When The Sun Is Shining

By sourpineapple_

8.5K 1.1K 112

ON GOING ALL ABOUT RAKA'S FAMILY [ BAGIAN DARI IT CALLED LOVE, ELVANO, & RENJANA ] *** Sebab, pada dasarnya... More

PROLOGUE
Ø1: MPLS
Ø2: 08 BERAPA?
03. TRIAL
Ø4. TEMAN BARU
Ø5. BUNGA TAI AYAM
Ø6. ROLE MODEL
Ø7. LOVE LANGUAGE
Ø8. REONI BAPAK-BAPAK
Ø9. ABANG
1Ø. TENGGELAM
11. HANYUT
12. KECEWA
13. PECAH
14. EGO
15. WHERE I AM?
16. ISI KEPALA
17. CAN WE FIX IT?
19. ISENG
20. WHAT HOME FEELS LIKE
21. SOUNDS SO PATHETIC
22. TALK LIKE A GENTLEMAN
23. HIS BIGGEST FEAR
24. DOWN
25. WE WERE DONE
26. HOW MUCH THEIR LOVE
27. SUNFLOWER

18. MAKAN MALAM

262 39 2
By sourpineapple_

"Go."

"Bangun, Go."

Hugo terbangun dengan terkejut, ekspresinya tampak bingung, ia menatap mamanya dengan penuh tanya, khas ekspresi orang baru bangun tidur yang masih kelihatan linglung. Dari luar terdengar suara adzan magrib yang masih berkumandang, di mana Hugo langsung sadar, kalau dia ketiduran dan sekarang sudah magrib.

"Bangun, udah magrib. Cuci muka gih, biar nggak ngantuk lagi." Ghea menitah sambil menepuk pelan lengan Hugo.

Hugo bangun dari posisinya, masih dengan wajah bantal dan muka yang agak sembab. Tangannya menggaruk-garuk rambut, sambil mengumpulkan nyawa.

"Mama tinggal keluar, jangan tidur lagi, ya," ujar Ghea sebelum akhirnya berlalu keluar dari kamar Hugo, meninggalkan si empu yang masih mengumpulkan nyawanya.

Hugo mengerjap pelan beberapa kali, sampai dia ingat dan sadar, kalau percakapannya dengan sang mama beberapa waktu yang lalu bukanlah mimpi. Terakhir, yang Hugo ingat adalah, dia meminta peluk mamanya dan ketiduran.

Hugo baru akan beranjak dan membuka pintu kamar untuk keluar sebelum niat itu terurungkan saat mendengar seruan Reon dari luar. Hugo lantas menurunkan kembali tangannya dari gagang pintu. Ia mungkin sudah berbaikan dengan mamanya, tapi setelah apa yang dia lakukan, Hugo nggak yakin dia masih punya muka buat ketemu saudara-saudaranya.

Mereka mungkin lebih baik tanpa adanya gue.

Alhasil, Hugo memilih untuk mendekam saja di kamarnya, sampai Ghea kembali mengetuk pintu.

"Go, Mama buka ya pintunya?" izin wanita itu.

"Buka aja, Ma."

Lalu pintu kamar Hugo terbuka. "Ayo keluar, makan malamnya udah siap."

Hugo terdiam sesaat. "...nggak usah, Hugo masih kenyang kok."

"Kenyang dari mana? Udah, ayo keluar, ditungguin yang lain, kita makan bareng-bareng."

"Hugo ... malu, Ma," cicit Hugo.

Otot wajah Ghea mengendur. "Malu sama siapa, Sayang?"

"Sama Bang Vano, Bang Kano, Reon, sama Papa juga ...," jawab Hugo dengan gestur canggung. "Hugo makan sendiri aja nanti, Ma," tukasnya.

Ghea yang mengerti pun akhirnya membiarkan. "Hmm, ya udah, tapi nanti makan ya?"

Hugo mengangguk-angguk, lalu Ghea kembali menutup pintu kamarnya. Helaan napas Hugo udarakan dengan keras, cowok itu terlentang di atas kasur dan memejamkan mata. Entah sampai kapan ia akan seperti ini.

Memang lebih mudah bikin masalah daripada menerima resiko dari masalah itu. Hugo serasa nggak lagi punya muka.

Hugo sudah asyik bermain ponsel ketika Ghea kembali mengetuk pintu kamar, meminta izin untuk membukanya.

