Flower

Od anythinganiya

9.4K 963 45

Bagaimana mungkin dua orang yang selalu bersama tak pernah sekali pun memiliki perasaan satu sama lain? "I fe... Více

prolog
1. little things
2. something between us
3. lust
4. ilusm
5. broken
6. one cloudy day
7. inevitable consequence
8. hide and seek
9. unbreakable bond
10. all the guts i had
11. a silly morning
12. the cure and the cause
13. talking to the wind
14. invisible string
16. complication of words
17. clarity
18. above the clouds
19. starting anew
20. before the storm
21. a nightmare
22. dwelling place
23. we've been through
24. poinsettia; and the flower that bloom at night
epilog
catatan kecil (dan mungkin sedikit pemberitahuan)

15. missed connection

230 32 0
Od anythinganiya


Seungcheol lahir saat musim panas. Saat gugus bintang terlihat jelas di langit, dulu sekali sebelum pindah dari sini kata ibunya. Dan di atas rooftop sebuah gedung sekarang, Seungcheol sedang menengadah ke atas, berharap melihat gugus bintang seperti yang diceritakan ibunya. Tapi, tidak ada satu pun bintang yang bisa ia lihat di sana. Barangkali mereka malu, lalu bersembunyi karena kalah oleh kerlip lampu dan gedung-gedung pencakar langit di bawahnya. Seungcheol mendesah pelan, beralih memandangi jalanan kota yang ramai. Hari ini ulang tahunnya yang ke 31, dan seluruh dirinya mungkin sama seperti langit di atasnya. Gelap dan pekat.

Seungcheol ingin merokok, atau menenggak beberapa gelas bir agar segala hal rumit dalam kepalanya bisa hilang sejenak. Tapi kondisi dan situasi sekarang tidak mengizinkannya untuk melupa barang sebentar pun. Ia lelah, kusut dan kacau. Seolah semesta sedang berlomba untuk memperkeruh hidupnya yang sudah terlampau berantakan.

Seungcheol hendak berbalik untuk turun saat melihat seseorang keluar dari pintu. Adiknya berdiri di sana, tidak jadi mendekat karena melihat Seungcheol yang lebih dulu datang menghampiri.

"Aku dapat cuti minggu ini," kata Hansol.

Seungcheol tersenyum tipis, namun matanya memancarkan keletihan. Ia menepuk bahu adiknya, mengajaknya turun ke bawah.

***

Seungcheol sedang memperhatikan Hansol yang sedang membelai pipi sang ibu di dalam ruang ICU. Adiknya itu tadi langsung menyusulnya ke atas begitu sampai di rumah sakit. Sekarang ia bisa melihat bagaimana adiknya masih saja meneteskan air mata tiap kali berada di dekat ibu mereka yang masih tak kunjung sadarkan diri. Hansol yang diketahuinya jarang berekspresi dan cenderung dingin itu masih saja menangis sejak pertama kali melarikan ibunya ke rumah sakit.

Tidak ada seorang anak pun yang bisa tahan melihat orang terkasih mereka terbaring sakit. Kalaupun Seungcheol terlihat menahannya selama ini, itu hanya karena ia takut tidak bisa menjadi sosok kakak yang kuat untuk adiknya. Anak pertama yang kuat untuk ibunya.

Seungcheol menahan segalanya, meski seluruh dunianya sedang runtuh secara bersamaan dalam waktu singkat. Ia kemudian memutuskan untuk pergi ke ruang tunggu, membiarkan adiknya menyapa sang ibu.

Satu minggu lalu setelah ia pulang dari rumah Jeonghan, Hansol menghubunginya. Ini kali pertama ia mendengar Hansol menangis dan panik sejak mereka tumbuh dewasa. Suara isakan Hansol terdengar jelas di seberang sementara ucapannya kacau. Pikiran Seungcheol yang sudah terlalu kalut sebelumnya menjadi semakin tidak tenang, ditambah sedikit pengaruh alkohol yang mengaliri darahnya membuat ia tidak sabar menunggu adiknya bicara dengan jelas.

"Apa yang terjadi, bicaralah dengan jelas!" katanya nyaris membentak.

"Bunda ...."

Pikiran Seungcheol semakin keruh mendengar ibunya disebut. Pria itu menunggu selama Hansol masih kesulitan bicara karena isakannya. "Bunda pingsan."

