Merah Matahari

By fmahardini

5.5K 379 100

Ya, aku akan siap melepaskan kapan saja karena aku tak bisa mengatur siapa jodohmu. Yang aku bisa hanya memin... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam

Tiga Puluh Tiga

167 9 3
By fmahardini

"Iya, Bu?" tanyaku sambil memberi kode pada Adri untuk tak menungguku, lalu kembali duduk.

"Mas Senja sudah pulang?"

"Belum, Bu. Masih di kantor."

"Aduuh, maaf, ya? Mama kira sudah pulang. Maaf ya ganggu."

"Nggak kok, Bu. Ini sudah selesai kerja. Baru siap-siap pulang."

"Oooh, alhamdulillah." Mamamu mengambil jeda. "Maaf ya kemarin itu kondisi masih ribet pas telpon Rekta. Jadi mama nggak bisa ngobrol sama Mas Senja."

Embusan napasku langsung lega. Pikiran buruk yang sempat mampir di kepala tadi langsung terangkat hilang. Awalnya kupikir ayahmu yang menelpon. Lalu sewaktu ternyata mamamu yang menelpon, kupikir beliau mewakili ayahmu untuk menyampaikan sesuatu terkait insiden minggu lalu. Ternyata tidak.

"Ini, besok itu mama mau keliling cari oleh-oleh. Mas Senja mau nitip apa?"

"Nggak usah repot-repot, Bu," jawabku sopan.

"Eeh, nggak repot, kok. Mau makanan, tas, atau kaos?" Mamamu terdengar bersemangat.

"Apa aja, Bu. Senja sih yang penting bapak sama ibu sehat-sehat aja, biar bisa menikmati liburan."

Mamamu tertawa di ujung telpon sana.

"Belum bisa menikmati ini, Mas. Si ayah sibuuuk. Kan peserta pelatihannya dibagi jadi kelompok-kelompok kecil gitu. Jadi ngajarnya gantian. Sehari bisa kali si ayah ngisi empat kelompok. Habis magrib baru pulang. Terus si Budhe juga baru bisa nemenin jalan besok. Jadi baru besok cari oleh-olehnya."

Budhe, budhemu, kakak sepupu mama. Sama sepertimu, mama adalah anak tunggal. Tapi, sepupu mamamu banyak dan banyak yang dekat. Beberapa kali aku bertemu mereka di acara keluarga, sudah sering juga mendengar ceritamu tentang mereka. Terutama tentang budhemu yang tinggal di Bali ini, sepupu yang paling dekat dengan mamamu. Anak-anak beliau juga cukup akrab walaupun jarang bertemu.

"Nanti kalau ada yang mau dititip, kabari ya? Wa ke mama aja. Ini mama pakai telpon si ayah soalnya telpon mama mati, baterainya habis. Oiya, sekalian tanyain ke bapak, ibu, mbak Arik juga, mau dibawain apa dari sini."

"Iya, Bu. Nanti ditanyain," jawabku dengan kedua ujung bibir terangkat.

"Mbak Arik masih di Solo, kan? Belum balik Kalimantan, kan?"

"Belum, Bu. Minggu depan baru balik ke sana. Kebetulan suaminya ada tugas di Jogja minggu ini."

"Ooh.. sip sip. Nanti kabari mama ya? Bener, loh."

"Iya, Bu. Siap."

"Ya udah, hati-hati di sana. Jaga kesehatan. Nitip Rekta ya, Mas. Mama masih suka was-was kalau ninggalin dia sendirian. Suka langsung tidur aja kalau capek dia, terus jadi nggak makan."

"Iya, Bu."

"Oh iya. Tentang ayah.." Suara mamamu dipelankan. "Mas Senja tenang aja. Nggak usah terlalu dipikirin, ya? Cuma butuh waktu aja. Mas Senja sama Rekta yang sabar. Yang penting jangan menyerah aja. Coba terus. Ya?"

"Iya, Bu."

Senyuman kembali terbentuk di wajahku tanpa kusadari. Ada kelegaan yang lebih lagi dibandingkan tadi. Ya walaupun aku tahu bukan hal yang mudah untuk memenangkan hati ayahmu. Tapi dengan begini, mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh mamamu tadi, tetap saja membuat hati lebih nyaman.

Panggilan lantas diakhiri. Tapi, baru saja aku mau berdiri, panggilan lain masuk.

"Aku udah di depan gedung kantor kamu. Cepetan. Laper."

Arik mengakhiri panggilan tanpa memberikan kesempatan padaku untuk mengatakan satu kata saja. Dasar. Untung adikku. Kalau bukan...

"Udah?" tanya Adri. Ternyata dia belum pergi.

"Lah, masih di sini?" tanyaku seraya mendatanginya.

"Iya. Nggak tega ninggalin. Serem tau di sini, tuh kalau habis magrib gini."

Aku mengangguk-anggukkan kepala, menerima uluran tangan yang dia tawarkan.