"Ayo keluar, makan. Yang lain udah ke kamar semua kok," ajak wanita itu seraya tersenyum hangat.

Hugo termenung, ia mengerjap dua kali, kemudian beranjak mengikuti mamanya ke ruang makan. Benar saja, tak ada siapa-siapa di sana, bahkan di ruang tengah pun tak terdengar suara apa-apa, biasanya Elvano sibuk bergaduh dengan papanya, atau suara televisi yang menanyangkan siaran malam.

Sampai di ruang makan, Ghea langsung menyiapkan dua piring, mengisinya dengan nasi yang masih hangat, sayur, dan lauk-pauk.

"Mama kok ..." Hugo memandangi Ghea yang juga ikut makan bersamanya.

Ghea tersenyum. "Makan sendiri tuh nggak enak, lebih enak kalau ada yang nemenin, kan?"

"Mama belum makan?"

"Ini mau makan," jawab Ghea, membuat Hugo menunduk dengan ekspresi masam.

Bahkan mamanya rela menunda makan malam agar bisa makan menemani Hugo. Sederhana, tapi hal itu membuat Hugo semakin merasa bersalah.

"Kenapa? Kok cemberut lagi?" tanya Ghea, membuat Hugo agak tersentak, lalu menggeleng-geleng.

Cowok itu segera meraih sendok dan menggeser lebih dekat piring makanan yang sudah disiapkan sang mama. "Nggak ada. Makasih ya, Ma."

"Makasih?"

Hugo melipat bibirnya dan mengangguk dua kali. "Makasih udah jadi mamanya Hugo."

Ghea tersendat, lalu beberapa saat setelahnya, ia tersenyum dan balas mengangguk. "So, makasih juga karena udah mau jadi anaknya Mama," balasnya. "Dah, ayo makan, keburu dingin nanti makanannya."

Hugo lalu menyuapkan suapan pertama, beberapa kali kunyahan sampai rasa dari makanan yang ada di dalam mulutnya menyebar, membuat hatinya seperti dibungkus sesuatu yang hangat. Sesuatu yang sangat emosional hingga membuat Hugo nyaris menangis.

Melihat Hugo yang tiba-tiba membeku dan terdiam, Ghea pun tampak heran dan bertanya-tanya. Apa ada yang aneh dari rasa makanannya?

"Kenapa? Nggak enak ya?" Ghea bertanya.

Hugo mendongak spontan, lalu ia mengerjap dan mengangguk-angguk. "Enak kok. Enak banget. Masakan Mama selalu enak," pujinya.

Dengan air mata yang menggunduk, Hugo kembali menyuap makanan ke dalam mulutnya. Demi Tuhan, makan sambil nahan nangis itu nggak enak. Hugo nggak pernah seemosional ini cuma karena makanan, setelah berhari-hari dia terus membeli makanan dari luar, sekarang dia bisa kembali menikmati masakan mamanya, rasa yang tak akan dia temukan di mana pun.

Sedangkan Ghea hanya memperhatikan dengan senyum teduh, tanpa sadar kalau dari balik tembok, ada mata lain yang mengawasi mereka dengan senyuman yang penuh arti, because something was melted in his heart.

Usai makan malam, Ghea meminta yang lainnya untuk masuk ke kamar masing-masing, termasuk Mbak Aida. Bahkan, saat suami dan anak-anaknya menyantap makan malam, Ghea hanya diam saja memerhatikan, ketika ditanya, wanita itu menjawab jika ia akan makan nanti setelah mereka. Ghea memang sengaja, agar ia bisa menemani Hugo makan malam.

Seperti yang ia katakan, makan sendirian itu nggak enak.

Tak banyak obrolan di antara ibu dan anak itu, sebab Ghea membiarkan Hugo untuk menikmati makan malamnya tanpa mendistraksi dengan obrolan. Setelah selesai, barulah Raka yang daritadi hanya berdiri di balik tembok, masuk ke dapur, bepura-pura mengambil air di dalam kulkas.

Lalu ia berbalik dan pura-pura baru menyadari adanya Hugo di sana. "Lah, ada orang lagi ternyata."

"Gimana? Enak nggak hidup bebasnya?" ujar Raka, mengarah pada Hugo.

Disapa kayak begitu sama papanya, Hugo cuma nunduk, nggak berani berkutik, dia juga nggak punya argumen buat balas.

"Papa." Ghea menegur.