Seungcheol tak perlu berpikir dua kali untuk memutuskan panggilan telepon itu dan berlari ke mobilnya. Ia bahkan tidak peduli bahwa ia menyetir dalam keadaan setengah mabuk. Pikirannya hanya dipenuhi ibunya, dan ia ketakutan sekarang.

Butuh waktu dua jam untuk sampai di kota tempat tinggal ibunya, dan Seungcheol bersyukur ia dengan aman sampai di sana meski pikirannya kacau. Ia juga beruntung tidak ada polisi yang berpatroli sebab ia benar-benar gelisah, takut apabila ditilang dan tidak bisa melanjutkan perjalanan karena menyetir dalam pengaruh alkohol. Begitu sampai, ia mengecek pesan Hansol dan langsung menuju tempat yang disebutkan.

Adiknya berdiri di lorong depan ruangan ICU, dan Seungcheol langsung berlari memeluknya. Wajah Hansol memerah, sehabis menangis. Ia langsung menjelaskan apa yang terjadi tanpa perlu menunggu Seungcheol bertanya atau melepas pelukannya. Katanya, ia menemukan ibunya sudah pingsan di dapur saat ia pulang dari kantor. Hansol tak berpikir untuk menelepon ambulans dan langsung menggendong ibunya ke dalam mobil untuk pergi ke rumah sakit.

Ibunya memang memiliki riwayat tekanan darah tinggi. Tapi Hansol tidak pernah berpikir bahwa ibunya akan mengalami serangan stroke. Hansol takut sekali, bagaimana jika hari itu ia pulang terlambat dan ibunya tidak segera mendapat pertolongan?

Air mata Seungcheol menetes mendengar itu, tapi ia buru-buru menghapusnya sebelum Hansol menyadarinya. Dipeluknya Hansol semakin erat. Jika Hansol saja merasa seperti ini, bagaimana dengannya yang berada puluhan kilometer dari mereka. Di mana ia saat ibunya sakit? Kapan terakhir kali ia bertemu ibunya dan membuatnya bahagia?

Rasa bersalah Seungcheol semakin besar karena seminggu telah berlalu, dan ibunya masih tak kunjung membuka mata. Apakah Tuhan akan mengabulkan cepat doa orang yang berulang tahun? Kalau iya, Seungcheol ingin agar ibunya segera sadarkan diri. Ia rasanya ingin menukar segala kebahagiaannya jika itu bisa membuat ibunya sehat kembali.

Seungcheol mengusap wajahnya yang lelah ketika seseorang menyentuh bahunya. Hansol sudah keluar dari ruangan sang ibu, dan kini ikut duduk di sebelahnya.

"Kakak pulang saja," kata Hansol. "Lagipula kau tak mungkin cuti lebih lama lagi bukan? Bunda akan aman bersamaku."

Seungcheol menghela napas panjang. Bukannya ia tidak yakin meninggalkan Hansol menjaga sang ibu meski adiknya itu sudah mendapatkan cuti. Tapi ia takut meninggalkan ibunya. Ia takut akan terjadi sesuatu saat dirinya tidak sedang di sini, sama seperti saat itu. "Aku akan langsung ke sini sepulang kerja."

Hansol mengangguk. "Oh, ya, Kak. Kau tidak mengabari Kak Han? Sampai seminggu Bunda dirawat, aku tak melihatnya datang sama sekali."

Seungcheol bergeming, tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Semua hal rumit yang terjadi belakangan antara dirinya dengan Jeonghan memang masih ia rahasiakan dari keluarganya. Kehamilan Jeonghan, segala dinamika hubungan mereka yang sempat naik turun selama beberapa bulan ini. Ia tidak ingin membuat ibunya berharap lebih sementara ia dan Jeonghan masih belum berdamai dan menemukan solusi untuk masa depan.

Memikirkan itu semua membuat Seungcheol semakin teringat Jeonghan. Pertemuan terakhir mereka begitu buruk. Lalu Seungcheol harus pulang, sibuk mengurus ibunya dan ia tidak sempat memikirkan bagaimana ia bisa memperbaiki kesalahannya kali ini. Pikiran Seungcheol kini bagai rimbun pohon yang menyembunyikan duri. Apa pun yang diputuskannya, ia rasa akan menyakiti bukan hanya dirinya, namun orang lain.

"Kak?" panggil Hansol, membuyarkan lamunannya.

"Pekerjaannya sedang banyak. Dia belum sempat ke sini."

Hansol mengiakan, meski merasa raut wajah Seungcheol berbeda sejak ia menyebut nama Jeonghan tadi. "Kau mau pulang sekarang?"

