1. little things

582 46 2
                                    

Membuat masalah di tempat kerja pada pukul delapan malam di hari Jum'at bukanlah rencana Jeonghan hari ini. Tentu saja bukan kalau saudara kembarnya tidak menyeretnya ikut membereskan apa yang sebenarnya bukan perbuatannya.

Dari bilik mejanya, Jeonghan bisa mendengar Jisoo menggeram kesal, mengumpat pada dirinya sendiri.

"For a god sake! Ini Jum'at malam, bos mana yang membiarkan pekerja lembur hingga selarut ini?" ucap Jisoo setengah berteriak. Untung saja karyawan lain sudah pulang dan hanya menyisakan mereka berdua di sana.

Dia mulai lagi, batin Jeonghan.

"Aku harusnya sudah duduk manis di depan televisi, menonton film dan menikmati hangatnya pelukan suamiku."

"Orang gila!" desis Jeonghan, yang meskipun begitu pelan tapi bisa didengar Jisoo dari ruang kerjanya yang tidak tertutup.

"Aku bisa mendengarmu!"

Jeonghan memutar bola mata. "Jika kau lupa, kau juga salah satu bos di sini. Dan kalau perlu kuingatkan lagi, ini kesalahanmu, dan kau menjebakku di sini."

Jeonghan pasti akan mengutuk Jisoo jika pria itu tertawa setelah mendengar ucapannya barusan. Itu harusnya sindiran, dan bukan kelakar yang bisa ditertawakan Jisoo seenak hati. Tapi benar saja, Jisoo tertawa dari balik meja kerjanya.

Oh, Tuhan, kenapa ia bisa terjebak di perusahaan ini?

Lima tahun lalu, setelah memutuskan resign sebagai penulis naskah drama di televisi lokal, Jeonghan bergabung dengan Jisoo dan Jihoon—temannya — yang sedang merintis rumah produksi acara hiburan dan film pendek untuk sebuah platform berbayar. Tidak mudah membuat usaha itu tumbuh pada awalnya, tapi jika dibandingkan dengan karirnya sebagai penulis di televisi sebelumnya, ia lebih berhasil di sini.

Universe factory tumbuh begitu pesat selama tiga tahun belakangan. Meskipun belum beskala besar, itu adalah bukti kerja keras ketiganya juga beberapa karyawan lain. Jeonghan tidak pernah berpikir hidupnya akan lumayan sejahtera saat terjebak bertahun-tahun di pekerjaan sebelumnya. Tapi di sini, ia bahkan diberi hak sejumlah kecil kepemilikan saham karena ikut andil besar dalam pendirian perusahaan.

Bisa dibilang, inilah karir yang ia impikan sejak lama. Tidak sekalipun ia membenci pekerjaan ini kecuali terkadang jika Jisoo berulah seperti malam ini. Ia terjebak dalam kecerobohan saudaranya itu.

Jihoon sedang ada di luar kota untuk project acara yang akan tayang beberapa bulan lagi. Sementara project acara untuk bulan ini Jisoo yang memegangnya. Jisoo sedang disibukkan dengan project mingguan yang memang sedang jadi favorit para remaja, ketika Jeonghan menanyakan naskah yang ia ajukan sejak dua minggu yang lalu sudah sampai mana prosesnya, Jisoo terbelalak dan berkata, "Memangnya kita ada project ini?"

"Jangan bilang kau lupa approve?"

Jisoo memamerkan cengirannya, sementara Jeonghan menepuk dahinya. Pantas saja tidak ada tim yang dibentuk setelah rapat bulan lalu, dan dari seluruh naskah yang dikerjakannya, hanya satu ini yang tidak ada progress sama sekali. Seluruh karyawan sudah pulang dan Jisoo mau tidak mau mengecek ulang jadwal yang sudah dibuatnya hampir berantakan.

Sudah setengah 9 malam ketika Jeonghan berhasil meringkas hasil meeting bulan lalu, talent yang harusnya ikut bekerja sama, dan bagaimana susunan acara yang diharapkan. Senin depan, mereka harusnya bisa melakukan meeting dadakan untuk membahas pengunduran jadwal project ini dan antisipasi untuk mengisi acara pengganti.

Jisoo memamerkan cengirannya saat Jeonghan menyerahkan flashdisk di atas meja kerjanya. "Kau memang malaikat," kata Jisoo.

"Dan kau iblisnya, seimbang sebagai saudara."

