga naik bukit malam-malam begini.

"Sini, Papa mau minum." Raka meminta kantung yang dibawa oleh Hugo, membawanya duduk tanpa alas di tanah, dan meminum air mineralnya.

"Duduk sini," titah Raka pada Hugo.

Hugo menurut, dia mengambil duduk di samping papanya sambil mengeluarkan botol minuman yang dia beli di minimarket tadi.

"Mau ngudud?" Raka bertanya sambil menatap Hugo.

Hugo sempat berkontak mata sesaat sebelum dia memutusnya sepihak dengan mengalihkan pandang. "Enggak. Hugo udah beberapa hari ini coba berhenti."

Satu alis Raka terangkat. "Emang bisa?"

Hugo menghela napas. "Mama bilang, asal adanya kemauan nggak ada sesuatu yang nggak bisa buat dilakuin," jawabnya.

Raka menaikkan kedua alisnya dan manggut-manggut. "Bagus."

Setelah itu, nggak ada lagi percakapan di antara mereka, yang terdengar hanya suara hewan malam dan gesekan ranting yang diterpa angin. Sampai beberapa saat setelahnya, Raka membuka obrolan.

"Sekolah kamu gimana?" tanya pria paruh baya itu.

Hugo kelihatan agak kaget, lalu menggeleng beberapa kali. "Nggak gimana-gimana."

"Mau pindah pesantren?" tawar Raka, iseng.

Hugo nggak menjawab, dia cuma diam dengan ekspresi bingung harus menjawab apa.

Lalu Raka menukas, "Becanda, tegang banget mukanya."

Kemudian mereka kembali saling diam. Namun, kali ini yang membuka suara lebih dulu bukan lagi Raka, melainkan Hugo.

"Pa." Cowok itu memanggil.

"Hm?"

"Papa kenapa ngajak Hugo ke sini?" tanya Hugo hati-hati.

"Boys night out, emang nggak boleh?" balas papanya.

"Bukannya nggak boleh, tapi dari sekian banyaknya tempat, kenapa mesti ke bukit ini? Malem-malem begini?" Hugo kembali bertanya.

"Sengaja. Cari udara segar, biar bisa ngobrol pake kepala dingin," jawab Raka, melirik pada Hugo lalu lanjut berkata, "Rileks aja, nggak usah canggung-canggung, kayak sama siapa."

Hugo menyengir kikuk. Gimana dia nggak canggung kalau situasinya saja macam ini? Hugo memang nggak begitu dekat dengan papanya, tapi bukan yang sampai canggung parah dan jarang mengobrol, cuma bukan yang sampai sering mengobrol empat mata begini.

Terlebih akhir-akhir ini papanya itu sering sensi, kalau lihat Hugo bawaannya pengin nyindir-nyindir terus. Hugo berusaha buat nggak keki ketika papanya mulai membuka obrolan dengan pertanyaan ringan. Mulai dari menanyakan tentang modifan motornya Hugo, klub voli luar sekolah yang diikuti Hugo, sampai tim voli sekolah Hugo.

Sampai akhirnya, obrolan mereka mengalir begitu saja. Rasa canggung Hugo perlahan-lahan terkikis, berganti dengan rasa nyaman.

"Go," panggil Raka di tengah-tengah obrolan mereka, ketika dirasa situasinya sudah tepat untuk berbicara dari hati ke hati.

"Hng?" sahut Hugo.

"Jangan pernah nyesel ya terlahir jadi anaknya Papa?" ujar Raka, seraya menoleh, melempar tatap pada putranya.

Hugo mendadak terdiam.

Pria paruh baya itu tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. "Mungkin Papa belum bisa jadi orang tua yang baik, Papa masih banyak banget kurangnya, kadang Papa ngelakuin salah tanpa Papa sadari, kadang Papa juga ngucapin sesuatu yang bikin kalian sakit hati tanpa Papa sadari. Papa minta maaf, tapi jangan pernah nyesel karena udah jadi anak Papa ya?" ucapnya.

Hugo termenung, dia tersenyum getir dan membalas, "Harusnya ... Hugo nggak sih Pa yang bilang gitu?"

"Selama ini, Mama sama Papa selalu berusaha yang terbaik buat kita, tapi kadang, Hugo masih kurang puas, kurang bersyukur, merasa kalau Mama sama Papa nggak bisa ngertiin Hugo, padahal ... Hugo sendiri juga nggak cukup baik ngertiin Mama sama Papa," ujar Hugo, tatapnya menunduk, menatap kedua kakinya yang terbalut sepatu.

"Papa nggak minta buat kalian ngertiin, sekalipun kalian nggak ngertiin Papa juga Papa nggak masalah, tapi paling nggak, kalian bisa ngertiin Mama. Mama yang bawa kalian selama sembilan bulan, Mama yang lahirin kalian. Papa aja nggak tega buat bentak Mama, masa kalian yang dilahirin sama Mama masih tega buat ngebentak Mama?" balas Raka, halus tapi cukup membuat Hugo tertampar.

"Nggak cuma kalian, Papa kadang juga kesel kalau diomelin terus sama Mama, tapi justru ngomelnya Mama itu karena Mama sayang sama kita. Sekarang, Papa tanya, kemarin setelah berantem, kamu dicuekin nggak sama Mama?"

Hugo mengerjap, lalu menggeleng. "...enggak."

"Masih dapet tambahan uang jajan nggak dari Mama?"

"...masih."

Raka menyunggingkan senyum miring. "Kalau jadi Mama sih, Papa nggak sudi ya, udah dikasarin masih mau buat peduli, padahal yang dipeduliin juga nggak tau diri."

