When The Sun Is Shining

Von sourpineapple_

8.8K 1.2K 117

ON GOING ALL ABOUT RAKA'S FAMILY [ BAGIAN DARI IT CALLED LOVE, ELVANO, & RENJANA ] *** Sebab, pada dasarnya... Mehr

PROLOGUE
Ø1: MPLS
Ø2: 08 BERAPA?
03. TRIAL
Ø4. TEMAN BARU
Ø5. BUNGA TAI AYAM
Ø6. ROLE MODEL
Ø7. LOVE LANGUAGE
Ø8. REONI BAPAK-BAPAK
Ø9. ABANG
1Ø. TENGGELAM
11. HANYUT
12. KECEWA
13. PECAH
14. EGO
15. WHERE I AM?
16. ISI KEPALA
18. MAKAN MALAM
19. ISENG
20. WHAT HOME FEELS LIKE
21. SOUNDS SO PATHETIC
22. TALK LIKE A GENTLEMAN
23. HIS BIGGEST FEAR
24. DOWN
25. WE WERE DONE
26. HOW MUCH THEIR LOVE
27. SUNFLOWER
28. DON'T GIVE UP

17. CAN WE FIX IT?

294 49 4
Von sourpineapple_

hayo, yang sebelumnya udah nagih update, ramein ya, awas kalau diem kek lagi ujian nasional 😀

happy reading 🌷

***

Sebetulnya, Hugo merasa sungkan untuk pulang, tapi dia juga nggak mungkin mau mengungsi di rumah omanya. Hugo bukan tipe orang yang gampang betah tinggal lama di tempat yang bukan rumahnya sendiri.

Ketika tiba di rumah, waktu masih menunjukkan jam tiga kurang lima belas menit. Suasana rumah sedang sepi, Reon mungkin sedang pergi bermain dengan bocil komplek lain, kalau nggak lagi tidur siang, sedangkan Elvano dan Elkano belum pulang sekolah, papanya juga pasti masih ada di tempat kerja.

Mungkin di belakang ada Mbak Aida yang sedang menyapu halaman atau mamanya kalau sedang ada di rumah.

Hugo nggak langsung menuju ke kamarnya, dia justru bertolak naik ke lantai dua, membuka pintu balkon dan melihat halaman dari teras yang menghadap ke arah belakang, ternyata memang ada Mbak Aida di sana yang sedang menyapu halaman dan mamanya yang tengah menyiram bunga.

Memperhatikan sang mama, pandangan Hugo perlahan berubah sendu.

Intropeksi kesalahan lo, jangan sampai lo ketemu penyesalan yang nggak bisa lo perbaiki.

Kalimat yang diutarakan Elkano tempo lalu melintas begitu saja di benak Hugo. Inikah penyesalan itu? Apa Hugo masih sanggup untuk memperbaikinya?

Hugo selalu menyaksikan, bagaimana Reon yang selalu menempel dengan mamanya setiap kali Mama ada di rumah, Elkano yang senang melakukan kontak fisik dengan Mama, dan Elvano yang sering mengusili sang mama dengan candaan garingnya.

Ketiga saudaranya itu sangat dekat dengan Mama, mereka tak pernah menolak untuk melakukan kontak fisik seperti pelukan dan ciuman, berbeda dengan Hugo yang sejak SD sudah tidak suka untuk dicium-cium, apalagi sampai ketahuan temannya, pasti dia akan marah-marah.

Ketiga saudaranya juga jarang membantah apalagi sampai membentak Mama. Mama terlihat baik-baik saja dengan tiga anaknya yang penurut dan baik, mungkin Mama juga akan lebih bahagia tanpa adanya Hugo yang sering membuat Mama pusing dan khawatir.

Kedekatan ketiga saudaranya dengan sang mama membuat Hugo iri, seketika muncul perasaan ingin. Hugo juga ingin dipeluk, Hugo juga mau dicium oleh Mama. Tapi, apa Hugo masih pantas setelah apa yang dia perbuat pada Mama?

