Tiga Puluh

263 19 8
                                    

Aroma daging terbakar langsung tercium bersamaan dengan suara desisan terdengar. Tak jauh di belakangku, di arah pintu masuk restoran, seorang laki-laki menyambut pembeli yang baru datang dengan bersemangat, dengan bahasa yang aku tak paham.

"Nih, cobain bakar dagingnya." Kamu memasukkan penjepit makanan berukuran tak terlalu besar ke dalam genggaman tanganku.

"Iya, harus cobain sensasinya, Mas." Reno ikut berkomentar dari seberang meja.

"Kamu harus banget manggil dia pake 'Mas'?" tanya Dewi. "Nanti kalo udah nikah, aku juga harus manggil mas gitu ke Senja?"

"Ini tempat pembakarannya. Ini dagingnya, udah dimarinasi, jadi langsung dipanggang aja," lanjutmu seraya menyentuhkan ujung penjepit makanan yang kugenggam ke tempat-tempat yang kamu sebutkan. "Kalau secara struktur keluarga sih iya, Ei. Kan maminya Reno itu adiknya bapak. Orang Jawa bilang kamu tuh kalah awu, kalah tua di struktur keluarga. Termasuk nanti kamu juga bakalan manggil aku pake 'Mbak'," lanjutmu, menjawab pertanyaan Dewi barusan dengan sok serius.

Harus merasakan sensasinya. Baiklah. Aku menjepit daging dari piring, meletakkannya di atas pemanggang hingga suara mendesis terdengar lagi.

"Dih males banget," jawab Dewi.

"Diratain dagingnya biar cepet matengnya dan rata." Kamu menggenggam tanganku, memandu untuk meratakan daging yang sudah ada di atas panggangan.

"Awwww... romantis banget sih kaliaan," seru Dewi. "Aku juga mau gitu, Bi. Pegangin tanganku sini."

Kamu mendenguskan tawa.

"Kenapa?" tanyaku penasaran, ingin tahu apa yang sedang dilakukan dua manusia di hadapan kita itu.

"Reno tuh, Ja. Nurut bener sama si Monyet ini. Disuruh megangin tangan langsung laksanakan. Jangan nurut-nurut, No. Kesenengen nanti dia."

"Takut kuwalat sama senior aku tuh kalau nggak nurut, Mbak. Eh, aduh!" Reno lantas mengucapkan maaf seraya tertawa. Entah bagian tubuh mana yang mendapat serangan fisik dari Dewi sampai dia harus berulang kali meminta ampun begitu.

Tawa kita lepas juga mendengar jawaban Reno tadi. Perbedaan umur mereka memang tak pernah luput dari pembahasan setiap kali kita berkumpul begini.

Aku mengembalikan penjepit daging ke genggaman tanganmu, menyerah. Tak tahan dengan asap yang menerpa wajah setiap kali daging-daging berbumbu itu mulai terpanggang.

"Cobain," katamu sambil meletakkan potongan daging matang ke atas piring. "Hati-hati, masih..."

"Panas." Aku menyelesaikan peringatanmu dengan tepat seraya menarik cepat tangan setelah ujung-ujung jemari kiriku menyentuh isi piring.

"Padahal udah pegang sumpit," katamu.

Aku meringis. "Kebiasaan, susah ilang," ucapku sebelum meniup makanan yang sudah terjepit di ujung sumpit lalu memasukkan suapan pertama ke mulut. Ya mau bagaimana lagi, aku harus tahu di mana tepatnya posisi makanan sebelum mengarahkan ujung sumpit, kan?

Manis, asin, gurih. Ketiga rasa itu berpadu dengan tekstur daging yang kenyal. Sebagai orang yang bukan penggemar daging, aku harus mengakui bahwa ini enak. Yah, sepadan dengan harganya juga, sih. Sekali makan di sini bisa kugunakan untuk sepuluh kali makan siang di warung soto dekat rumah.

"Pake selada, bawang putih, sama potongan cabe makannya," kata Dewi.

"Sejak kapan dia mau makan sayur selain sayur bayam sama sop?" Kamu kembali meletakkan daging ke atas piring.

"Mau, kok. Daun bawang yang di bubur ayam aku makan." Aku mengajukan pembelaan.

"Itu garnish, nggak kehitung sayur," protesmu cepat.

Merah MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang