Our Apartment

By TaniaMs

414K 23.8K 787

NICOLE selalu menganggap JUSTIN adalah sahabatnya, karena mereka sudah saling mengenal sejak kecil. Namun, Ju... More

Our Apartment
Our Apartment [1]
Our Apartment [2]
Our Apartment [3]
Our Apartment [4]
Our Apartment [5]
Our Apartment [6]
Our Apartment [7]
Our Apartment [8]
Our Apartment [9]
Our Apartment [10]
Our Apartment [11]
Our Apartment [12]
Our Apartment [13]
Our Apartment [14]
Our Apartment [15]
Our Apartment [16]
Our Apartment [17]
Our Apartment [18]
Our Apartment [19]
Our Apartment [20]
Our Apartment [21]
Our Apartment [22]
Our Apartment [23]
Our Apartment [24]
Our Apartment [25]
Our Apartment [26]
Our Apartment [27]
Our Apartment [28]
Our Apartment [30]
Our Apartment [31]
OUR APARTMENT AFTER STORY

Our Apartment [29]

11.1K 741 57
By TaniaMs

Selamat malam dan Selamat berbuka puasa bagi yang menjalankan!

Maaf beribu maaf karena sudah 25 hari nyaris sebulan baru lanjut lagi...

Well, beberapa hari yang lalu memang sempat disibukin sama tugas kuliah, sisanya adalah MALAS. Pake huruf kapital. Entah kenapa aku lagi moody banget. Malas ngetiknya parah. jangankan ngetik, buat hidupin laptop aja susahnya minta ampun. Beberapa halaman udah aku tulis dari tanggal 15, tapi berhenti dan baru lanjut lagi tadi siang. niatnya mau ngepost sebelum buka, eh malah molor.

HAPPY READING!

AWAS TYPO!

oOoOoOoOo

Nicole berjalan malas di samping Miley. Setengah jam yang lalu, dia selesai mengajar dan sahabatnya itu langsung menyeretnya ke Coffee, sebuah tempat yang baru di buka beberapa hari yang lalu. Tempat itu nyaman, interiornya dibuat seperti rumah pedesaan Inggris yang hangat. Meskipun begitu, hal tersebut tidak mengubah moodnya yang sudah memburuk tiga hari belakangan, terhitung dari dia mendapati Lauren tanpa busana di atas ranjang Justin. Hah! Bahkan bajingan itu belum mencoba menghubunginya sama sekali.

"Bajingan?" Miley mengerutkan hidungnya.

Nicole tersadar bahwa dia baru saja menyuarakan pikirannya keras-keras.

Tanpa menjawab kebingungan Miley, dia segera duduk di dekat jendela lebar yang mengarah pada jalanan di depan.

"Maksudmu Justin?" Miley bertanya lagi setelah dia duduk di hadapan Nicole.

Nicole memutar bola matanya. "Apa masuk akal kalau aku mengharapkan telepon dari Lauren?"

Miley berdecak. "Ya ampun, Nic. Simpanlah taringmu sebentar," sungutnya. "Yeah, meskipun lumayan ada perubahan mengingat kau sudah tidak meraung-raung lagi. Bagus kalau kau mempertahankan emosimu seperti ini. Bagus. Pertahankan!"

Nicole mendelik namun tidak berkomentar. Dia sudah cukup lelah mengatur anak didiknya, dan tidak perlu di tambah dengan perdebatan tidak penting dengan Miley. Lagipula, kenapa Miley selalu mengekorinya belakangan ini? "Seharusnya kau di apartemen, menunggu suamimu pulang."

Miley mengibaskan tangan. "Dia lembur. Dia sudah mengabariku tadi," jawabnya. "Well, aku akan memesan. Kau mau apa?"

"Terserah," balasnya tak acuh.

"Aku akan pesankan Justin untukmu."

"Ha ha. Lucu Miley." Nicole tertawa hambar.