"Kamu enak ya, Ja," katanya setelah memberitahu bahwa kami akan menuruni tangga.

"Enak kenapa?" tanyaku heran.

"Kan kamu nggak bisa liat. Jadi nggak liat penampakan."

Aku langsung tertawa. "Iya.. kasihan ya setannya kalau mau nakut-nakutin aku. Bakalan aku cuekin gitu soalnya nggak keliatan."

Adri ikut tertawa bersamaku setelah jeda sesaat. Mungkin dia membutuhkan waktu untuk memroses kalimatku barusan. Di lantai bawah kami disambut Mas Agung yang siap menerima laporan bahwa sudah tak ada orang di atas jadi bisa segera dia kunci ruangannya.

"Ada yang nungguin kamu," kata Adri saat kami sampai di halaman parkir. "Ganti pacar?"

"Heh, sembarangan. Adekku ituu, Arik. Di mana?" tanyaku.

"Kuanterin ke sana sekalian. Deket parkiran motor." Adri terdengar bersemangat.

Langkah kami cepat lalu berhenti tak jauh dari pintu masuk gedung. Aku langsung melepaskan tangan dari lengan Adri saat Arik ganti menyentuh tangan kananku.

"Temenku, Rik."

"Adri." Dengan sangat sopan Adri memperkenalkan dirinya.

"Oh, iya." Hanya itu balasan Arik. "Lama amat sih? Kutelponin bolak-balik juga nggak bisa. Nelpon siapa sih kok lama amat?"

Manusia ini...

"Sori ya, Dri. Emang gitu anaknya, rada eror. Waktu kecil pernah kujatuhin dari tempat tidur soalnya."

"Eh, iya. Nggak papa. Yaudah aku duluan," pamit Adri.

"Makasih ya, Dri. Tiati pulangnya."

Adri bergegas meninggalkanku dan Arik. Aku segera membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang depan. Tak lama suara motor Adri sudah terdengar meninggalkan halaman parkir.

"Kamu belum jawab." Arik duduk di sisiku lalu menutup pintu mobil.

"Kamu tuh kalau diajak kenalan sama orang, jawabnya gantian ngenalin diri, bukannya hmm iya."

"Kamu belum jawab tadi." Dia menyalakan mesin, mulai melajukan mobil. "Seatbelt, Pak," katanya.

Aku menurut, menarik sabuk pengaman dari sisi kiri, lalu mengancingkannya. "Mamanya Rekta."

"He? Terus? Gimana? Aman? Udah selesai urusannya?" Suara Arik berubah semangat, penasaran.

"Ya nggak gimana-gimana. Cuma nanyain mau oleh-oleh apa dari Bali? Sekalian disuruh nanyain kamu juga mau dibawain apa dari sana?"

"Laah, nggak bahas masalah kemaren? Udah nggak papa berarti?"

"Ya kan emang nggak ada apa-apa sama mamanya. Kan yang ada masalah kemarin sama ayahnya."

"Iya juga, ya."

Dengan mamamu, semenjak dulu memang selalu baik-baik saja. Beliau juga orang pertama yang membuatku yakin bahwa kita juga akan baik-baik saja.

***

Sama seperti dugaanku, bapak terlambat datang. Aku baru saja mengecek jam yang sekarang sudah pukul sepuluh lebih lima puluh menit. Sepuluh menit lagi wali kelas sudah akan menutup sesi pembagian laporan akademik di kelas dan bapak belum juga datang. Karena Arik bersekolah di sekolah yang berbeda dan pengambilan laporan berlangsung bersamaan, bapak dan umi berbagi tugas. Umi yang mengambil rapor Arik, kata beliau sekalian menyetor hasil jahitannya karena searah. Jadi, bapak yang bertugas datang ke sekolahku. Tapi karena ini hari kerja, aku sudah menduga dari awal bahwa beliau akan terlambat.

"Mas Senja?"

Aku menoleh cepat dan segera menekan tombol daya di ponselku, mematikan video yang tadi sedang kusetel untuk menghabiskan waktu. Mamamu. Aku tak mungkin salah mengingat suara beliau.

"Ini mamanya Rekta."

Dengan cepat aku berdiri lalu mengulurkan tangan yang dengan cepat beliau jabat.

"Kok masuk?" tanya beliau, heran dengan keberadaanku di sekolah.

"Iya, Bu. Kalau nggak masuk, nggak dapet uang saku," jawabku jujur.

Beliau tertawa mendengar jawabanku. Aku suka mendengar tawanya, mirip sekali dengan caramu tertawa.

"Ibu ambil rapornya Rekta?" tanyaku.

"Iya. Baru mau ambil. Kelasnya di mana, ya? Bisa antar saya?"

Ganti aku yang tersenyum geli. Tapi aku senang mamamu bertanya begitu. Biasanya orang-orang sungkan bertanya arah padaku. Entah sungkan atau tak percaya bahwa aku juga bisa mengantar mereka ke suatu tempat, asalkan aku sudah hafal tempat itu. Mamamu lain dari yang lain.

