Another Color

By noquiyea

945 111 73

Lala menjalani hidupnya sebagai pelukis mengikuti jejak mendiang mamanya. Selama memutuskan hidup sendiri tan... More

0. Sunset With Memory
1. COYOTE V.I.P CLUB
2. RUN AND GO
3. Help You
4. Leave
5. Some Information
6. Breakfast
7. Plan
8. Trouble
9. With You
10. Party In The Galery
11. Meet My Girl
12. Move
13. Tell them
14. Meet Komang
15. Something Begin
16. Can I?
17. Here We Are
18. Meeting
19. A Good Bad Day
20. After That
21. VIP 3
22. How
23. Sorry To Your Self
24. To Hug You
25. The Box
26. Lala And Neo
27. Savero's Family Lunch
28. Savero and Komang
29. Amerika - Indonesia
30. It's Okay, Sav
31. Propose
32. Savero's Step
34. On Rainy Day
35. Party Begin

33. Girl's Talking

14 2 1
By noquiyea

Mata Lala tak lepas dari kanvas, sementara tangannya menari lincah menyapukan warna demi warna diatasnya. Tangannya yang lain memegang palet. Sesekali menunduk untuk mencampur beberapa warna lain sebelum ia sapukan kembali membentuk gambar yang sudah mulai jelas terlihat bentuknya.

Celemek hitam yang Lala kenakan sudah sangat kotor dengan warna-warna cat yang menempel. Beberapa bagian lengan dan tangannya pun berwarna serupa. Campuran warna merah muda pastel, ungu, merah, putih, dan hijau. Lala tampak fokus pada benda dihadapannya dan mengabaikan embusan angin yang menyusup masuk lewat celah pintu kaca yang terbuka. Menandakan bahwa seseorang baru saja masuk ke ruang melukisnya yang bersebelahan dengan taman.

"La, lo harus lihat ini." Suara Gia terdengar kesal dan memaksa Lala menghentikan kegiatan melukisnya. Agak kesal karena fokusnya terganggu, tapi mau tidak mau Lala pun menghentikan aktivitasnya.

"Apa, sih, Gi? Gue, kan, lagi ngelukis. Lo tau sendiri gue gak bisa diganggu pas begini," ucap Lala dengan tenang dan lembut meski melayangkan protes.

"Ini, La. Milo ngelamar Nadin di tepi pantai. Videonya di unggah di sosial media mereka berdua."

"Ya, terus?" Lala melepas celemeknya dan bergabung duduk dengan Gia di sofa.

Gia berdecak kesal dan meremas bantal sofa. "Ya kalau mereka udah mempublikasikan hubungan mereka duluan, lo sama Savero gimana? Pasti bakal makin susah, dong. Apalagi saudara tiri lo tuh norak banget. Dia apa-apa pasti di unggah. Kalau gini, kita bakalan susah publikasiin hubungan lo sama Savero dan menekan mereka buat kasih restu."

Gia mengatakan dengan berapi-api. Jelas Gia kesal sebab rencana mereka terganggu. Sejak awal, Gia sudah ingin memanfaatkan atensi publik terhadap masalah FL Grup untuk menunjukan hubungan Savero dan Lala. Tapi rupanya mereka kalah cepat. Dan sekarang Gia jadi kesal sendiri.

"Masih ada cara lain. Gue sama Savero juga lagi berusaha cari opsi lain supaya gue tetap bisa dapet restu bokap gue juga. Lo tau sendiri, lah. Nikah tanpa restu orang tua pasti ribet banget urusannya. Belum lagi, nanti kalau gak sah gimana?"

"Kalo tetep gak berhasil?"

"Kita buat tragedi Keluarga Sinha bagian kedua," jawab Lala dengan tenang. "Gue gak akan mundur, Gi. Sekali ini gue mau egois. Gue mau berjuang supaya gue sama Savero bisa sama-sama."