Nicole menopang dagunya dengan tangan kanan, dan memperhatikan keramaian di luar sana. Seharusnya Justin sudah menghubunginya. Seperti yang dilakukan Jean ketika dia mendapati laki-laki itu tidur dengan asistennya. Jean menghubunginya tanpa henti, berharap bisa memberikan penjelasan padanya. Tapi apa yang dilakukan Justin? Laki-laki itu bilang mencintainya, bahkan mengajaknya menikah, tapi dia bahkan tidak melakukan apa-apa. Setidaknya ucapkan maaf, meskipun itu tidak akan mengubah apapun.

Apa Justin sama brengseknya dengan laki-laki lain?

Tentu saja, jawab pikirannya. Dia tidak akan tidur dengan wanita lain sementara kalian berdua mempersiapkan pernikahan, kalau dia pria baik-baik.

Bisa saja Justin di jebak, balas hatinya. Justin mencintaimu. Dia tidak akan tidur begitu saja dengan Lauren.

Di jebak? Suara di pikirannya terdengar sinis. Kalau begitu, seharusnya Justin sudah memberikan penjelasan. Bukannya menghilang. Bukankah begitu?

Nicole mengacak rambutnya putus asa. Dia mendongak begitu menyadari ada yang duduk di hadapanya. Dia baru saja akan mngomel pada Miley karena sahabatnya itu lama sekali, ketika melihat sosok di hadapannya bukan Miley sama sekali. Melainkan Lauren.

Nicole memutar bola matanya, dan menatap Lauren. "Kau ini stalker-ku atau bagaimana?" tanyanya sinis. "Kenapa kau selalu berada di tempat yang sama denganku?"

"Kau tampak menyedihkan," balas Lauren. "Apa kabar perasaanmu?"

"Wah, kau orang yang perhatian ternyata." Nicole menyeringai. "Tapi sayang sekali, aku tetap membencimu."

Lauren mendengus keras.

"Hati-hati dengan dengusanmu, Nona." Nicole menatap kukunya. Seolah lebih tertarik dengan warna kukunya saat itu. "Kau terdengar seperti kuda."

Lauren menatap Nicole tajam. Berharap bisa mengunyah Nicole dengan tatapannya itu.

Nicole lebih mengabaikan Lauren. Dia bukan wanita yang menyedihkan. Setidaknya bukan di depan Lauren. Dia tidak akan membuat harga dirinya semakin jatuh jika Lauren bisa melihat kesedihannya meskipun hanya sedetik.

"Aku berharap hubunganmu dan Justin baik-baik saja," ucap Lauren manis. "Itu hanya... well, bagaimana aku harus menyebutnya? One night stand? Hanya satu malam. Kami hanya bersenang-senang. Aku bahkan tidak bermaksud merebut Justin darimu."

Mata Nicole berkilat tajam. Benarkah? Lauren pasti mengenal dirinya dengan baik. Bahwa dia tidak akan memaafkan pengkhianatan. Nicole berusaha keras agar tangannya tidak melayang dan menamar pipi Lauren. Akhirnya, dia mengambil tisu, dan membuat kedua tangannya sibuk dengan benda itu. "Terima kasih sekali lagi." Nicole berdehem. Berusaha keras agar suaranya terdengar santai. "Kau sangat baik padaku. Menanyakan kabar perasaanku, dan menegaskan kalau kau bahkan tidak berniat merebut Justin dariku." Nicole mengangguk-anggukkan kepalanya. "Dan seperti harapanmu, hubunganku dan Justin baik-baik saja. Lagi-lagi seperti yang kau katakan, itu hanya satu malam. Hanya bersenang-senang. Lalu kenapa aku harus memikirkannya? Well, mungkin aku terkejut pada awalnya. Tingkahku mungkin memalukan." Nicole tersenyum tipis. "Tapi, semuanya sudah jelas, dan sekarang kau repot-repot mendatangiku, menegaskan apa yang terjadi." Nicole memajukan wajahnya, sehingga jaraknya dan Lauren menipis. "Apa kau pikir dirimu begitu penting? Lauren, kau tidak sepenting itu sampai-sampai bisa membuat pernikahanku dan Justin gagal. Apa saja yang kau lakukan dengan Justin malam itu, tidak akan mengubah apapun."