"Saya antar, Bu," jawabku setelah memasukkan ponsel ke dalam tas lalu meluruskan tongkat.

Kelasmu ada di lantai dua, di gedung bagian belakang. Aku sengaja mengajak beliau menaiki tangga di dekat ruang guru. Ini adalah tangga terlebar dan paling tidak curam dibandingkan dua tangga lainnya walaupun bukan tangga terdekat ke kelasmu. Setelah sampai di lantai dua, aku hanya tinggal belok kiri lalu lurus saja sampai di ujung sebelum kemudian berbelok ke kiri sekali lagi dan kelasmu akan kutemukan di sebelah kanan.

"Ternyata banyak juga yang masuk, ya? Kalau Rekta pasti pilih di rumah, ngurung di kamar sama buku-bukunya," kata mamamu saat kami menaiki tangga.

"Rekta suka baca ya, Bu?"

"Banget. Dari kecil kalau ditanya minta kado apa, pasti jawabnya buku. Kalau Mas Senja kelasnya di mana?"

"Itu, Bu. Di sebelah kantin," jawabku seraya menunjuk ke ruang kelas pertama yang kami temui begitu sampai di ujung tangga.

"Kalau kelasnya Rekta masih jauh?"

"Pas di ujung depan sana."

"Oh yang itu."

"Mau saya temani sampai di sana?"

"Harus, dong. Nanti kalau saya tersesat gimana? Mas Senja nggak buru-buru, kan? Atau ada urusan lain?"

Aku menggeleng cepat. "Nggak kok, Bu. Nunggu bapak aja."

"Oh belum diambil rapornya? Mau sekalian saya ambilkan?"

"Nggak usah, Bu. Sudah di jalan paling."

Mamamu lalu bercerita lagi tentangmu, tentang kebiasaan-kebiasaanmu di rumah yang sebenarnya aku sudah tahu. Aku hanya senang saja mendengar cerita beliau.

"Tungguin, ya?" kata mamamu begitu kami sampai di depan kelas.

Aku menurut, menunggu beliau di depan kelas, bersandar pada pagar pengaman lantai dua. Aku sering sekali menunggumu di sini, hampir setiap pulang sekolah karena seringnya jam kosong di kelasku. Jadi, sebelum bel pulang berbunyi, biasanya aku dan teman-teman sudah keluar kelas terlebih dahulu, tak merasa perlu menunggu guru menutup pelajaran, dan bisa menunggumu di sini.

Ponsel di dalam tasku bergetar. Sebuah pesan masuk saat aku membuka layar, pesan singkat yang memberitahukan bahwa bapak baru bisa berangkat dari kantor dalam lima menit. Perjalanan dari kantor bapak ke sekolah memakan waktu sekitar dua puluh menit. Masih lama.

Me:
Nanti ambilnya di kantor. Jam sebelas kelas sudah ditutup.

Pesan itu kukirimkan untuk membalas pesan bapak. Ponsel lantas kumasukkan kembali ke dalam tas.

"Alhamdulillah, ditungguin beneran."

"Sudah, Bu?" tanyaku.

"Sudah. Penghuni terakhir. Hehehe.. Yang lain udah pada diambil ternyata. Tinggal punya Rekta."

Aku mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum.

"Mau nunggu di dekat kelas? Yuk, saya anterin. Saya tahu kelasnya."

Aku tersenyum geli lagi. Mamamu ternyata lucu juga.

"Sekarang udah nggak sekelas sih, ya? Pantesan udah nggak pernah ngerjain tugas bareng di rumah, ya?"

"Iya, Bu."

Tahun lalu padahal aku juga cuma sekali mengerjakan tugas di rumahmu. Cuma sekali juga aku bertemu beliau. Setelah itu tak lagi karena kamu memutuskan untuk menjauh dan aku merasa tak seharusnya memaksakan kehendakku.

"Mas Senja bener nggak mau saya ambilkan rapornya? Tetap mau nunggu bapak?"

"Iya, Bu. Masa ibu yang ambilkan? Nanti kalau ditanya wali kelas ibu siapanya saya gimana, Bu?"

"Ya jawab aja, calon mertua."

Wajahku langsung terasa menghangat. Lima kata itu meluncur lancar sekali dari mamamu, seolah tak perlu dipikirkan terlebih dahulu, seolah memang kenyataannya begitu. Ya, aku berharapnya memang kenyataannya begitu.

"Kalian ini sama ya kalau lagi malu, nggak bisa disembunyiin."

Senyuman yang barusan terbentuk tanpa kusadari, mau tak mau langsung berusaha kuhapus dari wajah. Aneh, bisa-bisanya aku tersenyum tanpa sadar.

"Loh kelasnya udah kosong," kata mamamu saat kami sampai di depan kelasku.

"Iya. Hanya sampai jam sebelas. Kalau lebih nanti bisa diambil di ruang guru," jawabku seraya menuruni tangga.