Lagipula, bukannya kehadiran Hugo dulu nggak pernah diharapkan oleh mama dan papanya? Dia ada tanpa direncanakan seperti abang dan adiknya. Bahkan, menurut cerita yang Hugo ketahui, dulu waktu Mama mengandung Hugo adalah masa-masa yang berat, karena bawaan si calon bayi yang membuat Mama sering sakit dan harus bedrest. Itu saja sudah cukup menjelaskan, jika Hugo sering merepotkan bahkan sejak dia belum lahir ke dunia.

Ma, maaf

Ma, Hugo minta maaf, Hugo salah, Ma

Hugo nggak seharusnya begitu ke Mama, Hugo udah keterlaluan, maafin Hugo, Ma

Harusnya cuma tinggal bilang begitu, tapi kenapa rasanya berat banget? Hugo nggak punya nyali. Dia payah. Dia berani bentak mamanya, tapi nggak berani buat minta maaf.

Ma, kalau Hugo minta maaf, Mama masih mau maafin Hugo nggak?

Ma, Hugo nggak pantes ya jadi anaknya Mama?

Hugo menghela napas, lalu menunduk. Hanya bisa menelan kalimat-kalimat itu dalam hatinya tanpa bisa menyampaikan pada mamanya.

Namun, ikatan batin ibu dan anak itu nyata adanya. Ghea yang tadinya sibuk menyiram bunga secara spontan menoleh ke arah teras lantai dua, rasanya seperti sedang diperhatikan, dan perasaan itulah yang membuat Ghea otomatis menoleh hingga mendapati Hugo yang tengah melamun berdiri di tepi pembatas.

"Hugo?" panggil Ghea sedikit keras agar si empu dapat mendengar dari jaraknya memanggil.

Dan secara spontan, panggilan itu membuat Hugo tersentak, matanya bergerak cepat hingga bertemu dengan tatapan mamanya yang mana setelah itu Hugo segera berbalik dan pergi dari sana, merasa malu karena tertangkap basah sedang memperhatikan mamanya.

Melihat Hugo yang pergi begitu saja, Ghea pun mengerjap kemudian mematikan semprot air yang digunakannya untuk menyiram bunga dan masuk ke dalam rumah.

"Go?" panggil Ghea, mengetuk pintu kamar Hugo, tapi tak ada sahutan dari dalam.

Ghea pun mengulangi, "Go? Kamu di dalem 'kan?"

"Hugo mau istirahat, Ma."

"Udah makan?"

"Udah."

Setelah itu, Hugo tak lagi mendengar suara mamanya dari luar. Hugo membiarkan tubuhnya ambruk berbaring di kasur, cowok itu menghela napas panjang, menutup wajahnya dengan punggung tangan dan memejamkan mata.

Baru beberapa saat Hugo terhanyut dengan isi kepalanya, atensi Hugo tersita saat merasakan ponsel yang berada di saku celananya bergetar.

Mengeluarkan benda pipih itu dari sakunya, Hugo lantas memeriksa notifikasi yang barusaja masuk. Rupanya itu adalah pesan dari Gemala.

Gemala (26)

Go, sorry
Tapi mau sampai kapan kita dieman begini?

Tawaran gue masih berlaku, Gem, kalau lo mau

Gue nggak mau.

Gem

Kenapa?

Lo tau kalau gue brengsek

Bahkan dari sekian banyak cewek lo, gue yang paling tau itu, Go.

Lalu apa alesan lo buat tetep bareng sama gue?
Lo sendiri yang bilang kalau nggak akan suka sama gue
Terus sekarang apa?
Lo suka sama gue, even lo tau kalau gue brengsek.

Karena gue suka sama lo itu makanya gue mau buat tetep bareng sama lo.
Harusnya lo ngerti
Apa perlu gue jelasin dulu?
Sebenernya, lo punya masalah apa sih, Go? Siapa yang udah bikin lo trauma sampe nggak bisa setia sama hubungan?
Apa sesusah itu buat lo bertahan sama satu orang aja?

Ini cuma pacaran, bukan pernikahan.
Lo berniat cari keseriusan apa dari hubungan main-main kayak gini?
Lo ngarep bisa langgeng sama gue sampe pelaminan?
Bangun, Gem
Realita nggak seindah novel fiksi yang lo baca.