Mereka saling tatap selama beberapa saat, sebelum akhirnya Miley datang dengan hebohnya, membuat Lauren terkesiap. Tanpa berkata apa-apa, Lauren segera bangkit dari duduknya dan keluar dari cafe itu.

"Siapa dia?" tanya Miley sambil menyerahkan Cappuccino Ice dan sepotong cheese cake yang di letakaan di atas piring kecil pada Nicole.

"Lauren," jawab Nicole pendek.

"Siapa?" tanya Miley tak percaya. Dan dia semakin melongo ketika melihat Nicole membuang sedotan yang ada pada gelas cappuccino nya dan langsung meneguk cappuccino itu dari bibir gelas. Hanya dalam hitungan detik, setengah gelas sudah tandas. "Nic?"

Nicole meletakkan gelas cappuccinonya di meja-nyaris membanting sebenarnya-membuat beberapa orang di sekitar menoleh. Alih-alih menggunakan garpu yang sudah di sediakan, Nicole mengambil potongan cheese cake itu dengan tangannya dan langsung menggigitnya dengan ukuran besar.

Miley berusaha menebalkan muka karena tingkah Nicole. Beberapa orang tidak repot-repot menyembunyikan keterkejutan mereka melihat kelakuan sahabatnya itu. Mungkin sebaiknya setelah ini dia membawa Nicole ke psikiater.

"Brengsek," maki Nicole setelah dia menelan cheese cake dengan bantuan cappuccinonya. "Miley. Pecahkan gelas ini dan gunakan pecahannya untuk menggorok leherku!"

Miley bergidik ngeri. Nicole semakin tidak waras.

"Harusnya tadi aku menampar wanita jalang itu! Kenapa aku bodoh sekali?" cetus Nicole tajam, dan beberapa orang kembali menatap Nicole. Dia menyambar gelas cappuccinonya, dan mendapati minumannya sudah habis, hanya menyisakan beberapa es kristal. "Cappuccino sialan!"

Miley berdehem. Memberanikan diri untuk berkata pada Nicole, "Bagaimana kalau kita pulang?"

oOoOoOoOo

"Dasar jalang!"

Nicole kembali meninju samsak di hadapannya. Samsak itu milik Greyson, di gantung di beranda belakang rumah. Dia jarang sekali menggunakan benda itu, hanya pada saat tertentu. Tidak seperti Justin yang akan menyetel lagu keras-keras dan bertingkah layaknya vokalis band rock terkenal saat sedang kesal, Nicole lebih memilih meninju samsak itu untuk pelampiasan emosinya. Itu menyenangkan. Seolah-olah dia sedang meninju wajah orang-orang yang membuatnya kesal.

"Hanya bersenang-senang, katamu?" Nicole kembali meninju samsak itu dengan keras. Meskipun sudah membalut tangannya dengan kain, tetap saja tangannya terasa sakit. Tapi dia tidak peduli. Dia harus melakukan ini sampai emosinya mereda, meskipun nantinya dia akan terkapar kelelahan. "Bagaimana mungkin aku baik-baik saja setelah kau meniduri calon suamiku?! Dan sekarang, laki-laki yang mengaku mencintaiku itu hilang entah kemana! Benar-benar hidup yang sempurna!"

Bugh! Bugh! Bugh!

"Dasar bajingan brengsek sialan!!" Nicole semakin bersemangat memukuli samsak itu. Nicole mengangkat kakinya, dan menendang samsak hingga benda itu terdorong ke depan. Tepat saat dia berbalik, tubuhnya dihantam keras oleh samsak yang berayun-akibat tendangannya tadi-membuatnya langsung tersungkur di lantai.

"Astaga, Nicole!" Lisa berseru. "Kau baik-baik saja?"

Nicole mendesah. Menyelipkan poninya yang terjuntai ke belakang telinga. "Tidak," jawabnya. Dia bangkit dan duduk di sofa putih di dekat pintu. Setelah meluruskan kakinya di atas meja, dia memejamkan mata, berusaha menormalkan deru nafasnya yang tidak beraturan. Nicole bahkan tidak berusaha mengelak saat dia merasakan Lisa menyeka keringat yang membasahi wajah hingga tubuhnya. "Mungkin sebaiknya aku menelepon Pattie."