Obrolan kami selanjutnya masih diisi tentang kamu. Mamamu masih tetap sebagai penutur dan aku masih tetap menjadi pendengar. Kalau kamu ada di sini, pasti sudah protes dan meminta mamamu berhenti bercerita saking malunya.

"Ya gitulah Rekta, Mas. Harus sabar nunggu dia mau cerita, nggak bisa dipaksa. Kalau dipaksa ya tambah menghindar. Nanti yang sabar, ya?"

Aku mengangguk-anggukkan kepala.

"Mau nunggu bapak di mana?"

Pertanyaan itu dilontarkan begitu kami sampai di pintu masuk utama gedung sekolah. Di luar pintu ada pohon beringin besar tempatku tadi duduk menunggu bapak, tempat di mana mamamu tadi menemukanku.

"Di sini aja, Bu. Biar langsung kelihatan kalau pas bapak datang," jawabku seraya menghentikan langkah di bawah pohon beringin.

"Ya udah. Bener ini nggak saya ambilkan saja? Tawaran terakhir loh ini.."

"Hahaha.. nggak usah, Bu. Makasih. Saya sebenarnya lebih khawatir ibu mendengar laporan kelakuan saya di sekolah dari wali kelas. Nanti ibu syok."

"Aaah.. memangnya apa sih yang belum saya tahu? Rekta kan udah cerita semu... eh. Duh, padahal udah dijanji nggak boleh bilang mas Senja."

Aku kembali tertawa. Entah ini sudah ke berapa kalinya. Mengobrol dengan mamamu ternyata semenyenangkan ini, ya? Pantas kamu bilang paling suka kalau mamamu sedang jaga pagi atau libur, jadi bisa bertemu beliau di rumah dan bercerita tentang apa saja.

"Ya udah. Saya pulang duluan ya kalau gitu. Kapan mau maen ke rumah?"

Eh? Semendadak ini?

"Iya, Bu. Nanti ke rumah."

"Bener, ya? Kan udah mulai liburan. Maenlah ke rumah. Biar Rekta nggak belajar terus. Mama capek liatnya."

Aku menganggukkan kepala dengan pasti dan mengembangkan senyuman terlebar yang kupunya. Tunggu.. Mama? Beliau mengubah kata ganti panggilan untuk dirinya sendiri menjadi mama. Ah mungkin hanya keseleo lidah saja. Tapi, rasanya juga baru hari ini aku mendengar beliau memanggilku dengan sebutan mas. Waktu aku ke rumahmu bersama Eko dan Dewi tahun lalu, sepertinya beliau memanggil kami semua dengan nama saja. Tak ada sebutan khusus. Atau aku salah ingat?

Tanganku disentuh. Buru-buru aku mengulurkan tangan, menyalami beliau.

"Duluan, ya?" pamitnya yang kemudian meninggalkanku.

***

Arik masih sibuk menelpon di depanku, di seberang meja. Pesanan makan malam kami juga belum datang. Aku jadi ikut mengeluarkan ponsel, mengecek kalau-kalau ada pesan masuk darimu selama perjalanan dari kantor ke tempat makan ini. Tak ada. Yang kutemukan justru pesan dari Mbak Adel. Apa lagi kalau bukan urusan pekerjaan.

"Kawin gini amat, yak?" Arik mengucapkan itu disertai keluhan. Ponselnya lantas diletakkan ke atas meja dengan cukup keras.

"Kenapa?" tanyaku.

Pertanyaanku tak langsung dijawab, terjeda oleh pelayan yang meletakkan minuman pesanan kami di atas meja.

"Tehnya di arah jam sebelas, gulanya terpisah di sebelahnya ya, Kak."

Aku menoleh dan langsung tersenyum lebar, berterima kasih pada pelayanan yang baru saja meletakkan minuman di sebelahku sekaligus menjelaskan posisinya. Ini pertama kalinya aku bertemu pelayanan seperti ini. Kaget, tapi senang.

"Aku nggak salah denger kan tadi?" tanya Arik, sama senangnya denganku.

"Nggak salah, kok," jawabku sebelum menyeruput teh hangat. "Yang nerima pesanan tadi sama orangnya?"

"Beda. Tapi yang tadi juga ramah, loh. Mau gitu jelasin, sabar banget."

"Cocok. Besok-besok bisa ke sini lagi sendirian berarti. Jadi, gimana? Kawin kenapa kawin?"

Arik mengembuskan napas. "Nggak papa. Masalah rumah tangga."

"Hmm..."

"Heran, padahal anak sudah sama bapaknya loh. Bisa-bisanya dikomenin di grup keluarganya Fais tuh. Katanya waaah.. enaknya ibunya bisa maeeen.. kalau aku mana tega ninggalin anak gitu." Arik mengubah suaranya sewaktu menirukan komentar keluarga Fais.

"Kok bisa jadi bahasan di grup?" tanyaku heran.