Setelah mengetik pesan itu, Hugo langsung keluar dari aplikasi chatting-nya, membiarkan ponselnya meredup dan menghela napas. Dia pikir, nggak ada masalah dengan pesan yang dia kirim pada Gemala, tapi beberapa saat setelahnya, Hugo merasa bersalah. Apa dia keterlaluan?

Lalu Hugo kembali membuka ponselnya untuk memeriksa pesan balasan dari Gemala.

Bener. Realita emang nggak seindah novel fiksi yang gue baca.
Tapi, kebiasaan lo yang nggak bisa setia itu bisa aja kebawa sampai lo punya hubungan serius nanti, Go. It called bad habbit.
Bukan orang lain yang harus terima sifat jelek lo, tapi lo sendiri yang harus berubah.

Ok
Lo mau gue buat setia kan?
You'll get it.

***

Suara ketukan pada pintu kamar membuat Hugo mengernyit, lalu sebuah suara lain menyusul yang mana itu adalah suara papanya. "Keluar. Papa mau bicara."

Terdengar dalam dan tegas, membuat Hugo mau nggak mau beranjak membuka pintu kamar. "Apa?" tanyanya, yang ternyata begitu membuka pintu, tak hanya ada papanya melainkan juga sang mama.

"Di dalem aja." Raka berujar.

"Kamar Hugo berantakan."

"Udah nggak kaget."

Raka langsung melenggang masuk begitu saja, sambil menyisir pandang ke penjuru ruang kamar putra ketiganya. Hugo agak terkejut, tapi setelah itu, dia pasrah saja membiarkan mama dan papanya masuk ke kamarnya.

Ghea menarik kursi dari meja belajar Hugo, lalu mendudukinya, sedangkan Raka masih berdiri, mengamati isi kamar Hugo yang sebetulnya nggak seberantakan seperti kata Hugo.

Sedangkan Hugo sendiri cuma diam, dia berkali-kali menghindari tatapan mata mamanya, tiba-tiba ia diserang canggung yang begitu dahsyat, sampai rasanya, waktu seperti berhenti berjalan. Suasana masih hening, baik Raka ataupun Ghea masih diam, Hugo sendiri juga nggak tahu mau ngomong apa.

Namun, pada menit berikutnya, sebab merasa nggak nyaman dengan suasana canggung parah seperti ini, Hugo pun memecah keheningan. "Mama sama Papa mau ngomong apa?" tanya Hugo, yang mendadak suaranya pecah sampai beberapa kali cowok itu berdehem.

Ghea dan Raka saling melirik, lalu embusan napas berat terdengar mengudara dari Ghea, tapi setelahnya seutas senyum hangat terulas di wajah Ghea. "Ada cerita yang mau dibagi ke Mama sama Papa nggak?" tanya Ghea, membuat Hugo tersentak.

Hugo menatap mama-papanya bergantian. Pikir Hugo, ia akan mendapat teguran atau ceramah dari orang tuanya, makanya Hugo sempat ketar-ketir tadi, tapi perasaan takut itu kini terganti dengan emosi membuncah yang membuat mata Hugo memerah perih.

Melihat Hugo hanya memalingkan wajah tanpa menyahut apa-apa, akhirnya Raka angkat bicara.

"Biar Papa keluar," ucap Raka, berlalu keluar kemudian, hingga hanya menyisakan Hugo dengan mamanya di dalam kamar. Raka sengaja memberi ruang, sebab ia tahu, Hugo bukan tipikal orang yang akan gampang mengutarakan perasaan sekalipun dipancing, jika memang bukan pada orang-orang yang ia kehendaki untuk  mengetahui perasaannya.

"Mama dapet telepon dari wali kelas kamu kemarin, katanya alpha kamu ada tiga kali seminggu, beliau minta Mama buat sampaiin ke kamu, kalau terus-terusan begitu, kamu terpaksa nggak bisa ikut ujian tengah semester nanti." Ghea angkat bicara, sedangkan Hugo masih terdiam seribu bahasa.