Lisa menghentikan kegiatannya, dan menatap Nicole meskipun putrinya itu tetap memejamkan mata. "Kenapa?"

"Aku tidak bisa menikah dengan Justin." Bahkan saat memejamkan matapun Nicole bisa merasakan matanya memanas. Kenapa rasanya selalu sakit setiap dia mengingat kejadian itu?

"Setelah kalian berdua mempersiapkan semuanya sejauh ini?" tanya Lisa tak percaya. "Tiga minggu dari tanggal yang sudah kalian tetapkan? Apa menurutmu pernikahan itu main-main, Nicole?"

"Mungkin sebaiknya pertanyaan itu kau ajukan pada Justin," balas Nicole dingin.

Lisa menahan tubuh Nicole yang sudah hendak bangkit. "Apa dia melakukan kesalahan?" tanya Lisa. "Aku bukannya tidak tahu kalau tiga hari belakangan ini matamu selalu sembab seperti orang yang menangis semalaman."

Nicole kembali menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa, menatap taman belakang rumahnya dengan tatapan kosong. "Bukan masalah besar." Tanpa sadar dia menyeringai. "Aku hanya menemukannya tidur dengan wanita lain di apartemennya. Di tempat tidur yang... seharusnya hanya kami berdua yang pernah tidur di ranjang itu!"

Lisa hanya diam, tidak memberi komentar. Sebenarnya dia sudah tahu penyebab wajah murung Nicole. Greyson menceritakan padanya dengan sumpah serapah yang tertuju pada Justin. Dia bukannya ingin membuat Nicole kembali bersedih karena harus mengingat hal itu, hanya berharap bisa mengurangi beban putrinya itu. Mungkin juga bisa membuka pikiran Nicole.

"Kami memang tidak pernah membicarakannya, tapi harusnya Justin mengerti bahwa aku tidak suka kalau ada wanita lain menginjak apartemen itu, apalagi sampai tidur di ranjangnya!" Nicole menarik napas, "Itu memang apartemen yang dia beli dengan uangnya sendiri, dan dia berhak membawa siapapun kesana. Tapi aku calon istrinya, bukan? Kami akan menikah beberapa minggu lagi, dan dia membawa wanita lain ke apartemen itu dan menidurinya di ranjang yang selama ini aku tiduri! Apa menurutmu aku masih bisa menikah dengan laki-laki seperti dia, Mom?"

"Apa kalian sudah saling bicara?"

"Memangnya apa lagi yang harus kami bicarakan? Semuanya sudah jelas. Aku melihatnya dengan mataku sendiri," ketus Nicole. "Aku tidak mungkin salah lihat! Mataku baik-baik saja."

Lisa mendesah. "Kau mungkin tidak salah lihat karena matamu baik-baik saja."

Nicole mengangguk setuju.

"Tapi, pernahkah kau berpikir bahwa kenyataan yang sebenarnya, tidak selalu seperti yang kau lihat?" Lisa menatap Nicole lekat. "Kau menemukan Justin dan wanita lain di atas ranjang, tanpa pakaian, dan kau berpikir bahwa mereka telah berhubungan seks malam sebelumnya. Benar?"

Nicole kembali mengangguk.

"Lalu, bagaimana kalau kenyataannya mereka tidak melakukan apapun?" Ketika Nicole menatapnya dengan kening berkerut, Lisa meneruskan. "Bagaimana kalau Justin di jebak oleh wanita itu, membuat seolah-olah mereka baru saja melewati malam yang panjang bersama-sama?"

Nicole mengerutkan keningnya semakin dalam. Seolah Lisa baru saja berbicara dengan bahasa asing yang tidak di mengertinya.