"Ya itu, sepupunya Fais ada yang sok nanyain Ose lagi ngapain. Terus difotolah sama Fais kalau mereka lagi main berdua di rumah. Terus ditanyain, ibunya ke mana kok cuma sama ayahnya. Dijawablah aku lagi keluar. Udah tuh, langsung komen-komen keluar. Pada muji-muji Fais sama nyudutin aku. Lah padahal kan Ose anaknya Fais juga. Kaya yang hebaaaaaat banget gitu ya kalau ada bapak-bapak ngasuh anak. Kaya yang salaaaaaaah banget ya kalau ada ibu ninggalin anak sama bapaknya?"

Aku meraih es teh di hadapanku, mendorongnya pelan. "Minum dulu. Tarik napaaaas."

"Gimana caranya minum sambil tarik napas? Dihirup ke paru-paru gitu es tehnya?" tanya Arik. "Kasih perintah yang bener napa?"

Aku tak bisa menahan tawa. Padahal sebenarnya aku kasihan padanya, niatnya ingin bersimpati padanya, malah jawabannya membuatku tertawa.

"Dapet laki bener, adik-adiknya baik, mertua baik, eh sepupunya yang reseh. Sama aja tuh sama emaknya, budhenya si Fais. Dulu dia yang paling rajin nanyain udah hamil belum, kok ga isi-isi, bisa bikin nggak, coba periksa. Astaghfirullahaladziim.."

"Sabar, Riik.. Sabaar.."

"Sabar sabar mulu. Iih, gini nih nggak enaknya curhat sama kamu. Disuruh sabar mulu. Yang kaya gini nih enaknya emang cerita sama Tata, kok. Paling bener udah kalau sama dia tuh. Tau kudu ngapain, kudu komen apa, nggak cuma nyuruh sabar sabar kaya kamu."

"Laaah.. emang dia bakalan bilang apa kalau kamu curhatin kaya gini? Nyantet? Ngajak ngelabrak? Tawuran?" tanyaku.

Obrolan kami kembali dijeda oleh pelayan yang mengantarkan makanan. Bukan orang yang sama. Makanan kami hanya diletakkan di atas meja begitu saja tanpa penjelasan apa-apa. Ternyata memang bukan standar prosedur di tempat ini untuk memberikan penjelasan, hanya kepedulian personal saja. Untungnya pesanan makananku hanya disajikan dalam satu piring, jadi aku masih bisa menentukan sendiri di mana posisi steak, mixed veggie , dan potongan kentang.

"Bisa?" tanya Arik saat aku memotong-motong daging.

"Bisa, lah. Cuma kaya gini."

"Ya santai, dong. Nggak usah ngegas jawabnya," balas Arik dengan mulut yang sudah berisi makanan.

"Siapa yang ngegas. Ya Allah, dari tadi salah mulu."

Aku mulai menyiramkan saus setelah selesai memotong daging dan kentang menjadi potongan-potongan sekali suap, lalu menikmati steak daging yang kata Arik adalah menu andalan di tempat ini.

"Istri kerja dibilang bukan istri yang baik. Katanya perempuan yang baik itu di rumah, ngurus anak sama suami. Eh begitu resign, ikut Fais merantau, milih jadi ibu rumah tangga, dikomen lagi katanya perempuan kok cuma jadi beban suami. Jadi maunya apa coba?" Arik mengomel lagi. Masih berlanjut ternyata.

Aku memilih mendengarkan saja terlebih dahulu. Sepertinya masih ada yang perlu dia ceritakan.

"Emang ya, Ja. Nikah itu yang berat ada di omongan orang."

"Omongan orang gimana?"

"Ya gitu. Yang ngejalani baik-baik aja, eh yang nggak ngejalani komeeeeeen mulu, ikut ngatur-ngatur. Kalau nggak kuat ati, bisa kan terpengaruh."

Aku mengangguk-anggukkan kepala sambil menikmati makan malam.

"Jangan-jangan ayahnya Rekta tuh kena pengaruh omongan orang, Ja. Bisa jadi, loh. Kan dulu baik-baik aja sama kamu. Pas kamu sakit waktu SMA dulu, yang sering nganterin Rekta sama nemenin dia di rumah sakit nungguin kamu tuh ayahnya Rekta, loh."

Kunyahanku memelan. "Oh ya? Kok bapak sama umi bilang belum pernah ketemu?"

"Ya nggak tau, ya. Emang ngepasi nggak ketemu kayanya. Kan bapak sama umi juga nggak di rumah sakit terus. Gantian sama aku jaganya."

Aku meraih gelas, mendorong makanan yang mendadak terasa sedikit lebih sulit untuk kutelan.

"Kamu pernah diajak ke acara keluarga besarnya Rekta?" tanya Arik lagi.

"Pernah. Kebanyakan di keluarga besar mamanya. Kalau ayahnya nggak pernah, sih. Nggak pernah ada acara keluarga juga kayanya."

"Terus mereka responnya gimana pas ketemu kamu?"

"Biasa aja."