"Mama nggak tau kalau kamu sering bolos, padahal setiap weekdays, Mama lihat kamu selalu berangkat sekolah. Kenapa? Sekolahnya bosenin, ya?" tanya Ghea, nada bicaranya terdengar tenang tanpa unsur menghakimi.

Alih-alih berkata akibat dari perbuatan Hugo, Ghea justru bertanya sebab Hugo melakukan perbuatan itu.

Hugo masih diam, ia terdiam cukup lama sampai akhirnya berkata, "Kenapa Mama masih peduli sama Hugo?"

Ghea sedikit tersendat. "Karena kamu anaknya Mama."

"Tapi, Hugo udah jahat ke Mama. Hugo ... Hugo udah bentak Mama." Suara Hugo mengecil, pandangnya kian tertunduk.

"Then, what should you do?" Ghea membalas dengan tenang.

Napas Hugo memburu, dengan kaku lidahnya menyuarakan kalimat, "M-maaf ... Hugo minta maaf ..."

Ghea tersenyum. "Permintaan maaf diterima, tapi jangan diulangin lagi, ya?" balasnya, membuat Hugo otomatis mendongak dengan mata memerah dan tatapan terkejut.

"Mama ... nggak mau marah?"

Ghea menghela napas. "Marah bukan solusi buat menyelesaikan masalah. Sekarang, Mama yang tanya ke kamu, kamu masih marah sama Mama?"

Hugo kembali terdiam, kerongkongannya mendadak terasa kering kerontang.

"Emangnya pantes? Pihak yang paling masuk akal buat marah itu Mama sama Papa, karena Hugo ... Hugo udah nakal ...," cicit Hugo, tak lagi mampu menahan air mata yang berdesakan, akhirnya Hugo betulan menangis.

Ghea lalu beranjak, berpindah tempat duduk di samping Hugo, dan memeluk cowok itu. "It's okay ... emosi kamu valid, nggak salah kalau kamu mau marah, sedih, atau kecewa, karena kita sama-sama manusia, kan? Nggak cuma orang tua yang berhak marah, anak juga punya hak. Tapi kamu tau, kan, setiap apa yang kita lakukan selalu punya konsekuensi, ketika kamu berani bertindak, maka kamu juga harus berani buat bertanggung jawab."

"Mama minta maaf, mungkin Mama belum bisa sepenuhnya memahami perasaan kamu, mungkin kadang, ada hal yang tanpa sadar Mama lakuin dan bikin kamu merasa dibedain, tapi, Nak, demi Tuhan, Mama nggak pernah punya niat buat bedain anak-anaknya Mama, semuanya sama, Mama sayang sama kalian, nggak ada yang lebih berharga di hidup Mama selain kalian," ungkap Ghea.

Tangis Hugo semakin deras, isaknya kian pilu, ia tak mampu membalas ucapan mamanya, tapi peluknya kian erat, ia menenggelamkan diri dalam dekap hangat sang ibunda. Selama berhari-hari, Hugo merasa seperti hilang arah tujuan, namun dalam peluk ibunya, Hugo merasakan arti "pulang".

"Hugo ... nggak pantes ya ... jadi anaknya Mama?" tanya Hugo disela tangisnya, tersendat-sendat akibat isakan. 

"Siapa yang bilang gitu, hm?"

"Hugo udah nakal, Ma ..."

"Mm-hm, jangan diulangin lagi ya nakalnya?"

"Hugo ... banyak nyusahin Mama ..."

Ghea merenggangkan peluknya, kemudian mengusap wajah Hugo dari air mata. "Hmm, kalau kamu banyak nyusahin, berarti Abang sama Adek juga banyak nyusahinnya dong, tapi Mama nggak merasa disusahin tuh."

Lalu, sebuah senyum hangat Ghea ulas. "Nak, nggak ada yang sempurna di dunia ini selain Tuhan. Sebelum jadi orang tua, Mama juga seorang anak, Mama pernah, bahkan sering buat salah ke Oma, tapi Oma tetep sayang dan maafin Mama, karena apa? Karena Mama anaknya Oma. Oma juga sering bikin Mama kesel dan nangis, tapi Mama tetep sayang sama Oma, karena apa? Karena Oma orang tuanya Mama."