"Tapi–" ucapan Gia terputus ketika ia mengingat sesuatu. Hanya beberapa saat hingga sahabat perempuan Lala satu-satunya itu menarik kedua ujung bibirnya membentuk lengkung senyuman. "Kalau tragedi Sinha dua maka lo akan–"

"Iya," Lala menjawab tenang seolah sudah mengerti kemana arah pembicaraan Gia. "Yang berharga itu gak cuma harta, tapi juga waktu. Kalau kita bisa ambil waktu mereka buat beresin kekacauan yang kita buat, kenapa enggak?" Lala menyeringai kecil. "Mungkin saat waktu mereka habis untuk menyelamatkan diri, kita sudah lari melewati mereka. Melampaui batas yang tidak akan mereka pikirkan sebelumnya."

Gia mengingat kembali bagaimana mereka sudah membuat keluarga Sinha menghabiskan cukup banyak waktu karena rumah sakit yang mereka kelola harus diselidiki secara total. Belum lagi kasus hukum yang harus mereka hadapi. Dan kekacauan bertambah ketika Kakaknya Malik kembali dari Amerika dan bersedia memberikan kesaksian untuk membela para korban. Mereka harus mengalami kerugian yang cukup besar baik dari segi materi ataupun waktu. Dan jika kemungkinan masalah Lala dan Savero akan diselesaikan dengan cara yang sama, maka mungkin akan lebih besar kerugian yang akan lawannya terima.

"Ya udah kalau gitu. Tapi gue masih kesel sama sodara tiri lo, nih.. Norak banget. Heran! Segala beli baju sama tas yang sama kayak gue. Tau gitu gue males pakai."

Lala tersenyum dengan sebelah bibir terangkat. "Gue emang pernah ngakuin dia saudara? Gak, kan? Lagian kalau lo gamau pakai, jual aja, Gi. Beli yang baru. Lo punya segalanya supaya apa yang lo mau bisa lo dapet."

Gia tampak mengiyakan. Ia kemudian berkutat dengan ponselnya sementara Lala menatap ke dinding kaca yang menunjukan pemandangan di luar.

"La, lo kangen sama nyokap lo?" tanya Gia lembut usai menyadari tatapan Lala tampak sendu dan muram. Tidak biasanya Lala menunjukan ekspresi itu terlebih lagi dalam situasi yang rumit seperti sekarang ini.

"Iya. Gue kangen mama. Gue juga kangen papa. Kangen masa kecil gue yang bahagia walau gue sendiri gak yakin apakah masa itu adalah masa terbaik. Dan apakah saat itu bokap gue beneran sayang sama gue atau cuma pencitraan."

Gia mengamati sekali lagi wajah Lala. tersirat kerinduan dan kesepian mendalam dari sorot matanya. Sesekali ia tampak menghela napas. Mungkin membuang semua sesak yang terkumpul di dadanya.

"Lo sayang banget sama keluarga lo. Dan lo pengen ngerasain sekali lagi kenyamanan dan kehangatan itu. Iya, kan?" ucap Gia seolah menebak isi kepala Lala. Dan tanpa perlu berusaha menyangkal, Lala pun mengiyakan ucapan Gia.

"Gue kadang mikir, apakah bokap gue bisa kembali kayak dulu. Atau, bisakah gue ngerasain keutuhan keluarga lagi?"

"Semua gak bisa kembali ke tempat semula, La. Ketika kita memulainya, kita sudah siap dengan resikonya. Kalau dibilang kita ini gak bersyukur karena secara materi kita berkecukupan, kita mungkin bisa dikatakan demikian. Tapi secara mental, kita emang kadang butuh ketenangan. Kita butuh kasih sayang yang gak hanya menuntut tapi juga memberi." Gia pun perlahan berubah sendu. "Andai aja, bokap sama nyokap gue gak perlu banyak pencitraan dan nerima anak-anaknya apa adanya. Gak mungkin juga gue bikin rencana sebesar itu untuk menyembunyikan profesi gue sebagai pilot. Tapi gue memilih mengambil resiko. Gue memilih untuk mencoba apa yang gue inginkan tanpa campur tangan mereka. Dan ternyata gue bisa."

Lala mengangguk membenarkan. Gia dan perjuangannya menyembunyikan profesinya sebagai pilot. Juga bagaimana dia harus menempuh pendidikan ganda di dua tempat berbeda untuk memberi makan ego dirinya dan orang tuanya. Semua jalan memang punya hambatan. Dan semua pilihan memiliki resiko juga pengorbanan. Dan yang Gia lakukan adalah mengorbankan waktunya untuk bersenang-senang.