"Justin mencintaimu. Sangat. Semua orang bisa melihatnya. Jadi tidak mungkin dia tiba-tiba tidur dengan wanita lain sementara pernikahan kalian tinggal hitungan minggu. Itu bukan gayanya sama sekali." Lisa meletakkan handuk yang dia gunakan untuk menyeka keringat Nicole di atas meja. "Kalau Justin berhenti mencintaimu-dan itu tidak akan pernah terjadi-dia akan berterus terang. Bukannya meniduri wanita lain di apartemennya sendiri."

Kata-kata Lisa mulai meresap ke dalam pikirannya. Apa yang dikatakan Ibunya cukup masuk akal. Lauren yang ternyata teman kuliah Justin tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Lalu wanita itu dengan terang-terangan membencinya, dan terkuaklah penyebabnya ketika Lauren mengatakan tentang masa lalu mereka. Ketika dia berpacaran dengan Christ yang ternyata sudah berpacaran dengan Lauren sebelumnya.

Tubuh Nicole menegang. Lisa benar. Kenapa dia tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya. Lauren pasti sengaja menjebak Justin, agar pernikahannya dan Justin berantakan dan dia patah hati. Well, dia memang patah hati, tapi syukurlah dia belum membuka mulut pada siapapun tentang keputusannya untuk membatalkan pernikahan. Beruntung otaknya berjalan dengan baik sore tadi saat bertemu dengan Luaren di Coffee. Alih-alih membentak, menampar atau bersiteru dengan Lauren, dia malah bersikap santai seolah-olah kejadian tempo hari bukan masalah.

Nicole menyeringai. Lauren pasti kecewa karena yang dia inginkan tidak berjalan sesuai rencana. Tapi, "Bagaimana kalau mereka benar-benar melakukannya?" tanya Nicole sambil menatap Lisa dengan sedih. Kesenangannya barusan lenyap entah kemana. "Apa yang harus kulakukan? Aku pasti tidak bisa menatap Justin seperti biasa, sebelum kekacauan ini terjadi."

"Kau bisa. Karena," Lisa mengelus puncak kepala Nicole. "kalau mereka benar-benar melakukannya, apa lagi yang bisa kau lakukan selain memberi kesempatan kedua pada Justin?"

Mata Nicole langsung menajam. "Kesempatan kedua?" Tanpa sadar dia mendengus. "Mom, aku punya mantan kekasih yang mungkin sama banyaknya dengan usiaku sekarang. Aku bahkan tidak pernah memberi kesempatan kedua pada salah satu dari semua. Bahkan ketika Jean si artis itu nyaris bersujud di kakiku, aku tetap menolaknya. Lalu kenapa aku harus memberi hak istimewa pada Justin? Karena kami akan menikah sebentar lagi? Kau tahu itu omong kosong!"

Lisa-nyaris-tersentak saat mendengar Nicole menyumpah. Well, dia tahu mulut gadisnya itu sangat berbisa, tapi Nicole selalu berusaha untuk mengontrol perkataan di hadapannya. "Kau masih mencintai Justin, Nic?"

Nicole segera bangkit dari duduknya, dan menatap Lisa kesal. "Apa menurutmu aku sebegitu bodohnya, Mom? Kenapa aku masih mencintai laki-laki yang sudah menyakitiku?"

"Sayang, kau tidak tampak menyedihkan hanya karena masih mencintai Justin," ujar Lisa lembut. "Ketika pikiran dan hatimu berseberangan, kau tahu apa yang harus kau lakukan? Dengarkan kata hatimu. Because your heart never lies." Saat Nicole tidak membantah kata-katanya, Lisa kembali melanjutkan, "Kau tahu satu hal? Yang terbaik hanya akan datang satu kali, dan kau harus menerima baik dan buruknya hal itu. Jadi jangan melepasnya untuk alasan apapun. Seperti balon yang terlepas dari genggamanmu, kau tidak akan pernah menggapainya lagi begitu sudah terbang ke angkasa."

oOoOoOoOo

Nicole mencoba bertahan dengan teori yang di kemukakan Lisa padanya kemarin. Bahwa Justin tidak tahu apa-apa dan di jebak oleh Lauren seolah-olah mereka telah bercinta. Tapi semua keyakinannya itu langsung menguap begitu melihat Justin berdiri disamping mobilnya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.