"Seburuk-buruknya orang tua, mereka ya tetep orang tua kita, seburuk-buruknya anak, mereka ya tetep seorang anak buat orang tuanya. Kita sama-sama belajar, dan dalam belajar sangat wajar buat salah, dan dari kesalahan itu juga kita perlu untuk belajar lagi, agar kesalahan yang sama nggak diulangi, got it?" jelas Ghea, intonasi bicaranya mengalun pelan dan lembut seperti lagu pengantar tidur.

Hugo mengangguk-angguk sebagai balasan dari nasihat mamanya.

"So, stop crying, okay? Mama nggak akan marah, Papa juga nggak akan marah," ujar Ghea. "Take a deeeep breaathhh," intruksinya.

Hugo menurut, ia menarik napas sedalam-dalamnya, kemudian membuang hingga paru-parunya terasa kosong.

"Hugo minta maaf, maaf udah bentak dan ngelawan Mama sama Papa, Hugo janji nggak akan begitu lagi, Hugo ... juga janji buat berhenti ngerokok," ucap Hugo.

Ghea tersenyum dan mengangguk. "That's my son," pujinya. "Tapi, Mama boleh tanya nggak?"

"Tanya apa?"

"Mama tau, kamu nggak pernah suka sama sesuatu yang punya bau nggak enak, termasuk asap rokok sendiri, terus kenapa kok tiba-tiba kamu jadi ngerokok? Dulu, Papa juga pernah ngerokok, buat coping mechanisms kalau lagi burnout. Apa kamu lagi ada masalah yang berat, sampai cari pelarian dengan benda yang nggak kamu sukai?"

Hugo lalu bercerita, tentang awal mula dari permasalahan ini terjadi, tentang teman-temannya yang melakukan hal serupa dan membuat Hugo merasa "tidak normal" karena tidak menjadi seperti kebanyakan dari mereka. Hugo yang berpikir bahwa dirinya yang perlu beradaptasi, sampai akhirnya dia sadar, bahwa adaptasi itu menyesuaikan diri, bukan ikut-ikutan menjadi seperti lingkungan itu sendiri.

Ghea mendengarkan dengan seksama, tanpa berniat untuk menyela, ia membiarkan Hugo untuk bercerita, sebab memancing Hugo untuk menguraikan isi hatinya, tak segampang memancing Elvano atau Elkano untuk curhat.

Ghea tahu, putranya yang satu ini berbeda dengan putra kembarnya, atau putra bungsunya. Hugo memang selalu begitu sejak kecil. Dia lebih memilih menyimpan sesuatu sendiri, alih-alih bercerita padahal dia punya keluarga yang siap mendengar keluh kesahnya tanpa menghakimi, tapi namanya sifat, kalau sudah begitu adanya, ya begitulah.

Sepanjang mendengarkan cerita Hugo, satu hal yang membuat Ghea merasa bangga dan sedih dalam waktu yang sama; anaknya sudah semakin dewasa.

They're grow up so fast.

"It's okay, nggak ada yang salah dengan cut off orang-orang yang bawa pengaruh buruk di hidup kita, karena itu hak kita untuk punya kehidupan yang baik dengan orang-orang baik juga di dalamnya," ucap Ghea memberi wejangan di akhir cerita Hugo.

Hugo mengangguk-angguk, kemudian dengan ragu ia bertanya, "Hugo ... boleh peluk Mama lagi?"

"Of course, you can. Come in." Ghea membuka lengannya, lalu Hugo beringsut mendekat dan memeluk sang mama. Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan, seolah mengeluarkan semua beban yang mengganjal di hatinya.

Tepukan pelan di punggung Hugo menambah rasa nyaman dari dekapan mamanya, hingga Hugo memejamkan mata. Mungkin, efek menangis dan kurang tidur, Hugo tiba-tiba terlelap begitu saja. Ghea baru sadar ketika pelukan Hugo mengendur dan napasnya terdengar teratur.