"Nanya doang, Ma. Kemarin ngotot, kan, tuh nggak mau diatur, setelah nggak diatur beneran gimana? Enak apa enggak? Enak dong, hidup bebas mana yang nggak enak," ujar Raka berkedok sindiran halus.

"Maaf, Pa," cicit Hugo, telinganya memerah.

Hugo itu punya ego yang tinggi, kalau dalam situasi normal, dia pasti bakalan balas ucapan papanya, tapi karena situasinya beda, jadi Hugo nggak punya kalimat yang bisa dikeluarkan selain kata maaf, kendati ia betul-betul merasa malu.

"Gimana? Nggak denger."

"Maafin Hugo." Hugo mengulangi lebih keras, sesekali ia mendongak meski tak sepenuhnya menatap Raka.

"Cium kaki Papa dulu gimana?" sahut Raka, iseng.

Ghea menoleh kilat, memelotot pada Raka sebagai isyarat teguran. "Pa, jangan gitu ah," Lalu ia beralih menatap Hugo. "Nak, ke kamar aja nggak pa-pa, ini biar Mama yang beresin—"

"Jangan. Beresin sendiri. Beresin, Go. Udah lama kamu nggak ikutan kerja rodi," sela Raka.

Hugo mengangguk. "Iya, Pa. Biar Hugo aja, Ma." Lalu ia berdiri, membawa piring kotor yang sudah ditumpuk mamanya pada wastafel, lalu mencucinya satu persatu.

Ghea memperhatikan dengan iba, sedangkan Raka malah mesam-mesem sendiri. Tabiatnya memang pengin isengin Hugo.

"Yang bersih. Lawan orang tua bisa, nyuci piring nggak bisa," celetuk Raka.

Ghea berdecak, ia menghela napas capek, suaminya itu memang hobinya mencari perkara dengan anak-anak.

"Nah gitu, belajar buat hidup bebas, hidup bebas nggak ada Mama sama Papa, nggak ada Mbak Aida juga, berdiri pake kaki sendiri, cari makan sendiri, cari uang juga sendiri," ujar Raka lagi, ketika Hugo mengelap kering piring-piring yang telah dicucinya sebelum dimasukkan ke dalam rak.

Selayaknya mandor yang mengomentari kinerja pegawai lapangan, dengan bersandar pada kulkas dan tangan terlipat di dada, sedangkan Hugo cuma diam sepanjang papanya mengomentari setiap pergerakan yang dia lakukan.

"Udah?" Raka bertanya retoris saat Hugo selesai membereskan peralatan makan dan mengeringkan tangannya.

"Udah," jawab Hugo.

"Duduk dulu," titah Raka.

Ghea segera menyela, "Langsung ke kamar aja—"

"Enggak, duduk dulu," tukas Raka.

Tanpa membantah, Hugo menarik kursi di meja makan dan duduk sesuai intruksi papanya.

"Liat Papa sini, yang ajak kamu ngomong itu Papa bukan lantai," ujar Raka, kali ini nada bicaranya terdengar berbeda, membuat Hugo gentar.

"Iya, Pa," sahut Hugo, mendongak dan memberanikan diri menatap papanya.

Ghea memijat pangkal hidungnya, entah apa yang mau dilakukan oleh suaminya itu.

"Masih waras nggak? Kalau enggak, ayo besok Papa anter ke Psikiater," ujar Raka, membuat Ghea terkejut.

"Pa!" Wanita itu menegur.

"Loh, iya, kan? Papa nanya ini. Masih waras apa enggak, soalnya orang waras nggak mungkin suka ngamuk-ngamuk dan tantrum sendiri, kan? Mumpung belum jauh, ayo ke Psikiater." Raka memperjelas ucapannya.

"Jangan gitu, ah! Masa anaknya sendiri dibilang enggak waras?" protes Ghea.

"Nggak pa-pa, Ma. Hugo sehat kok, Pa. Masih waras," sahut Hugo menengahi.

Raka mengangguk-angguk, masih dengan posisinya yang kayak mandor proyek. "Oh, bagus deh. Kurang pendekatan sama Tuhan berarti, Papa panggilin Kyai kalau gitu besok."

Lalu tanpa Raka duga, Hugo menjawab, "Iya."

Luarnya saja ekspresi Raka terlihat lempeng, deep down inside dia tertawa ngakak. Memang bapak jahanam.

"Udah sana, balik kamar. Jangan kelayapan terus, besok sekolah. Pulang sekolah Papa panggilin Kyai, biar dibacain air yasin," titah Raka.