"Ya mungkin di depan kamu biasa aja. Bisa jadi di belakang kamu mereka ngomongin, pesen macem-macem ke orang tuanya Rekta. Kan kita nggak tau."

"Kamu nih hobi apa gimana sih? Suka bener nambahin pikiran orang."

Arik tertawa pelan. Akhirnya aku bisa mendengar tawanya malam ini. Agak lega juga setelah mendengarnya, paling tidak aku tahu bahwa dia sudah tidak apa-apa.

"Ngomong-ngomong Tata ke mana? Kok seharian nggak ada kabarnya?"

"Harusnya sih tadi jaga pagi kalau nggak salah. Aku juga masih nunggu kabar. Seharian dia belum balas pesan."

"Nggak sakit, kan?"

Aku langsung ingat, pulang dari Jogja kemarin kamu tak terlalu banyak bicara. Alasanmu hanya lelah dan ingin istirahat saja.

"Makan dulu," kata Arik, tahu aku sedang akan meletakkan garpu untuk menghubungimu.

Tapi, aku tak tenang. Tetap saja meletakkan garpu lalu meraih ponsel dan membuat panggilan di nomormu. Dua kali aku melakukan panggilan di aplikasi yang biasa kita gunakan untuk berkirim pesan. Tak ada jawaban. Akhirnya aku melakukan panggilan telpon biasa. Nomormu tak aktif rupanya.

"Kenapa? Nggak aktif?" tanya Arik. Nada di pertanyaannya terdengar khawatir.

Aku mengangguk. Sekali lagi aku membuat panggilan, hanya sekedar meyakinkan diri bahwa benar nomormu tak aktif dan memang benar.

"Ja?"

"Bentar, Rik." Aku menarik dompet dari dalam saku celana, menyorongkan benda itu di atas meja ke arah Arik. "Tolong bayar sekalian pesenin makan buat Rekta. Apa aja yang penting nggak pedes."

Arik yang sebenarnya masih makan langsung mengambil dompet dari tanganku dan beranjak meninggalkan meja. Aku kembali membuka whatsapp, kali ini untuk mencari nama di daftar kontak. Nama yang sudah lama kusimpan, yang sebenarnya paling tak ingin kuhubungi, tapi kali ini harus. Hanya dia yang bisa kumintai info tentangmu sekarang.

"Halo?" Panggilan langsung diterima setelah nada sambung pertama.

"Dian, ini Senja."

"Iya, Mas. Gimana?"

"Lagi jaga?"

"Iya. Jaga siang ini."

"Tadi Rekta masuk pagi ya, Di?"

"Iya, Mas. Masuk pagi. Tadi ketemu pas operan jaga bentar. Buru-buru pulang anaknya."

"Oh, ya udah."

"Oh iya itu. Tadi dia demam, cuma kusuruh ke IGD nggak mau, mau pulang aja katanya, istirahat di rumah."

"Iya. Makasih ya, Di." Aku mengakhiri panggilan, lalu kembali mencoba melakukan panggilan di nomormu yang ternyata masih tak aktif.

Arik mengembalikan dompetku lalu kembali duduk. "Nunggu dulu, pesanannya lagi dibikinin."

"Habis ini ke rumahnya Rekta ya, Rik?"

Arik mengiyakan. Aku menunggunya menyelesaikan makan. Aku sendiri sudah tak ingin melanjutkan makan lagi. Yang ada di pikiranku sekarang adalah kamu.

"Rekta sakit, Ja?"

Aku mengangguk. "Barusan aku telpon Dian, katanya tadi pagi masih jaga, tapi pas pulang demam."

"Dian? Dian yang itu?"

Aku mengangguk lagi.

"Kalau pernah kena covid gitu katanya bisa kambuh ya, Ja? Apa namanya? Long covid?"

Arik tahu kamu pernah sakit.

"Dia dulu parah ya, Rik?"

"Sampai masuk ICU."

"Kok kamu nggak pernah cerita?"

Protesku tak langsung dijawab. Arik menyudahi makan, menumpuk piring-piring kami menjadi satu sebelum kemudian menyedot habis isi gelasnya.

"Kan waktu itu kalian putus. Kalian yang putus. Aku sama dia nggak. Dia tetep sodara perempuanku. Jadi waktu dia mohon buat nggak cerita siapa-siapa, nggak ke kamu, nggak ke umi, ya aku turuti."

"Tapi waktu aku sakit, kamu cerita ke dia?" tanyaku.

"Nuduh mulu. Reno yang ngasih tau. Udah, nggak usah merasa bersalah. Yang udah ya udah, sih."

"Masalahnya..." Aku tak menyelesaikan kalimat yang sudah ada di kepala.

Arik kembali menyedot isi gelas yang sudah tinggal es batu, membuat suara menyebalkan sampai aku harus meraih gelasnya agar dia berhenti. Untungnya makanan yang kupesan untukmu datang, mencegahku mengomeli Arik malam ini.

