5. broken

273 34 1
                                    

Hari-hari Jeonghan akhir-akhir ini selalu berakhir buruk. Beberapa hari lalu, ia lupa membayar tagihan listrik hingga beberapa email tagihan menumpuk di inbox-nya. Biasanya ada seseorang yang selalu mengingatkannya, "Han, sudah tanggal 3, jangan lupa bayar tagihan listrik dan air."

Dan Jeonghan akan selalu buru-buru mengecek emailnya.

Pagi ini dia bangun terlambat, badannya begitu lelah karena seminggu ini harus bolak-balik survei lokasi syuting. Ia hendak membuat sarapan seadanya ketika di kulkasnya tak ada apa pun selain air putih. Kalau saja Seungcheol ada, ia tidak pernah repot-repot bahkan ketika ia lupa belanja. Kulkasnya minimal selalu ada telur, sosis, atau susu.

Hal-hal kecil seperti ini membuatnya uring-uringan. Ia merasa terlalu bergantung pada sahabatnya selama ini, dan kekacauan yang ia buat berhasil menarik rentetan kesialan di hidupnya.

"Kau bertengkar dengan Seungcheol?" tanya Jisoo suatu siang, tepat setelah rapat selesai.

"Tidak?"

"Tidak? Sepertinya aku jarang melihat kalian pergi bersama. Minimal, tak pernah kulihat lagi kau mengangkat telepon darinya atau membicarakannya."

Meski sudah lama tak lagi tinggal bersama karena Jisoo menikah. Jeonghan benci saudaranya itu selalu peka. Ia bahkan sering sengaja pulang telat agar Jisoo tak menyadari Seungcheol tak lagi menjemputnya. Atau beralasan sedang sibuk di akhir minggu jika Jisoo hendak berkunjung ke rumahnya. Sebab sekali saja Jisoo menginjakkan kaki di rumahnya, pria itu akan menyadari bahwa hubungan Jeonghan dan Seungcheol diambang kehancuran.

Dan sekarang tanpa itu semua ternyata sudah cukup membangkitkan kecurigaan Jisoo. "Kata Seokmin, sudah sebulan ini Seungcheol selalu bekerja lembur. Seminggu ini bahkan ia ikut project di luar kota, hal yang selalu dihindarinya karena ia biasanya tak bisa lepas darimu."

Jeonghan melupakan fakta ini; suami Jisoo bekerja di stasiun tv yang sama dengan Seungcheol.

"Hanya sempat berselisih paham saja," jawab Jeonghan pada akhirnya.

"Benarkah? Kalian biasanya paling tahan begitu seminggu, tak lebih."

"Soo, maaf, tapi bisakah kau berhenti ikut campur?" Dengan sekali kata itu, Jeonghan beringsut pergi.

Jisoo terdiam. Tapi ia tahu ada yang tidak beres.

Sepanjang ia mengenal Seungcheol, ia tidak pernah sekali pun melihat pria itu menjauhi Jeonghan. Saat Jeonghan berpacaran pun, Jeonghan dan Seungcheol tak pernah terpisahkan. Dibandingkan dengannya yang saudara kandung Jeonghan sendiri, Jeonghan lebih senang merepotkan Seungcheol, begitupun sebaliknya. Keduanya selalu membutuhkan satu sama lain.

Jisoo biasanya selalu menempatkan diri sebagai pengamat. Meskipun kadang mulutnya cerewet dan sibuk mengejek, ia selalu berusaha tidak mencampuri urusan Jeonghan dan Seungcheol. Kalau ia memang sejak dulu ikut campur, sudah ia todong Seungcheol untuk menikahi saudaranya itu sejak lama.

Kali ini ia tidak tahu mengapa ia merasa perlu turut serta. Diketiknya nama Seungcheol di daftar kontaknya.

"Halo?"

Kapan terakhir kali ia menelepon Seungcheol. Sepertinya nyaris tidak pernah. "Hei, Cheol, apakah aku menganggu? Kau sedang sibuk?"

"Oh, tidak. Aku baru saja akan pergi makan siang. Tumben kau menelepon? Apakah Seokmin tidak menjawab teleponmu?"

Jisoo tertawa. Mana mungkin, kalaupun suaminya itu tak ada kabar, ia tidak akan pernah menghubungi Seungcheol untuk bertanya. "Memangnya aku pernah menghubungimu untuk urusan klise macam itu?"

"Well, memang tidak pernah ... jadi ada apa?"

Jisoo bisa mendengar Seungcheol sempat terdiam seolah gugup. Ia tahu sahabat saudaranya itu cukup pintar untuk menebak maksudnya. "Jeonghan—"

Embusan napas Seungcheol terdengar begitu jelas hingga ia berkata terburu-buru, "Apakah dia mengatakan sesuatu padamu?"