"Sialan!" umpat Jisoo sambil tertawa. Jisoo kemudian merapikan beberapa barangnya, bergegas menyusul Jeonghan yang lebih dulu berjalan ke pintu keluar.

"Menurutmu, Jihoon akan menyadari kekacauan yang sudah kubuat?" tanyanya setelah berhasil menyusul Jeonghan di depan lift. Mereka berdiri bersama menunggu benda itu naik.

"Tentu saja akan tahu."

"Kau bercanda!"

"Soo, kita bekerja bersama sudah nyaris 6 tahun. Kau tentunya lebih mengenal Jihoon karena dia temanmu. Demi Tuhan, kau sudah 30 tahun, jadi perbaiki kecerobohanmu meski setengah perusahaan ini adalah milikmu sendiri. Jihoon terlalu pengertian padamu."

Lagi-lagi, saudaranya itu terkekeh. "Kau benar, aku akan berusaha."

"Aku bahkan masih heran mengapa Seokmin juga bisa bertahan memiliki suami sepertimu."

Jisoo baru akan membuka mulut ketika ponsel Jeonghan bergetar, ia sempat melihat nama yang muncul di layar dan terbatuk secara dramatis.

Jeonghan memutar bola matanya, lalu mengangkat telepon itu. Mencoba mengabaikan Jisoo yang ikut menempel di ponselnya, menguping.

"Kau di lobby?"

"Ya, baru sampai. Kau bilang lembur hari ini, jadi setelah futsal aku bergegas ke sini. Kau tidak bawa mobil kan?"

"Aku benci menyetir di hari Jum'at, jadi tidak. Aku akan turun 10 menit lagi."

Telepon dimatikan dan senyum Jisoo semakin lebar. "Jadi, kapan kalian akan jadian?" goda Jisoo.

"Yang benar saja!" jawab Jeonghan, memasuki lift kosong itu diikuti Jisoo yang masih memasang wajah menyebalkan.

"Kau yakin tidak pernah menyukai Seungcheol? Oh, ralat, kau yakin Seungcheol tidak pernah menyukaimu bahkan ketika kalian selalu menempel seperti ini selama hampir 15 tahun?"

Jeonghan malas menanggapi, bukan sekali ini saja orang mempertanyakan hubungannya dengan Seungcheol. Mereka berteman sejak sekolah menengah atas, sempat berpisah saat kuliah karena diterima di universitas yang berbeda namun tetap berhubungan baik. Orang-orang di sekitarnya terbiasa dengan fakta bahwa di mana ada Jeonghan, di sana selalu ada Seungcheol. Tapi tentang persahabatan keduanya, mereka semua sangsi.

Bagaimana mungkin dua orang yang selalu bersama tak pernah sekali pun memiliki perasaan satu sama lain?

Pertanyaan itu sebenarnya juga sering menyambangi pikiran Jeonghan. Tapi ia rasa memang tidak, dan tidak ada yang perlu ditanyakan dari hubungan mereka sebab mereka baik-baik saja.

Seungcheol sedang sibuk dengan ponselnya ketika pintu lift terbuka. Ia kemudian menyadari dua orang yang sedang berjalan menghampirinya. Dari tempat duduknya, ia bisa melihat Jeonghan sedang memelototi Jisoo yang tersenyum jahil di sebelahnya.

"Ada apa?" Adalah kalimat yang dipilih Seungcheol sebagai sapaan. Ia ingin tahu candaan apa yang Jisoo ucapkan hingga bisa membuat Jeonghan begitu kesal. Meski 90% ia bisa menebaknya.

"Jadi kapan kau akan mengajak Jeonghan berken— " Jisoo tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena Jeonghan lebih dulu menginjak kakinya.

"Tutup mulutmu!"

Sementara itu Seungcheol hanya tertawa. Terbiasa melihat tingkah dua saudara ini selama bertahun-tahun. "Jadi, Soo, kau mau bergabung? Aku bisa mengantarkanmu pulang terlebih dahulu."

Jisoo yang sedang mengelus kakinya yang sakit menggeleng. "Tak perlu, aku bawa mobil. Selamat bersenang-senang!" ucap Jisoo sambil berlalu sebelum Jeonghan memukulnya.

Begitu Jisoo menghilang dari balik pintu depan, Seungcheol meraih pergelangan tangan Jeonghan.

"Aku lapar. Drive thru dekat apartemenmu?"

Jeonghan mengangguk sekenanya. Sibuk memperhatikan tangannya dalam genggaman Seungcheol.

FlowerDove le storie prendono vita. Scoprilo ora