"Suatu saat mungkin mereka akan tau. Dan kalau mereka tau, lo udah jauh lebih siap untuk menunjukan ke dunia bahwa Gia adalah seorang pilot perempuan yang hebat," Lala memberikan senyum lembut. Ia amat bangga dengan Gia. Sahabatnya yang sangat berbakat dan kuat. Ia hebat dengan caranya dan ia tegas pada pilihannya.

"Kita berlima, mungkin adalah kumpulan anak-anak kesepian yang juga haus kasih sayang dan perhatian. Sejak kecil, nasib kita sama. Kehilangan waktu berharga karena orang tua sibuk bekerja, dan dituntut menjadi sempurna seperti keinginan keluarga. Ada banyak beban yang sudah diletakkan di bahu kita sejak kita masih balita karena kita terlahir dari keluarga yang bisa dikatakan kaya," ujar Gia yang kemudian diakhiri dengan helaan napas cukup panjang.

Lala tak langsung menanggapi. Namun beberapa detik kemudian ia terkekeh kecil karena setuju dengan ucapan Gia.

"Nyokap gue dulu juga pernah bilang gitu ke gue. Katanya dia kasihan sama gue karena sejak lahir keluarga gue tuh berharap banyak ke gue. Dan sekarang, gue inget omongan nyokap karena lo."

"Dan lo setuju, kan?" Gia memicingkan mata menunggu jawaban Lala.

"Gak bisa gak setuju, sih. Orang yang lahir dari keluarga yang punya latar belakang kayak kita pasti diharapkan bisa jadi semakin tinggi. Bukan hanya demi kita, tapi demi mempertahankan eksistensi keluarga."

"Kita memang melakukannya, kan? Sejak kecil udah dituntut belajar banyak hal."

Lala mengangkat bahunya ringan. Ia tersenyum mengingat masa kecil mereka berlima yang dipaksa ikut kelas kepribadian. Dan pada akhirnya, mereka semua harus sering mengeluh setelah kelas selesai. Dulu mereka hanya anak-anak yang terpaksa melakukan semuanya karena tidak punya pilihan. Dan sekarang, mereka punya pilihan itu. Mereka punya kuasanya, sekaligus materi yang mereka butuhkan. Bisa dikatakan bahwa ini semua adalah buah dari kesabaran yang selama ini sudah mereka lakukan.

"Jadi ini bisa jadi adalah jalannya, La. Waktu yang sudah kita tunggu untuk mendapatkan yang kita inginkan. Lo udah berhasil membuat orang-orang yang terlibat dalam kematian nyokap lo diselidiki dan dihukum. Lo juga berhasil merebut perusahaan yang didirikan oleh nyokap lo supaya dikelola sebagaimana seharusnya. Lo juga bisa tetap melukis. Dan lo, Ileana. Lo sekarang tujuannya adalah membangun keluarga lo sendiri bersama Savero. Dan itu udah tinggal beberapa langkah lagi. Dan lo pasti akan dapetin itu."

Lala terharu. Ia senang bahwa sahabatnya memberikannya dukungan sebanyak itu. Kalau Lala boleh serakah, ia ingin satu hal lagi. Ia ingin papanya kembali menjadi sosoknya yang dulu. Sosok yang Lala kenal sewaktu kecil.

•••

Rooftop Coyote lagi-lagi menjadi tempat pertemuan dari para lelaki itu. Ansell, Jeff, Neo, Savero, Malik, Evan, dan juga Komang. Mereka berkumpul bersama karena ada beberapa hal yang perlu dilaporkan pada Ansell. Dan selaku pemimpin, Ansell bertugas untuk memantau semua pergerakan dari rencana mereka.

Setelah kejadian terakhir, Komang tidak lagi tinggal di kontrakannya. Ia sekarang tinggal dibawah pengawasan Jeff dan Neo. Komang dinyatakan tidak bersalah dengan mudah karena orang-orang Jeff berhasil menemukan CCTV ketika Komang pertama kali dijebak. CCTV itu beserta bukti lain yang mereka miliki menjadi alasan para penyidik melepaskan Komang.