Bukan kemunculan Justin yang membuat amarahnya kembali berkobar. Melainkan penampilan laki-laki itu saat muncul di hadapannya. Wajah Justin terlihat cerah. Tidak tampak kurang tidur sama sekali. Bahkan tampaknya bercukur dengan rajin, karena wajahnya benar-benar terlihat bersih. Sangat bertolak belakang dengan dirinya. Yang itu berarti hanya dia sendiri yang menderita selama seminggu ini. Bahkan dia sudah kehilangan dua kilo berat tubuhnya. Benar-benar menjengkelkan!

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Nicole dingin.

"Kita perlu bicara," balas Justin tenang.

"Setelah seminggu berlalu dan kau baru merasa kita perlu bicara hari ini?" Nicole menatap Justin tajam. "Persetan denganmu!"

"Aku punya alasan karena harus menghilang selama seminggu ini," ujar Justin. Tidak gentar melihat tatapan yang diberikan Nicole sama sekali. "Aku pikir bukan waktu yang tepat berbicara denganmu saat kejadian itu, begitupun beberapa hari berikutnya karena kau pasti emosi dan tidak akan mendengarkan penjelasanku sama sekali. Lagipula, kau juga tidak akan percaya begitu saja pembelaanku tanpa ada bukti."

Nicole tersenyum sinis. "Wah, kau benar-benar memahamiku. Sayang sekali, aku tidak peduli! Bukti apa lagi yang harus kulihat? Keberadaan kau dan Lauren sedang telanjang di atas tempat tidur sudah cukup bagiku."

"Apa kau percaya yang kau lihat begitu saja?"

"Kenapa tidak?"

"Kalau begitu, kau bodoh. Kau melihat apa yang seharusnya diperlihatkan padamu. Padahal kenyataannya tidak seperti itu."

Nicole memikirkan kalimat makian yang akan dialontarkan untuk kalimat Justin barusan, tapi dia mengurungkan niat ketika banyaknya orang yang berlalu lalang disekitar mereka. Terutama siswa-siswi sekolah dasar yang baru saja berhamburan dari kelasnya masing-masing. Akhirnya, Nicole hanya berkata, "Minggir."

"Tidak sebelum kau setuju untuk berbicara denganku."

"Minggir," ulang Nicole dengan suara naik satu oktaf.

"Tidak."

"Baiklah," putus Nicole.

Nicole maju beberapa langkah hingga jaraknya dengan Justin menipis. Tanpa mengalihkan pandangan dari mata Justin sama sekali, Nicole meletakkan tangannya di pundak Justin. Sebelum laki-laki itu sempat menebak apa yang akan dia lakukan, dia sudah mengangkat lututnya dan menghantamkannya pada selangkangan Justin.

"Damn!" geram Justin sambil tersungkur di tanah dengan posisi tangan berada di tengah tengah tubuhnya. "Kau-" Justin tidak dapat melanjutkan ucapannya karena bagian tubuhnya yang terkena hantaman Nicole berdenyut hebat.

"Aku sudah bilang minggir," ujar Nicole dengan santainya.

Justin masih berlutut di dekat mobil Nicole ketika gadis itu masuk ke mobil dan duduk di belakang kemudi. Dia buru-buru bangkit, mengabaikan nyeri di tubuhnya. "Tunggu. Tunggu-sebentar." Justin kehabisan napas. Nicole tidak pernah menyerang bagian tubuhnya yang itu sebelumnya. Sambil mengulurkan flashdisk, Justin berkata, "Ini. Kau bisa lihat sendiri. Lalu kau bisa putuskan percaya padaku atau tidak sama sekali."

"Kenapa harus?"

Justin nyaris membenturkan kepalanya sendiri pada pintu mobil Nicole karena gadis itu sangat keras kepala. "Karena aku butuh kau percaya padaku."

