9. unbreakable bond

267 37 1
                                    

Kepalanya pusing, dan ia sudah terduduk di depan kloset selama setengah jam, memuntahkan isi perut yang nyaris sudah tidak ada, tapi masih meninggalkan mual yang tak kunjung selesai.

Jeonghan memutuskan bangun semenit kemudian, bertumpu pada pinggiran kloset untuk memencet flush. Dari sekian banyak morning sick yang ia rasakan, ia merasa ini yang paling parah. Padahal hari ini ia harus mengunjungi lokasi syuting yang berada di pinggiran kota, tapi kondisinya malah seperti ini.

Ia bisa saja minta izin untuk istirahat, tapi melewatkan kunjungan hari ini seperti menghianati hasil kerja kerasnya.

Jeonghan menyentuh perutnya. Mengelusnya pelan. "Baby, jangan rewel lagi hari ini, ya?"

Saat selesai bersiap, ia melirik jam, masih pukul 8. Memikirkan jarak lokasi syuting, akan terlambat jika ia harus sarapan terlebih dahulu. Lagipula, rasa mual di kerongkongannya masih belum sepenuhnya hilang. Jadi, ia hanya mengambil crackers dari lemari dapur dan pergi keluar.

Benar saja, lalu lintas padat merayap. Mobilnya hanya bisa bergerak sebanyak dua kali selama setengah jam, menunggu lampu merah dua ratus meter di depannya. Terlalu panjang. Ia sempat melirik restoran cepat saji di samping kirinya, mungkin ia bisa membeli sandwich untuk mengganjal perutnya yang mulai terasa lapar—crackers yang dibawanya tadi tidak tersentuh, ia memikirkan mulutnya akan kering lalu banyak minum di pagi hari. Jujur saja, ia benci jika harus bolak-balik ke toilet karena menahan kemih. Bahkan sebelum hamil pun sudah sering begitu apalagi sekarang. Ia melirik restoran sekali lagi, namun berpikir kembali, karena mungkin saat ia sampai di lokasi nanti tidak ada waktu lagi untuk sarapan.

Jeonghan mendengar ponselnya di kursi penumpang bergetar, panjang dan lama. Nama Jisoo muncul di layar, ia buru-buru mengangkatnya.

"Han, kau baik-baik saja?" tanya Jisoo khawatir. Jeonghan pagi tadi mengirim pesan bahwa ia tak berhenti muntah. Jisoo sebenarnya ingin mampir, tapi ia sudah ada janji dengan Jihoon pagi-pagi sebelum pergi ke lokasi.

"Aku tak apa, maaf ini masih macet. Kalian masih di kantor?"

"Ya, menunggumu."

"Kurasa tak perlu. Kita bertemu di lokasi saja."

"Kau yakin bisa menyetir sampai lokasi? Jangan bercanda."

"Kubilang aku baik-baik saja. Kau berangkat saja lebih dulu dengan yang lain. Sudah aku matikan, mobilku sudah bisa bergerak sekarang." Jeonghan mematikan ponselnya tanpa menunggu Jisoo membantah. Ia berbohong, mobilnya belum bisa bergerak, dan entah kenapa perutnya terasa nyeri menunggu kemacetan ini terurai. Bukan, bukan karena lapar.

Jeonghan mengabaikan rasa sakit itu saat mobilnya berhasil melewati lampu merah dan langsung meluncur ke lokasi. Ada beberapa pesan dari Jisoo tapi ia mengabaikannya, tidak sempat menepi hanya untuk menelepon balik atau membaca pesannya. Toh mereka akan bertemu nanti di lokasi.

Lokasi yang ditujunya hari ini adalah sebuah homestay milik pacar Jihoon. Karena letaknya yang sedikit lebih rendah dari jalan raya, Jeonghan harus berjalan sekitar lima puluh meter dari tempat parkir. Pintu masuk ke homestay itu hanyalah sebuah tangga yang tak lebih dari 10 undakan, langsung dihadapkan dengan halaman hijau. Sepetak bunga daisy tampak dirawat dengan baik di depan bangunannya.

Di atas undakan pertama, Jeonghan bisa melihat Jisoo, satu penulis lain, manager lokasi, salah satu produser dan si pemilik homestay sedang berbincang di teras depan. Tidak banyak yang hadir karena hari ini memang hanya kunjungan pertama. Mengecek beberapa tempat yang sekiranya cocok dengan yang mereka butuhkan.

Jeonghan bisa melihat Jisoo yang sedang berbincang menyadari kehadirannya dan melambai. Jeonghan membalas dengan senyum, tapi saat kakinya menginjak undakan kedua dari atas, ia mengernyit. Pandangannya tiba-tiba berkabut. Matanya melihat ke bawah dan semua seolah berputar. Tubuhnya terasa ringan saat undakan tangga menyambutnya. Membuat ia pada akhirnya terhentak pada tangga batu itu, menggelinding ke bawah. Ia bisa mendengar seseorang berteriak, namun matanya enggan terbuka. Sesuatu yang gelap terasa menariknya lebih jauh, membuatnya lupa akan nyeri tubuhnya yang terantuk benda keras.

FlowerWhere stories live. Discover now