"Ya, segera telepon aku kalau terjadi apa-apa."

Seungcheol kemudian bangkit, ia hendak berjalan ketika Hansol kembali meraihnya dalam pelukan. "Maaf kau harus menahan semuanya," ucap Hansol. "Tak masalah kalau misalnya kau menangis, sedih atau apa pun. Aku tak akan menganggapmu kakak yang lemah hanya karena menangis."

Seungcheol ingin menangis, tapi entah kenapa air matanya tertahan di sana dan hanya menimbulkan dadanya begitu sesak. Ditepuk-tepuknya punggung Hansol sebelum ia melepaskan pelukan itu. "Terima kasih."

***

Sudah pukul 3 dini hari saat Seungcheol sampai di kota. Tapi bukannya langsung ke rumah, mobil Seungcheol kini berhenti di depan sebuah gedung. Ia memasuki area parkir luas yang selalu lenggang itu, sebab para penghuni apartemen lebih memilih memarkir mobilnya di basemen. Ia mematikan mesin mobil tapi tidak keluar. Ia menengadah ke atas, ke lantai lima belas di mana seseorang tinggal.

Seungcheol mengambil ponselnya, membuka room chat yang sudah lama sekali rasanya tidak digunakannya. Bukan hanya karena pertengkaran mereka terakhir kali, tapi Seungcheol lebih takut apabila semua hal rumit dalam hidupnya nanti akan menambah beban Jeonghan.

Lagipula, akan sangat tidak tahu diri jika ia sekarang lari ke sana. Memohon ampun dengan harapan Jeonghan akan mengerti situasinya, mengerti musibah apa yang ia lewati seminggu ini. Tapi di sudut hati kecilnya, Seungcheol benar-benar ingin berlari ke sana. Ia butuh Jeonghan, ia menginginkan laki-laki itu bukan hanya karena ia mencintainya.

Seungcheol ingin lari dalam pelukan itu. Pelukan di mana ia bisa melebur semua rasa sakit yang menderanya. Hanya Jeonghan yang paling mengerti dirinya, selalu seperti itu.

Tapi yang lebih penting dari itu. Bagaimana keadaan Jeonghan sekarang? Apakah ia sehat? Apakah Jeonghan makan dengan lahap seperti beberapa minggu saat ia rajin memasakkannya? Apa Jeonghan tak lagi bersedih dan terus tersenyum ketika ia tidak ada. Seharusnya iya, sebab rasanya semua sumber masalah Jeonghan selama ini adalah dirinya.

Seungcheol ingin bertanya, tapi tidak ada yang bisa ia tuju lagi setelah lebih dari sekali ia menyakiti Jeonghan. Jisoo mungkin akan membunuhnya. Seokmin? Ia tidak mau mengambil resiko, pria itu tetaplah suami Jisoo sekaligus ipar Jeonghan. Ia seolah kehilangan arah, dan nyalinya terlalu ciut untuk datang kembali.

Selama 30 menit ia masih duduk di sana. Mengharapkan yang tak seharusnya dengan sangat lancang. Seungcheol kemudian menghirup napas panjang dan mengembuskannya, kembali menyalakan mesin mobilnya dan memutuskan untuk pulang ke rumah.

Mungkin tidak sekarang. Belum.

***

Bukan karena mimpi buruk, tapi Jeonghan terus-menerus tersentak dari tidurnya. Ia baru tidur sekitar tiga jam, dan berkali-kali bangun seperti itu. Setiap kali terbangun, ia seolah mendengar seseorang menekan bel pintu. Dan Jeonghan tahu, itu hanya ilusi yang diciptakan pikirannya sendiri. Tidak ada yang datang bahkan mungkin sampai fajar menjelang.

Jeonghan melirik jam di atas nakas, pukul 3 lebih 15. Matanya panas, dan kepalanya terasa berat sedikit. Ia butuh tidur lebih lama, tapi tubuhnya tidak mengizinkannya. Ia meraba perut, merasakan bagaimana bayinya sedang bernapas dan bergerak pelan di sana. Perutnya sekarang sudah semakin ketara, dan entah kenapa menyentuhnya membuat ia merasa sedih.

Sudahkah ia menjaganya dengan baik? Sudahkah ia memberi bayinya kasih sayang yang utuh ketika sejak ia hadir sampai hari ini, bayinya hanya melihat pertengkaran demi pertengkaran, pemikiran buruk dan banyak sekali stress. Dengan egonya, Jeonghan bahkan memisahkan bayi ini dari kasih sayang ayahnya. Seorang ayah yang ia tahu akan memberikan cinta lebih banyak pada bayi yang dikandungnya.