Nicole menatap Justin selama beberapa detik. Sedikit tersentuh karena Justin mengucapkan kalimat itu dengan penuh penekanan. Dia nyaris saja keluar dari mobil, lalu menghambur ke dalam pelukan Justin dan mengatakan betapa dia sangat merindukan laki-laki itu. Pada detik-detik terakhir, akal sehatnya mengambil alih. Tanpa berkata apa-apa, Nicole menginjak gas kuat-kuat.

Begitu tiba dirumah 30 menit kemudian, Nicole langsung menuju teras belakang. Dia meletakkan tas nya dengan serampangan di atas meja, dan tanpa membalut tangannya sama sekali, dia mulai meninju samsak. Lima belas menit selanjutnya, Nicole sudah terkapar di lantai dengan buku-buku tangan yang kemerahan, kemungkinan terburuk besok pagi pasti akan berubah menjadi memar.

"Ya ampun, Nicole. Seharusnya kau membalut tanganmu dulu sebelum berkelahi dengan samsak itu."

Nicole hanya terkekeh mendengar kepanikan Lisa karena melihat kondisi tangannya. Dia mengibaskan rambutnya ke belakang dan menyeka keringat di pelipisnya dengan lengan blazernya membuat Lisa menarik napas kaget.

"Apa yang terjadi?" tanya Lisa sambil menuntun Nicole menuju sofa putih.

"Aku bertemu dengan Justin sebelum pulang," ujar Nicole sedikit berteriak karena Lisa menghilang ke dalam rumah. Tampaknya mengambil obat-obatan untuk mengobati tangannya.

"Lalu?" tanya Lisa setelah berada di samping Nicole. Dan mulai mengobati tangan putrinya itu.

"Hanya itu saja," ujar Nicole. Tidak berniat menceritakan yang sebenarnya pada Lisa. Setelah Lisa selesai mengobati tangannya, Nicole berkata, "Bisa tinggalkan aku sendiri?"

Lisa menatap Nicole tak yakin namun tetap menuruti permintaannya. Tanpa berkata-kata, dia meninggalkan Nicole yang mulai menyalakan laptopnya.

Setelah laptopnya menyala, Nicole mulai mengakses flashdisk yang di berikan Justin. Hanya ada satu video. Dengan perasaan tidak enak, Nicole menekan tombol play dan video itupun mulai berputar.

Nicole tidak yakin dirinya merasa terkejut atau malah menerima begitu saja sata Lauren muncul di layar laptopnya. Wanita itu tampak memapah Justin sebelum akhirnya membaringkan laki-laki itu di atas tempat tidur. Saat itulah Nicole sadar itu adalah apartemen Justin dan tampaknya Lauren sengaja merekam kejadian tersebut dengan handycam atau kamera-dia tidak peduli-. Dari posisinya benda itu di letakkan di hadapan tempat tidur sehingga memberi akses penuh pada tempat tidur itu sendiri.

Lauren tidak menatap kamera sama sekali, tapi dia berkata, "Aku akan membuatmu menyesal, Nic. Aku akan membuat hidupmu berantakan dengan mengacaukan pernikahanmu. Kau pikir aku tidak tahu kalau selama ini hubunganmu selalu berakhir karena kekasihmu berselingkuh? Hah!" Lauren mulai naik ke tempat tidur. "Begitu selesai disini, aku akan memotong bagian awal video ini dan segera mengirimkannya padamu! Kita lihat saja apa kau masih tersenyum lebar padaku!"

Lauren duduk di paha Justin, menarik tubuh Justin hingga menjadi duduk dan mencium laki-laki itu dengan ganas. Nicole benar-benar terkejut dan tidak dapat melakukan apa-apa selama beberapa detik. Ketika dia tersadar, Lauren sudah mulai meraba-raba tubuh Justin, dan tangannya berakhir di tengkuknya, memperdalam ciuman mereka.

Nicole merasakan matanya memanas. "Brengsek!"

Nicole ingin mematikan video itu tapi tangannya terlalu kaku untuk dapat bergerak. Matanya melebar saat Justin mulai membalas ciuman Lauren tak kalah ganas membuat Lauren mengerang cukup keras hingga Nicole bisa mendengarnya. Nicole merasakan pandangannya mulai mengabur karena air mata yang bertumpuk di pelupuk matanya, tapi dia masih bisa melihat cukup jelas saat Justin menurunkan kepalanya ke leher Lauren sementara tangannya juga bergerak turun menuju dada wanita itu.