Lagi. Di perjalanan dari tempat kami makan ke rumahmu, yang bisa kupikirkan hanya kamu. Kamu yang sedang sakit dan pasti melewatkan makan seperti biasa. Kamu yang selalu memilih untuk tidur saja setiap kali tak enak badan. Kamu yang selalu mengatakan 'nggak papa' setiap kali kutanya. Kamu yang selalu saja...

"Yakin dia di rumah, Ja?" tanya Arik. Mobil yang kami kendarai dikurangi kecepatannya lalu dihentikan. "Gelap rumahnya."

"Dicoba aja, Rik." Aku melepas sabuk pengaman. "Temenin masuk," pintaku sambil bergegas keluar mobil.

Arik menutup pintu mobil lalu mengajakku memasuki halaman rumah. Pintu pagar rumahmua tak terkunci seperti biasa. Tapi pintu depan tidak. Aku mengetuknya beberapa kali seraya memanggil namamu. Arik di sisiku, berusaha menelponmu walau tahu nomormu tak aktif. Masih berharap tiba-tiba kamu menyalakan ponsel.

Entah setelah berapa menit, aku mendengar suara langkah kaki mendekati pintu dari dalam, namun masih tak ada sahutan. Tak lama, lampu teras dinyalakan lantas pintu depan dibuka.

"Reeed," seruku begitu menemukanmu berdiri di hadapanku.

"Ja," sapamu.

Hanya satu kata itu. Aku tak memberimu kesempatan mengatakan apa-apa lagi karena langsung menyentuh wajahmu, mengecek suhu kulit yang ternyata panas sekali. Demammu pasti tinggi.

"Berapa suhu terakhir?" tanyaku seraya mengajakmu duduk di sofa depan televisi di bawah tangga ruang keluarga. Arik mengikuti kita di belakang.

"Maaf ya, hape mati. Tadi sampe rumah langsung ketiduran. Pusing banget," katamu.

"Udah makan?" tanyaku.

"Belum. Mual, tadi siang makan tapi terus muntah, belum makan lagi."

Aku menghela napas. Sudah kuduga. "Badan kamu panas banget, Red. Ke rumah sakit, ya?"

"Nggak usah, nggak papa. Istirahat aja sama tadi udah minum obat."

Tiba-tiba terdengar bunyi seperti nada tombol telpon yang ditekan, dekat sekali dengan wajahku.

"EMPAT PULUUH?" seru Arik, membuatku langsung menoleh padanya.

"Apa, Rik?" tanyaku.

"Kamu beneran udah minum obat, Ta?" tanya Arik.

"Udah, habis ashar tadi."

"Kalian bahas apa?" tanyaku dengan kesal.

"Ini, suhunya Tata empat puluh, Ja. Barusan kucek." Akhirnya Arik menjelaskan.

"Udah, kita ke rumah sakit pokoknya." Aku memaksa dengan suara yang cukup keras. Kesal sekali aku kalau kamu seperti ini, tak peduli pada kesehatanmu sendiri.

Ya, aku memaksa. Kamu memang harus dipaksa untuk urusan seperti ini. Aku selalu heran padamu. Padahal kamu itu perawat, tapi mengapa susah sekali untuk diajak periksa kalau sakit. Suka sekali menunda minum obat atau periksa kalau ada keluhan. Pasti ditahan dulu.

Arik tak protes sewaktu aku ikut duduk di kursi penumpang belakang untuk menemanimu. Kamu juga tak lagi protes sewaktu aku melingkarkan lengan di bahumu, memelukmu. Tak ada obrolan apa-apa selama perjalanan. Sepertinya tubuhmu sudah lemas sekali dan hanya ingin tidur saja.

Perjalanan kita cukup lancar. Mungkin karena sudah malam, jalan sudah tak seramai sore tadi. Arik menghentikan mobil di area drop off IGD rumah sakit tempatmu bekerja. Dian sudah menunggu kita di sana. Tadi aku sempat menelponnya saat menunggumu berganti pakaian dan Arik membantu menyiapkan baju ganti, berjaga-jaga kalau yang terburuk terjadi dan kamu harus menginap di rumah sakit.

"Udah berapa hari demamnya?" tanya dokter jaga yang memeriksamu.

"Ini hari keempat," jawabmu.

Hari keempat? Berarti sejak hari Jumat kamu sudah mulai demam?

"Sore malem aja demamnya. Pagi biasanya turun," lanjutmu.

"Bener nggak sesak napasnya?" tanya dokter itu lagi.

Tak ada jawaban verbal darimu. Semoga benar tak sesak napas.

"Tapi ini saturasimu agak turun. Sementara tetap pakai oksigen, ya?"

Lagi, tak ada jawaban verbal darimu.

"Habis ini dipasang infus sama ambil darah buat cek lab, ya? Mau pasang sendiri apa dipasangin?" tanya dokter itu sambil menahan tawa.

"Biar pasang sendiri aja itu, Dok." Dian ikut masuk ke bilik tempatmu dirawat.