Savero sendiri masih harus menjalani beberapa penyelidikan terutama yang berkaitan dengan kasus korupsi yang dituduhkan padanya. Namun karena pihak pelapor tiba-tiba saja sulit diajak kerjasama dengan banyak alasan, kasus Savero seperti terhambat diselidiki.

"Masalah FL.Distribution sudah beres dan Mas Evan sudah diangkat sebagai pimpinan utama di sana setelah menang telak di rapat terakhir." Ansell menatap orang-orang disekitarnya dengan senyum kecil. "Setelah ini masalah pekerjaan di sana, semua akan diurus langsung oleh Mas Evan. Silahkan buat laporan jika ada yang mencurigakan dan sekiranya tidak beres."

Mas Evan hanya mengangguk kemudian menggulir layar tab-nya dan menekan tombol kirim di bagian paling bawah.

"Itu hasil analisis keuangan perusahaan. Nanti tiap kuartal, Mas akan kirim ke kamu, Sell. Jadi kamu bisa pantau."

Ansell menerima data yang Mas Evan kirim melalui surel dan menyimpannya. "Nanti biar akuntan AGNI.J yang periksa, Mas. Dan makasih banyak atas kerja kerasnya."

Mas Evan mengangguk singkat sebagai balasan. Dan selanjutkan fokus mereka ada pada Savero. Saat ini Savero seperti anak ayam yang kehilangan induk. Tidak punya pekerjaan tetap dan tempat bernaung. Savero juga menolak tawaran mamanya untuk mengelola perusahaan mamanya. Savero menganggap bahwa itu bukan hasil kerjanya. Jadi ia enggan untuk mengambil sesuatu yang bukan hak-nya.

"Lo sekarang gimana, Sav? Mau jalan kayak apa lagi? Semua rencana lo udah berjalan. Dan prosesnya udah jelas sesuai sama prediksi lo. Langkah selanjutnya apa?"

Ansell menatap Savero dengan tegas dan serius. Tampak tenang sekaligus menuntut. Ia tidak suka jika Savero setengah-setengah apalagi dalam hal ini mereka sudah terlibat sangat jauh.

"Gue gak mungkin bisa dapat restu dari sisi bokap gue karena dia tetap akan membela Milo. Gue akan manfaatin pihak Nabastala dengan mengungkapkan apa yang gue temuin."

"Berkas? Berkas apa?" kini Neo tampak tertarik. Sedari tadi menjadi pendengar, Neo akhirnya bersuara juga.

"Ada sesuatu. Tapi gue belum bisa bagi ke kalian. Nanti pas udah fix bener, gue baru jelasin." Savero coba meyakinkan.

"Terserah lo kalo soal yang itu. Sekarang lo maunya jalan gimana lagi? Lo gak mungkin ngelamar Lala pakai cinta doang, kan? Mau lo kasih makan apa sahabat gue?" sambar Jeff yang mulai lelah karena sejak tadi pembahasannya membosankan.

Ucapan Jeff agaknya langsung membuat Savero merengut. Ia menatap Jeff kesal kemudian melemparkan bantal di kanannya pada lelaki muda itu.

"Ya, kali, Lala kenyang gue kasih makan cinta!" sungutnya. "Gue kerja, kok. Gue pastiin Lala gak akan kekurangan kalo sama gue. Tanya Malik kalo gak percaya. Meski gak di FL, gue punya kerjaan."

Malik pun mengangguk sebagai bentuk validasi. "Savero ada kerjaan lain. Dia mungkin lagi nunggu hasil gertak FL. Kalo gak berhasil, ya, dia bakalan balik ke kerjaannya yang satunya."

[]


Thank you for reading.


Noquiyea

Continue Reading

You'll Also Like

Say My Name By floè

Teen Fiction

1.2M 70K 34
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
328K 9.4K 40
Alskara Sky Elgailel. Orang-orang tahunya lelaki itu sama sekali tak berminat berurusan dengan makhluk berjenis kelamin perempuan. Nyatanya, bahkan...
870K 6.2K 10
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
786K 22.1K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...