Nicole menutup matanya rapat-rapat dan terisak keras. Apa yang di pikirkan sampai-sampai dengan bodohnya dia membuka file itu? Suara erangan dari video itu semakin keras, membuatnya ingin membuang laptop itu ke halaman rumahnya.

"Nic."

Tubuh Nicole membeku. Dia mengusap air matanya cepat-cepat dan menoleh ke arah pintu, namun tidak ada Justin sama sekali. Nicole nyaris saja mengira dirinya berhalusinasi ketika suara desahan itu kembali terdengar.

"Nicole."

Tubuh Nicole membeku. Apa tadi dia berpikir suara desahan? Mata Nicole kembali tertuju pada layar laptop. Meskipun merasakan hatinya semakin nyeri saat menyaksikan Justin tengah menciumi leher Lauren, Nicole tetap memerhatikannya tanpa berkedip. Tangan Justin kembali bergerak di dada Lauren saat laki-laki itu mengerang cukup keras.

"Astaga, Nicole. Kau-" Justin kembali mencium Lauren.

Dengan tangan gemetar, Nicole memundurkan video itu beberapa detik. Ingin memastikan kalau pendengarannya tidak salah sama sekali. Dan pendengarnnya memang baik-baik saja. Justin memang menyebut namanya. Dan Nicole pun merasa beban yang menghimpit dadanya selama seminggu ini langsung terangkat dan dia tertawa terbahak-bahak. Sudah tidak memedulikan video di depannya. Terakhir yang dia lihat, tubuh Lauren menegang dan wanita itu menampar Justin keras-keras.

"Demi Tuhan," gumam Nicole setelah tawanya mereda. Justin benar-benar keterlaluan jika dia melihatnya dari sudut pandang Lauren. Bagaimana mungkin laki-laki itu mendesahkan namanya berkali-kali sementara tangannya sedang berada di dada Lauren? Jika dia adalah Lauren, mungkin dia sudah membunuh Justin saat itu juga. Dan Nicole kembali terbahak mengingat tubuh kaku Lauren. Wanita itu benar-benar mendapatkan balasan yang sangat menyakitkan!

Nicole mencari ponselnya di dalam tas. Begitu sudah menemukannya, dia segera menghubungi Justin. Dan Nicole tidak terkejut ketika Justin langsung mengangkatnya pada dering pertama.

"Halo, Nic?"

"Kau benar-benar bajingan!"

Bukannya marah karena Nicole menyumpahinya, Justin malah terbahak-bahak. Itu sebuah pertanda bahwa Nicole sudah melihat file yang dia berikan. Sebuah pertanda bahwa hubungan mereka baik-baik saja. "Well, Aku juga mencintaimu," balas Justin sambil tersenyum lebar.


oOoOoOo

Well YEAAAAH!!!!!

How????

Aku nggak suka masalahnya berlarut-larut, jadi cukup satu part aja gondok-gondokannya..

Jangan lupa vote dan Comment yaaaa

Pekanbaru, 24-06-2015

18:35

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 153K 43
(COMPLETED) "Pak, kita kayanya pacaran aja deh" . . . . "Tidak mungkin. Kamu itu mahasiswi saya"
1.5M 112K 26
Sebelumnya baca "Fated" terlebih dahulu ya!! ^^ STORY DI PRIVATE, FOLLOW DULU AGAR BISA BACA!!! Aku menyukai setiap perhatian yang kak Kenneth berika...
230K 12.3K 30
Dendam yang kamu punya pada diriku, sama besarnya dengan rasa benciku padamu. Jangan pikir aku adalah orang yang lemah, sehingga kamu bisa mempermain...
2.5M 88.3K 15
"Cium saya!" potong Lingga. "APAA?!" "Kalau kamu nggak mau, baiklah biar saya yang cium kamu." "Jangan coba-coba!" ucap Elina namun wajah Lingga mala...