Ghea membiarkan saja, sebab jarang sekali momen seperti ini terjadi. Ketika dia rasa Hugo sudah benar-benar pulas dan tenggelam jauh di bunga tidurnya, Ghea merebahkan tubuh putranya untuk mendapatkan posisi tidur yang nyaman.

Tersenyum, Ghea memerhatikan wajah tidur putranya selama beberapa saat, sebelum ia mencondongkan tubuh, mendaratkan kecupan singkat di kening Hugo dan berlalu keluar.

"Loh? Nungguin di sini daritadi?" kejut Ghea, ketika ia mendapati Raka ada di luar saat ia membuka pintu kamar Hugo.

Raka mengangguk. "Buat nguping. Kinda emotional, am I right?"

Ghea menghela napas dan mengangguk. "Mm-hm, tapi sekarang aku udah lega. Andai, dari kemarin-kemarin begini, pasti akan lebih cepat selesai, kan?"

"It's okay, yang penting sekarang udah lumayan teratasi. Lagi ngapain dia di dalem?"

"Tidur. Biarin aja dulu, nanti kalau udah magrib dibangunin, keliataannya dia sering kurang tidur."

Raka tersenyum tipis. "Iya, kerjaannya, kan kelayapan."

"Mulai deh tengilnya."

Raka tak menghiraukan, ia tersenyum, kali ini senyumnya lebih terlihat. "Makasih ya, you're the bestest wife and mom in this world, I swear," ucapnya.

Ghea terkekeh, sambil berlalu pergi ia membalas, "Too much."

***

kalian ... sampe sini paham kan inti dari permasalahan ini tuh apa? '-'

yang ku highlight bukan tentang hugo ngerokok, tapi hugo yang kehasut temennya, jadi lupa rumah, berasumsi jelek sendiri, ya intinya mah anak remaja umur segitu emang egonya lagi tinggi, emosinya juga labil. dan marahnya raka bukan karena "hugo ngerokok" tapi karena hugo ngebentak ghea dan nggak mau minta maaf. dan bukannya sadar diri, malah makin ngelunjak, apa nggak esmosi si raka, di diemin aja tuh sekalian, walopun akhirnya nyadar sih silent treatment isn't good solution.

raka sama ghea jg ngajarin anaknya dari kecil kalau marah nggak mengekspresikan marahnya dengan kasar, jadi ya begitulah, ngerti kan? ngerti lah masa ngga ngerti.

orang tua mana coba yang kaga sakit hati dibentak anaknya, anak mana yang nggak pernah merasa "paling tersakiti" cuma gegara dimarahin orang tuanya. sebagai anak, aku udh pernah jadi alay dan lebay perkara dimarahin, tapi ya namanya lagi labil, apa yg ga srek dihati tuh rasanya salah dan bikin kesel, ya kan?

ngaku aja klen, pasti dulu pas kecil pernah pengen kabur dari rumah, kan? 🤣

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

little ace Von 🐮🐺

Jugendliteratur

882K 66K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
5.6K 371 21
"Brengsek kamu Al," "Satu lagi, jangan pernah nemuin aku setelah ini" -Swastika Eci "Ci, dengerin aku, dengerin perasaanku selama ini,Ci" -Algavian M...
8.8K 1.2K 8
❪㑭。𝙺𝙰𝙽𝙶 𝙳𝙰 𝙶𝚈𝙴𝙾𝙼 𝚇 𝙵𝙴𝙼! 𝚁𝙴𝙰𝙳𝙴𝚁 ❫ ❝ 𝖬𝗒 𝗁𝖾𝖺𝗋𝗍 𝗂𝗌, 𝖺𝗇𝖽 𝖺𝗅𝗐𝖺𝗒𝗌 𝗐𝗂𝗅𝗅 𝖻𝖾, 𝗒𝗈𝗎𝗋𝗌 ❜❜ ▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀...
Jenuh Von Etni

Sonstiges

4.6K 613 10
"Maaf Adena, sepertinya aku jenuh. Aku mau kita break, dulu." __Daren__ Adena Ayunindyra (Dena), tidak pernah berpikir kalau Danendra Dareen, akan j...