"Gimana ini, Mas? Jagoannya ruanganmu tumbang," kata dokter jaga. Bukan padaku pastinya.

Dian tertawa. Kamu juga, pelan, terdengar lemas. Aku tidak.

"Mas, Rektanya diobservasi dulu ya sambil nunggu hasil lab. Masnya nunggu di sini nggak papa." Dokter jaga itu berbicara tepat di hadapanku.

"Iya, Dok. Makasih," jawabku.

"Mas Senja, duduk." Dian meletakkan kursi di depanku, di dekat ujung tempat tidur yang kamu tempati. "Administrasi pendaftarannya barusan selesai diberesin adiknya Mas Senja. Ini lagi dipasang infus sama diambil darah Rektanya." Dian menjelaskan yang perlu kutahu dengan baik, cukup untuk membuatku merasa agak tenang.

"Iya. Makasih ya, Di," ucapku tulus.

Aku mendengar suara perempuan di belakang Dian, sedang berbicara padamu, meminta izin memasang infus.

"Iya, Mas. Santai aja. Apa sih yang nggak buat Rekta."

Aku tak tahu harus merespon bagaimana. Jadi, kuanggukkan saja kepalaku dan tersenyum sopan. Dian lantas meninggalkan kita.

Ponselku bergetar, ada pemberitahuan pesan masuk dari Arik.

Arik:
Udah ta beresin adminnya. Aku di luar ya. Cuma boleh ditungguin satu orang di dalem soalnya.

Me:
Iya. Makasih, Rik. Kamu masih bisa stay dulu, kan? Belum tahu mau opname apa ga soalnya.

Arik:
Iya. Tenang aja. Kalo ada apa², kabari.

Aku menutup aplikasi pengirim pesan, mengecek jam. Sudah jam setengah sepuluh malam. Artinya di Bali sudah jam setengah sebelas. Kemungkinan orang tuamu sudah tidur. Tapi aku tetap harus memberitahu mereka, jadi kukirimkan pesan singkat menyampaikan keadaanmu.

"Mas, sudah terpasang ya infusnya Rekta."

Aku mendongakkan wajah. Perawat yang tadi memasang infusmu berdiri di depanku.

"Iya, Mbak. Makasih ya?"

Dia mengiyakan lalu keluar dari bilik dan menutup tirai pembatas bilik.

"Ja?" panggilmu pelan.

Aku dengan cepat memindahkan kursi plastik ke sisi tempat tidur, mendatangimu, lalu duduk di sana. "Gimana? Masih pusing?"

Kamu meraih tanganku, menggenggamnya. Rasanya hangat sekali. "Maaf, ya?"

"Kenapa nggak bilang kalau kemarin demam? Malah masih ke Jogja, kehujanan."

"Kalau pagi nggak demam, jadi kupikir ya cuma kecapean dikit aja. Kuminumin obat udah turun. Lagian kan nggak enak, udah janji sama Putri."

"Dia kan pasti juga ngerti kalau kamu batalin karena sakit."

"Jangan marah." Kamu mengeratkan genggaman tangan.

"Aku nggak marah, Red," jawabku.

Aku tak marah, hanya kecewa saja pada diriku sendiri, merasa gagal menjagamu lagi.

"Aku belum ngabari ayah. Hapeku mati."

"Aku udah ngabari. Kamu istirahat aja."

"Kamu nggak kemana-mana, kan?" tanyamu.

Aku mengangguk, balas menggenggam tanganmu. "Udah, istirahat dulu," ucapku pelan.

Ponselku bergetar, sebuah pesan masuk. Aku meraihnya, membuka pesan, dan langsung kembali menghela napas.

"Kenapa, Ja?" tanyamu.

"Nggak papa. Udah, istirahat sana," jawabku sambil kembali memasukkan ponsel ke dalam saku.

Tak apa. Tapi hatiku tidak, apalagi setelah membaca pesan balasan dari ayahmu yang baru saja masuk tadi.

Ayah Rekta:
Iya, tadi sudah dapat kabar dari Dian.

Dian lagi. Sekali lagi aku menghirup napas lumayan dalam lalu mengembuskannya pelan.

Bersambung.

Continue Reading

You'll Also Like

5.1K 1K 28
Ben takut jatuh cinta. Ditinggalkan atas sebuah pengkhianatan adalah bukti ketakutannya untuk jatuh cinta. Tapi siapa yang bisa menentukan kita akan...
7.2K 1.1K 24
"Seperti berjalan, hubungan pun juga harus punya arah agar jelas kemana nantinya akan bermuara."
1.1K 102 23
*Kisah ini kolaborasi dengan @favorflavour. Supaya lebih kerasa bacanya, boleh cek akun beliau dengan judul yang sama. Wajib banget baca! Karena ceri...
2K 56 2
Rashida Khanza Shalimah, wanita tangguh yang mengalami begitu banyak kepahitan dalam hidupnya. Dua kali gagal naik ke pelaminan, dapatkah Khanza me...