Dua Puluh Enam

154 8 0
                                    

"Jangan yang itu, bapak-bapak banget!" kata Arik.

Aku menurut, kembali memasukkan batik ke gantungan baju di lemari. Ini batik ketiga yang harus kukembalikan ke sana karena Arik tidak menyetujuinya.

"Yang mana?" tanyaku tak sabar.

Terakhir kucek, jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih dua puluh menit. Itu sewaktu aku terbangun tadi, sebelum mandi, jadi mungkin sudah sekitar setengah jam yang lalu, dan pukul setengah sepuluh aku sudah harus sampai di tempat acara lamaran Reno.

"Coba arahin kameramu ke lemari," perintahnya.

Aku menurut lagi, mengarahkan kamera ponsel ke lemari, lalu mengikuti perintah Arik selanjutnya, mengeluarkan baju yang dia minta.

"Harus batik, ya?" tanya Arik. Dari nadanya, sepertinya dia masih belum menemukan yang cocok.

"Iya. Harus batik lengan panjang, cokelat," jelasku.

"Yee.. nggak usah ngegas, dong. Kan aku cuma nanya."

"Ini udah siang."

"Siapa suruh bangunnya kesiangan? Siapa suruh nggak nyiapin pakaian dari semalam?"

Astaga. Haruskah kujelaskan lagi? Padahal di awal panggilan tadi, sewaktu aku menyempatkan diri menerima panggilannya, sudah kukatakan bahwa semalam aku pulang larut karena ada jam kuliah yang berlanjut dengan diskusi kelompok. Lagipula dari awal aku tak meminta bantuannya untuk memilih baju. Dia saja yang sok-sokan mengatur, berkomentar tentang kemeja yang awalnya sudah melekat di tubuhku. Dan bodohnya, sama seperti biasa, aku menurutinya.

"Oiya, kamu ada kuliah ya semalam," katanya kemudian dengan santai. "Yaudah. Yang itu aja. Bagus kok. Nggak terlalu bapak-bapak."

Ya, mulai semester ganjil tahun lalu aku melanjutkan kuliah. Mbak Adel yang memaksaku, bahkan membantuku mencarikan beasiswa penuh. Dia sempat memarahiku karena aku menolak. Dia bilang aku menyia-nyiakan kecerdasanku hanya untuk duduk menerima telpon dan mendengarkan komplain pelanggan setiap hari. Katanya aku seharusnya melanjutkan kuliah agar dapat menggunakan ilmuku di bidang yang lebih benar. Katanya, bagian HRD perusahaan pasti akan sangat senang menerimaku bekerja di sana. Hanya saja, aku waktu itu tak bisa membayangkan akan sesibuk apa kalau harus kuliah sambil bekerja. Untungnya aku menemukan kelas khusus pegawai dan karena masih pandemi, perkuliahan sepenuhnya daring. Jadi Mbak Adel tak perlu melakukan paksaan yang lebih jauh karena akhirnya aku menurut.

Ponsel langsung kuletakkan ke atas meja. Bergegas aku melapiskan kemeja batik di luar kaos oblong yang sudah kupakai, melengkapi celana kain yang juga sudah ada di tubuhku semenjak tadi. Tak lagi peduli untuk menyeterikanya walaupun sudah lama sekali kemeja ini tak kupakai. Semoga tidak terlalu banyak kerutan di sana.

"Rambut dirapiin, jangan kaya orang bangun tidur," perintah Arik.

"Iyaaa," jawabku dengan tak sabar sambil melangkah ke arah pintu.

Aku meraih tas kulit kecil dari gantungan baju di belakang pintu lalu kembali ke dekat meja, menjelajahinya, memasukkan dompet ke dalam tas begitu menemukan benda itu. Sesaat aku terdiam, mencoba mengingat di mana meletakkan airpod karena tak merasa menemukannya saat mencari dompet tadi.

"Lihat tempat airpod-ku nggak?" Aku mengarahkan kamera ke atas meja.

"Ituh, di meja, mepet dinding, deket tempat tidur."

Aku mengikuti petunjuknya. Langsung mengembuskan napas lega begitu menemukan benda itu lalu memasukkannya ke dalam tas. Ya walaupun sebenarnya tanpa benda itu aku tak apa-apa, tetap saja akan lebih nyaman dan tidak mengganggu orang lain kalau aku memakainya. Jadi orang-orang tak perlu mendengar pembaca layarku yang lumayan cerewet itu.

Merah MatahariWhere stories live. Discover now