Tapi meskipun begitu, Jeonghan tetap saja tidak bisa merasa tenang. Ia takut kalau nanti Seungcheol tidak benar-benar menginginkan bayi ini—mengingat kehadirannya juga karena kesalahan mereka berdua. Bukan berarti Jeonghan merasa percaya diri ia bisa memberi bayi ini segalanya jika yang ia lakukan selama ini juga terus menyakiti.

Jeonghan menyibak selimut, merasa haus. Ia keluar kamar untuk mengambil air dingin di lemari es. Mungkin air dingin bisa menenangkan saraf-saraf di tubuhnya yang terus-menerus tegang.

Tangan Jeonghan bertumpu pada meja konter, dan kini menatap sesuatu di meja ruang tengah. Kue dengan lilin yang masih utuh—yang ditinggalkannya beberapa jam lalu.

Jeonghan kemudian berjalan mendekat sembari merasakan air mata yang merebak di pelupuk matanya. Ia melepas satu persatu lilin yang sempat dipasangnya, memasukkan kembali kue itu ke dalam kotak dan menaruhnya di kulkas.

Dadanya sesak karena suatu alasan, jadi daripada kembali ke kamar, Jeonghan berjalan menuju balkon sempit di depan jendela ruang tengah. Ia butuh udara segar.

Di dinding pagar setengah badan itu Jeonghan bersandar. Awalnya, matanya hanya sibuk menatap langit, memandangi sesuatu yang sangat jauh seperti sesuatu yang sedang diharapkannya. Lalu saat matanya memandang ke bawah, ia melihat sesuatu yang tidak asing.

Mobil di area parkir depan apartemen biasanya memang hanya diisi para pengunjung apartemen. Dan cukup mudah mengenali mobil baru yang terparkir di sana. Tapi ini bukan mobil baru, dan mobil itu memang biasanya parkir di basemen meskipun bukan penghuni tetap. Tentu saja Jeonghan tidak salah mengenali karena ia ikut menemani saat pemiliknya membeli mobil itu pertama kali, pun ia sering duduk di sana selama 3 tahun ini.

Jeonghan masuk kembali ke dalam dengan terburu-buru. Ia menyambar sweater yang ada di gantungan lemarinya sembarangan untuk melapisi baju tidurnya yang tipis. Ia meraih ponselnya dan hampir saja berlari untuk keluar dari unitnya—takut kalau ia akan terlambat. Ia berulang kali mencoba menghubungi, namun teleponnya tak terjawab. Karena ini dini hari, ia tidak perlu menunggu lift lama untuk membawanya ke lobi. Tapi sesingkat apa pun waktu yang sedang dilaluinya, semua terasa lama dan ia semakin tak sabaran.

Saat Jeonghan akhirnya sampai di area parkir, yang ia temukan hanyalah harapan yang menguap bersama angin malam. Mobil itu sudah pergi. Dan Jeonghan benar-benar sudah terlambat.

Jeonghan kini berpikir barangkali tadi ia hanya berhalusinasi. Ia kemudian melihat layar ponselnya lagi, bersiap menelepon untuk ketiga kalinya. Tapi tangannya terjatuh ke samping tubuhnya. Halusinasi atau bukan, Seungcheol sudah pergi.

Mungkinkah kali ini ia ditinggalkan lagi bahkan oleh seorang seperti Seungcheol? Seseorang yang selalu dipikirnya akan menetap seberapa keras pun semesta dan dirinya mencoba menutup jarak.

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

63.7K 5.9K 28
(END) Memiliki adik tiri bermuka dua sebagai saingan cinta tidaklah menakutkan... Yang menakutkan adalah adik tirinya itu lebih unggul - Karena "adik...
60.1K 7.2K 16
Jeonghan tidak sengaja mengetahui rahasia siswa populer di sekolahnya yang akhirnya membawanya ke dalam cerita yang rumit. . SEVENTEEN feat Nu'Est Fa...
77.5K 11.5K 63
Iris Art University adalah salah satu universitas seni ternama di Seoul, Korea Selatan. Salah satu tempat yang dituju bagi mereka yang merasa mempuny...
85.6K 9.8K 20
Jeongcheol Soulmate AU. Berwarna hitam, tattoo tersebut akan terus terpatri pada pergelangan tangan, tepat di mana nadi pertanda kehidupan berdenyut.