Hugo menunduk. "Maaf," cicitnya.

"Papa bilang gitu kemarin sama Mama, dan tau apa jawaban Mama?" ujar Raka, membuat Hugo menoleh padanya.

"Mama bisa aja buat marah, ngediemin, atau bahkan tega buat nggak peduli sama sekali, tapi Mama nggak mau lakuin itu, karena apa? Karena Mama sayang sama kamu. Kamu anaknya Mama, dan nggak pantes buat Mama kalau bersikap kayak gitu sebagai orang tua yang harusnya bisa jadi tempat pulang yang nyaman buat anaknya," beber Raka.

Bola mata Hugo bergetar, nyaris berkaca-kaca. "Hugo udah banyak dosa, Pa," cicitnya.

"Nggak ada manusia yang suci, Go. Papa pun banyak dosanya," balas Raka, pandangnya mendongak pada langit yang menjadi atap mereka.

"Hugo merasa berdosa, karena Hugo pernah mikir, kalau Mama cuma sayang Bang Vano sama Reon," aku Hugo.

Raka langsung menoleh. "Sebab apa kamu mikir Mama lebih sayang Bang Vano sama Reon?" tanyanya.

"Karena dulu Mama kalau sama Bang Vano banyak telitinya, sering khawatirnya, Bang Vano diperhatiin kayak anak paling kesayangan, meskipun itu punya alasan, tapi Hugo dulu anggepnya, Bang Vano emang yang paling di sayang di antara kita, terus Reon juga suka dimanja, kalau minta ditemenin tidur masih Mama ladenin, Reon apa-apa juga nempelnya sama Mama, bikin Hugo makin sebel aja," ungkap Hugo jujur.

Dia belum pernah mengatakan itu pada siapa-siapa, dia juga nggak seberani itu buat bilang ke mamanya kalau dia merasa dibedain, sampai akhirnya, Hugo sadar sendiri, kalau itu cuma perasaan dari rasa egoisnya, dia terlalu fokus melihat perhatian mamanya ke saudaranya yang lain, tanpa melihat kalau mamanya juga perhatian ke Hugo sendiri.

"Sekarang masih mikir begitu?" tanya Raka.

"Bukannya nggak tau diri kalau Hugo masih mikir kayak gitu?" jawab Hugo, mengundang senyuman di wajah papanya.

"Bagus kalau sadar," balas pria paruh baya itu. "Nanti, kalau jadi orang tua, kamu juga bakal ngerasain sendiri, jangan nangis nanti kalau kamu punya anak yang bandelnya ngalahin diri kamu saat ini," ujarnya.

"Pa, buah jatuh nggak jauh dari pohonnya, Hugo begini juga duplikatnya Papa sendiri," ucap Hugo.

Raka melirik dengan ekspresi salty. "Halah, to the point aja kalau mau bilang yang jelek-jelek nurunnya dari Papa."

Hugo ketawa. "Tumben Papa peka?" balasnya.

Suasana yang tadi terasa tegang dan melankolis kini mulai mencair.

"Sebandel-bandelnya Papa juga nggak pernah ngelawan sama Nenek," celetuk Raka.

"Tapi sering sama Kakek?" timpal Hugo.

Lalu senyuman miring kembali terlihat di wajah Raka. "Kalau nggak ngelawan, Papa udah tinggal nama, nggak akan nikah sama Mama, nggak akan ada kamu sama yang lain," ucapnya.

Hugo mengernyit tak paham "Maksudnya?"

Raka menggeleng. "Bukan apa-apa. Just nightmare, something that I pray you'll never know," ujarnya dengan tatapan penuh makna yang tak mampu Hugo artikan.

***

it's okay, ka, you did well, you did your best 🥺

karakter development-nya ghea emang the best, tapi raka juga nggak kalah mantul, mengingat hubungan dia sama bokapnya tuh ga begitu baik.

ini update terakhirku di bulan ramadhan, update lagi ntar abis lebaran, coba itung berapa kali aku update sebulan ini?? kyaknya cuma 4 ya kalau ga 3 😀

udah ku bilang, kan di awal kalau cerita ini akan ku tulis dengan nyantai~

thank u, jgn lupa vote, see u next part 💋

Continue lendo

Você também vai gostar

34.1K 4.1K 43
{FANFICTION} Dulu bagi Jemima, seorang Jeffry Alvaro adalah pria paling bertanggung jawab yang ia junjung tinggi. Pria itu adalah sebaik-baiknya tula...
5.6K 371 21
"Brengsek kamu Al," "Satu lagi, jangan pernah nemuin aku setelah ini" -Swastika Eci "Ci, dengerin aku, dengerin perasaanku selama ini,Ci" -Algavian M...
190K 42.4K 52
(Sekuel Di Usia 16) Pengalaman pahit sekaligus menyakitkan di masa lalu membuat Maira tumbuh menjadi perempuan yang sulit untuk kembali jatuh cinta...
8.8K 1.2K 8
❪㑭。𝙺𝙰𝙽𝙶 𝙳𝙰 𝙶𝚈𝙴𝙾𝙼 𝚇 𝙵𝙴𝙼! 𝚁𝙴𝙰𝙳𝙴𝚁 ❫ ❝ 𝖬𝗒 𝗁𝖾𝖺𝗋𝗍 𝗂𝗌, 𝖺𝗇𝖽 𝖺𝗅𝗐𝖺𝗒𝗌 𝗐𝗂𝗅𝗅 𝖻𝖾, 𝗒𝗈𝗎𝗋𝗌 ❜❜ ▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀...