21. a nightmare

182 22 1
                                    


cw// toxic relationship, mention of abortion

***

Jeonghan masih gemetar dalam pelukannya. Air matanya kering, tapi tangannya mengerat di kemeja Seungcheol.

Seungcheol tidak mendapatkan ide apa pun tentang apa yang terjadi. Ia meninggalkan meja untuk mengangkat telepon di saat bersamaan Jeonghan bilang ingin ke toilet. Sekembalinya ia dari luar, ia melompat dengan tergesa ke dalam. Meraih tubuh Jeonghan yang sedang berjalan mundur, nyaris menabrak pelayan yang sedang membawa makanan.

Tubuh Jeonghan berkeringat, dan satu air mata lolos dari matanya. "Aku mau pulang. Kita pulang," ucapnya tercekat. Seolah ada batu yang mengganjal di tenggorokannya.

Seungcheol tidak bertanya mengapa. Ia bahkan juga belum sempat berpamitan ataupun mengirim pesan pada Mingyu untuk bertanya ada apa sejak sampai di apartemen tadi. Ia hanya berbaring menyamping, dengan Jeonghan dalam pelukannya yang tak berhenti gemetaran.

Jeonghan seperti berada di tempat lain. Begitu jauh hingga tidak bisa digapainya. Seungcheol berulangkali mengusap punggungnya, membelai rambut, hingga dua-tiga kali mencium pelipis Jeonghan. Tapi Jeonghan tak juga menggubris, terjebak dalam ketakutan dan kecemasan yang Seungcheol tak pernah pahami.

Sedikit kecurigaan Seungcheol menitik pada satu hal. Tapi semua itu terlihat mustahil. Bagaimana? Dengan cara apa jika hal itu kembali mengusik Jeonghan?

Seungcheol tersentak saat mendapati Jeonghan meringis sembari memegang perutnya. Ia bangkit berdiri dan berujar, "Kita ke rumah sakit."

Dan untuk pertama kalinya, Jeonghan akhirnya menatap matanya. Kembali ke realitasnya.

"Cheol," katanya terbata. Pria itu menelan ludah, masih meremas baju di atas perutnya. "Aku pernah membunuh seseorang," lanjutnya tiba-tiba.

Air mata keringnya kini mencipta jejak di pipi. Jeonghan menangis tanpa suara, tanpa isak, hanya bekas air mata dan wajah merah menahan sesak yang tak terkira.

Jeonghan benci dikasihani, dan itulah yang menyelamatkan ia setelah bertahun-tahun. Ia memeram luka itu begitu keras hingga tak ada setitik pun yang akan menyeruak dan mengungkapkan diri.

Dan ketika ia berpikir telah datang hari di mana ia diberi kesempatan untuk menyelamatkan kehidupan bayi lain. Luka lama itu membuka kembali, melesat seperti ombak dan menarik paksa segala hal yang sudah ia pendam sedemikan rupa.

Jika ini memang jalan penebusan dosanya, mengapa semua terasa begitu mencekiknya?

Jeonghan ingat ia menangis di pelukan Seungcheol setelah hari itu. Jeonghan ingat ia meminta Seungcheol untuk tidak meninggalkannya dan pria itu melakukannya hingga saat ini—hingga semua kemelut yang terjadi. Jeonghan ingat ia tersenyum pertama kali, merasa hidup setelah semua peristiwa itu karena Seungcheol duduk dengannya di depan tenda—awal di mana rutinitas camping musim gugur pertama mereka lakukan—membuatnya berpikir betapa banyak hal yang seharusnya ia syukuri, yang masih bisa ia tebus suatu hari nanti.

Jadi mungkin tak apa. Mungkin tak apa jika Jeonghan menceritakan semuanya. Semua gelap yang selama ini membelenggunya. Gelap yang juga ia gunakan sebagai tameng untuk menjauhkan perasaan Seungcheol darinya.

"Aku pernah membunuh orang. Aku pernah menghilangkan nyawa seseorang, Cheol."

Yang semua orang tahu, Jeonghan dicampakkan karena pacarnya selingkuh. Kebohongan yang diciptakan Jeonghan atas sakit dan tangis-tangisnya. Jeonghan mungkin kehilangan orang yang dipikirnya mencintainya, tapi Jeonghan lebih kehilangan satu hal lain. Satu nyawa lain yang tak bisa ia selamatkan.

FlowerWhere stories live. Discover now