Sembilan Belas

101 8 0
                                    

Aku menghelakan napas lega begitu sambungan telpon diputuskan. Satu lagi pelanggan yang puas dengan informasi yang kuberikan. Syukurlah. Hari ini panggilan masuk cukup banyak, sebagian besar menanyakan tentang produk baru yang akan diluncurkan, sisanya berisi komplain yang masih bisa kujawab dengan cukup baik kurasa.

"Udah. Pulang." Adri terdengar sibuk dari meja sebelah. Sepertinya sedang bersiap-siap pulang.

"Iya, Dri," jawabku sambil mematikan laptop.

"Eh, Kaia. Udah mau pulang?" tanya Adri.

Suara ketukan sepatu Kaia terdengar semakin dekat, lalu berhenti di sisiku.

"Belum, Dri. Habis ini nggak pulang, kok. Mau kencan sama Senja dulu. Iya kan, Ja?" katanya.

Aku hanya menganggukkan kepala.

"Kencan? Tunggu.. tunggu.." Adri, seperti biasa, menanggapi dengan penuh keseriusan. "Sejak kapan kalian jadian? Bukanya kamu punya pacar, Ja? Emang beneran ya kamu udah putus?" tanyanya polos.

"Emang kalau dia punya pacar, nggak boleh gitu kencan sama aku? Lagian ya, kalau pun dia masih punya pacar, pacarnya kan di Jogja, jauh." Kaia menumpukan tubuh di pembatas bilik kerjaku, membuat dinding pembatas tipis itu sedikit bersuara.

Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya.

"Udah? Selesai?" tanyaku sambil berdiri kemudian menggendong ransel ke punggung dan meraih lipatan tongkat dari atas meja.

Kaia tertawa, mengabaikan Adri yang masih saja sibuk menuntut penjelasan. Dia bahkan mengikutiku dan Kaia, sampai-sampai menanyakan ke beberapa orang yang kebetulan keluar dari ruangan bersamaan dengan kami.

"Nggak, Dri. Aku sama Kaia cuma mau ke acara reuni kampus barengan. Nggak kaya yang kamu pikir," jawabku akhirnya, tak tahan lagi dengan rasa penasaran manusia itu.

"Tuh, Dri. Nggak mungkin. Lagian kalau emang mereka kencan ya kenapaaaa? Kayak kamu berani deketin Kaia aja," kata Mas David yang langsung disambut tawa anggota tim lainnya.

Adri menghelakan napas lega. Tunggu. Adri menghelakan napas lega? Jangan-jangan dia benar-benar naksir Kaia seperti yang selama ini dia katakan? Jangan-jangan selama ini dia tidak bercanda? Beberapa kali memang kudengar Adri memuji gadis itu, menanyakan beberapa hal tentang Kaia yang dia pikir aku tahu. Kupikir selama ini hanya sekedar penasaran saja, ingin sekedar mengenal saja.

"On your left," kata Kaia, diikuti suara alarm mobil saat kuncinya dibuka.

Aku segera membuka pintu penumpang begitu menemukan hendelnya, melipat tongkatku, lalu masuk. Kaia sudah ada di belakang kemudi, di sisiku. Aku menurut saat dia memintaku untuk memasang sabuk pengaman.

"Sudah ada yang di TKP," katanya begitu mobil kami melaju dengan stabil.

"Oh." Aku mengangguk-anggukkan kepala.

"Kenapa sih, Ja? Kayanya nggak semangat gitu? Semangat doong... Mau reunian ini loh." Kaia menepuk bahu kananku pelan. "Akhirnya setelah... berapa tahun? Tiga ya? Bisa ngumpul lagi sama mereka."

Aku mengangguk-anggukkan kepala lagi. Dia bersemangat sekali. Aku tahu, semenjak dulu Kaia memang selalu menjadi manusia yang bersemangat seperti ini. Sejak pertama kali mengenalnya, belum pernah sekali saja aku mendengarnya berbicara dengan nada rendah. Bukan dalam arti yang buruk. Maksudku, nadanya selalu riang, selalu menyenangkan untuk didengar. Dia selalu berhasil membuat ruang kemahasiswaan ramai, selalu bisa mencairkan suasana. Bahkan pada orang-orang yang baru saja dikenalnya.

"Siapa saja yang positif dateng?" tanyaku. Seharian aku tak sempat membuka obrolan grup. Membuka sih, tapi tak membaca setiap isi pesannya secara lengkap. Hanya kubuka, lalu kututup lagi.

Merah MatahariWhere stories live. Discover now