Tepat sekali! Dugaan Jisoo pasti benar. Keduanya menyembunyikan sesuatu. Ada hal yang membuat keduanya saling menghindari satu sama lain.

"Bukan apa-apa. Dia tidak mengatakan apa pun padaku. Sepertinya dia agak sedikit kurang enak badan akhir-akhir ini, apakah kau bisa menjemputnya sekarang?"

Seungcheol cukup lama terdiam. "Apakah dia yang menyuruhmu?"

"Ini ideku sendiri. Aku sepertinya tidak bisa menemaninya ke dokter, dan terlalu takut terjadi apa-apa jika membiarkannya pergi sendiri."

"Maaf, Soo. Aku juga sedang tidak bisa, tapi kalau bisa kumohon izinlah dan antar dia."

Jisoo sudah menduganya, tapi penolakan Seungcheol tetap saja membuatnya terkejut. Ia ingat, Seungcheol pernah rela datang di tengah badai hanya karena Jeonghan demam. "Begitu, ya? Baiklah akan kucoba."

Masalah ini mungkin lebih serius dari tebakan Jisoo sebelumnya.

***

Jeonghan merasa tubuhnya semakin payah hari demi hari. Terkadang ia berpikir itu hanya penyesuaian karena ia biasanya selalu bergantung pada Seungcheol. Pun ia juga cukup sibuk di kantor karena banyak sekali project yang harus selesai bulan ini. Bisa jadi ia memang sedikit kelelahan.

Ia benci berpikir jadi lemah karena kehilangan Seungcheol.

Ia merasa tidak apa-apa sampai muntah begitu banyak pagi ini. Badannya lemas, dan kepalanya pening. Semalam ia tidur lebih awal, tak sekali pun minum alkohol karena entah sejak kapan bau alkohol membuatnya mual. Ia sudah izin hari itu, dan hingga siang menjelang, keadaannya terasa semakin buruk.

Jeonghan sedang duduk di toilet sambil memikirkan kemungkinan ia salah makan dan maagnya kambuh, tapi yang terjadi setelahnya, ia justru melihat ada beberapa tetes darah menggenang di air klosetnya.

Jeonghan buru-buru memencet tombol flush. Tangan dan kakinya gemetaran. Ia tak sempat mandi, menyambar celananya, memakai jaket dan segera memesan taksi untuk ke rumah sakit.

Ia pikir duduk menunggu namanya dipanggil dokter adalah hal paling mencemaskan selain pikiran tentang sakit apa yang dideritanya. Ternyata ia salah, mendengar penjelasan dokterlah yang minimbulkan kecemasan jangka panjangnya.

Lidah Jeonghan kelu. Pikirannya membeku. Waktu seolah berhenti berputar ketika ia keluar dari ruangan dokter. Bagaimana bisa Jeonghan melupakan akibat dari perbuatannya? Semuanya masuk akal sekarang. Tanpa pengaman, dan entah berapa kali ia membiarkan Seungcheol menyetubuhinya.

Jeonghan kini mengandung benih dari sahabatnya.

"Anda sebaiknya melakukan pemeriksaan ulang ke dokter kandungan untuk lebih jelasnya."

Ucapan dokter itu terngiang-ngiang di kepalanya. Tapi, bukannya melakukan saran dari dokter. Jeonghan malah pergi ke apotik, membeli semua jenis alat tes kehamilan yang ada dan bergegas pulang.

Di klosetnya, ia kembali duduk. Setelah memasukkan semua alat itu ke dalam gelas uji, ia terpekur. Semuanya positif.

Oh, Tuhan, apa yang harus dilakukannya sekarang?

Tangannya masih gemetar ketika ia meraih ponselnya. Ia ingin menangis sekarang, atau mungkin sudah. Tangannya tiba-tiba terasa licin karena keringat. Panggilan teleponnya dijawab hanya dalam sekali dering. Ia meletakkan kembali ponselnya setelah menekan loud speaker. Intonasi kaget dari lawan bicaranya terdengar begitu jelas. Ini pertama kalinya ia menghubungi Seungcheol setelah hari itu.

"Han? It's everything okay? Hey, why you crying?"

Jeonghan menutup mulutnya. Mencoba meredam isakannya.

"Hannie, bicaralah."

"Bisakah kau datang ke apartemenku sekarang?"

"Aku akan sampai dalam lima belas menit."

Panggilan terputus dan Jeonghan hanya bisa menyandarkan punggungnya, kedua tangannya menutup wajah. Dan tangisannya kini lebih keras.

FlowerWhere stories live. Discover now