Hugo mengangguk. "Iya, Pa. Hugo ke kamar dulu, Ma, makasih makan malamnya," ucapnya.

Ghea tersenyum tak enak. "Iya, Sayang. Istirahat ya, tidur yang nyenyak."

Lalu sepeninggal Hugo, Ghea langsung berdiri, memukul pelan lengan Raka. "Kamu kok gitu sih ngomongnya sama Hugo, Ka?"

"Gimana ya? Jarang banget liat mukanya dia melas begitu, sayang kalau nggak dijailin." Raka malah terkekeh tanpa dosa.

Ghea menghela napas. "Jangan jail-jail, belum tentu Hugo nganggepnya bercanda, siapa tau kalau dia mikir serius?"

"Kayak nggak kenal papanya aja dia," balas Raka enteng. "Udah yuk, ke dalem," ajaknya, meraih pundak sang istri dan membawanya pergi meninggalkan dapur.

***

"Tumben ya, Mal?" celetuk Neza, matanya yang setajam elang itu mengawasi seluruh penjuru kantin, dan tak menemukan eksistensi si empu yang biasanya jam-jam segini sudah tebar pesona mencari mangsa.

Gemala yang lagi mengunyah batagornya, menoleh dengan ekspresi bertanya. "Apanya yang tumben, Nez?"

"Biasanya si buaya TKR itu udah beraksi, kok belum keliatan daritadi? Bolos lagi kali ya dia?" tanya Neza, sambil lirik kanan-kiri.

Gemala mengambil gelas pop ice-nya sambil menggeleng. "Enggak kok, tadi pagi gue liat dia di parkiran. Lagi sibuk mungkin."

Neza langsung salty. "Idih, cowok berandalan macam dia emang sibuk apa? Gue pikir-pikir ya, Mal, kayaknya dia jadi jauh keliatan bedanya dari yang pertama kali gue liat."

"Emang beda gimana?" Gemala bertanya, masih asyik menghabiskan sisa batagor di piringnya.

"Auranya aur-auran, alias suram," jawab Neza, membuat Gemala mengernyit.

"Sejak kapan lo bisa liat aura orang, Nez?"

"Sejak orang itu si buaya TKR," cetus Neza asal. "Apalagi dia segeng kan sama Brian dkk, di SMP aja mereka sering kena skors, mana satu geng isinya nggak bener semua, mending lo putusin aja deh si Hugo, Mal, takut kejadian yang enggak-enggak," celotehnya.

"Kejadian enggak-enggak gimana?"

"Ya siapa yang tau isi otaknya cowok?"

Gemala terdiam sesaat. "Tapi Hugo baik kok, Nez—maksud gue yang beneran baik gitu, matanya nggak pernah jelalatan, apalagi megang-megang tanpa izin, malah dia tuh nggak suka dipegang."

Neza merotasi bola matanya dan berdecak. "Ya gimana nggak suka dipegang, orang dia aja nggak suka sama lo," ucapnya blak-blakan.

Mungkin, kalau Gemala orangnya sensitif, dia bakalan sakit hati, tapi berhubung yang ngomong kayak gitu Neza, dan Gemala sudah hafal sahabatnya itu memang suka begitu, jadi ya dia nggak kaget.

"Suka kok," jawab Gemala, terlihat tak meyakinkan untuk Neza.

"Iya, suka lo sebagai salah satu mainannya."

"Tapi, dia janji sama gue buat setia, Nez."

"Cuma cewek goblok yang percaya omongannya cowok buaya kayak Hugo, Mal. Janji manis doang itu mah, di belakang juga tetep banyak cabangnya. Percaya mah sama Tuhan, jangan sama omongannya cowok," ujar Neza menggebu-gebu.

Alih-alih kesal, Gemala malah tertawa. Ia menusuk batagor terakhirnya, lalu dengan santai menyahut, "Kayaknya, Dewa lebih brengsek dari Hugo ya, Nez?"

Neza langsung melotot berang. "Lah si anying malah sebut merk, ntar anteknya denger woi!" protesnya, segera lirik kanan-kiri memastikan nggak ada yang dengar ucapannya Gemala.

Gemala malah tertawa. "Tapi bener, kan?"

"Nggak juga sih, masih buaya TKR ke mana-mana, brengskinya beda jalan aja." Neza mengendik.

Neza dan Gemala asyik menggosipkan Hugo, sedang di sisi lain yang digosipkan sedang renungan, kayak orang depresi menyendiri di pojok perpustakaan. Sewaktu jam istirahat tiba, Hugo langsung cabut untuk menghindari ajakan dari Brian dan gengnya, dia sempat ditanya, tapi Hugo jawab saja kalau dia mau ke toilet buat kencing, padahal aslinya melipir ke perpustakaan untuk mencari ketenangan.

Jangankan buat tebar pesona seperti biasa di kantin, mencari mangsa pada cewek-cewek cantik sekolahnya, membuka ponselnya saja Hugo nggak tertarik. Dia bosan. Di saat seperti ini, Hugo sadar, kalau kebiasaan yang selalu dilakukannya sebagai pengusir rasa bosannya itu malah menjadi yang paling membosankan.

Di lain sisi, Hugo juga bingung, bagaimana caranya menjauhi Brian and the geng tanpa terlihat menjauhi? Apa Hugo harus pura-pura amnesia dan jadi kutu buku? Ah, membosankan. Hugo mana betah melakukan hal membosankan semacam itu.

Sewaktu lagi sibuk mikir dengan ekspresi serius, fokus Hugo terdistraksi oleh suara familier yang memanggil namanya.

"Hugo?"

Secara spontan, kepala Hugo tertoleh.

"Lo ngapain di situ?" Si empu yang memanggilnya bertanya. Ekspresinya tampak sangat heran melihat Hugo mojok di sela antara rak dan tembok kayak bocah lagi ngambek.

"Lah, lo juga ngapain di sini?" balas Hugo, yang nada bicaranya selalu konsisten seperti orang ngajak berantem. Cowok itu berdiri dari tempatnya, hingga tinggi tubuhnya tampak menjulang.

Orang yang tak lain adalah Gemala itu mengerjap.  "...pinjem buku? Emang mau ngapain lagi ke perpus selain pinjem sama baca buku?" ujarnya dengan air muka yang masih terlihat heran.

Setelah menghabiskan sepiring batagor dan segelas pop ice-nya di kantin, sambil gosip bersama Neza tadi, Gemala langsung pergi ke perpustakaan, sebab dia dapat pesan pribadi dari guru mata pelajaran produktif jurusannya untuk meminjam buku di perpustakaan. Dan kebetulan yang sangat langka bisa bertemu Hugo di perpustakaan seperti ini.

"Bolos lah. Ngaku aja lo mau bolos, kan? Bentar lagi bel masuk nih." Hugo menuding.

"Hah? Enggak ya! Gue mau pinjem buku pelajaran, disuruh Bu Tika buat pinjem buku sebelum kelasnya mulai," tukas Gemala. "Lo sendiri kali yang mau bolos?" tudingnya balik.

"Dih, sotoy. Gue ngadem di sini."

Gemala mengangguk-angguk. "Pantes nggak keliatan, biasanya ngelayap ke kantin," ucapnya sambil menahan senyum yang kelihatan banget, bikin Hugo mendelik.

"Ngapain lo senyam-senyum?"

"Nggak pa-pa kok, hehe." Gemala nyengir.

Hugo berdecih, melesakkan dua tangannya ke saku celana. "Nggak jelas lo, Cebol." Kemudian ia berlalu pergi begitu saja.

Gemala berbalik. "Mau ke mana, Go?"

Hugo berhenti melangkah, ia menoleh dan menjawab, "Ke jonggol. Ya balik kelas lah, kocak."

Gemala tersenyum. "Oh ya udah," sahutnya, sambil memperhatikan punggung Hugo yang menghilang di balik rak buku.

Cewek berkacamata itu mengulum senyum, entah benar atau enggak, feeling Gemala bilang kalau Hugo memang menepati ucapannya kemarin.

***

sama bokapnya menciut, sama ceweknya galak, dasar hugo.

Continue Reading

You'll Also Like

665K 8.8K 24
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
6.7M 284K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
997 147 33
Story 05. [ Puppy Love ] By : @girlRin @Tslnica_ ▪︎▪︎▪︎ Apa yang salah dengan jatuh cinta sama orang yang umurnya lebih tua daripada kita? Perbedaa...
3.6K 810 22
Apa yang muncul pertama kali di pikiran kalian saat mendengar kata 'pandora'? Pastilah sesosok gadis cantik dengan kotak yang melegenda bukan? Namun...