Dua Puluh Tiga

139 7 0
                                    

Untuk ketiga kalinya aku mengangkat tangan.

"Ya, Senja." Dari nada suaranya saat menyebut namaku, aku tahu Mbak Adel sudah mulai tak sabar.

"Mohon maaf, Mbak. Untuk kegiatan yang kemarin, surat permohonan pelaksanaan kegiatan dari klien sudah masuk sejak sebulan sebelumnya, tanggal permohonan pelaksanaan kegiatannya juga sama, tapi perintah untuk persiapan kegiatannya sangat mepet dengan hari kegiatan. Jadi, saya rasa, ini bukan sepenuhnya kesalahan kami." Protesku jelas, lelah terus-menerus disalahkan.

"Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Ini kerja tim. Rapat ini dilaksanakan untuk mengevaluasi kegiatan, hasil kerjaan kita semua. Saya rasa tidak salah sewaktu kita mencari tahu di mana masalahnya supaya ke depan tidak terulang lagi."

Aku mendengar komentar-komentar dengan suara rendah di kanan-kiriku. Termasuk dari Adri yang duduk tepat di sebelahku. Dia mencibir dengan suara pelan.

"Sudah ya. Saya lanjutkan." Mbak Adel melanjutkan. "Untuk kegiatan yang besok, karena ada tiga kegiatan yang waktunya berdekatan, jadi tim akan saya bagi rata kecuali Adri dan Senja. Kalian kan beban kerjanya tak sebanyak yang lain, jadi harus siap untuk membantu semua tim."

Aku mengangkat tangan lagi. "Beban kerja kami juga banyak, Mbak," protesku tanpa menunggu diberi kesempatan berbicara. "Jadi, jika boleh, saya minta dimasukkan ke tim-tim kecil juga."

Enak saja dia bilang beban kerjaku sedikit. Sedangkan kerjaanku saja bertumpuk karena beberapa anggota tim sering melimpahkan pekerjaannya padaku lalu mereka santai-santai, duduk bercerita sampai jam pulang.

"Susahnya nurut apa, sih?" Pertanyaan itu terucap dengan nada yang lumayan tinggi.

Aku langsung mengangkat kepala, terkejut dengan pertanyaan yang bagiku amat sangat tidak profesional itu.

"Sudah, sudah." Suara Mas David terdengar dari arah Mbak Adel. Dia pasti sedang berusaha menenangkan Mbak Adel sekarang.

"Kamu yang lanjutkan. Saya harus menerima panggilan!" kata Mbak Adel sebelum aku mendengar pintu ruang rapat terbuka lalu ditutup dengan sedikit dibanting.

"Senja, kamu nanti masuk tim dua, mengurus kunjungan klien, ya?" katanya.

"Mantap, Ja," bisik Adri pelan.

Aku tak tersenyum. Tak juga merasa bangga dengan apa yang baru saja aku lakukan. Entahlah.

***

Aku menarik tangan, urung melakukan ketukan lagi di pintu kayu yang ada di hadapanku. Tiba-tiba saja aku teringat rapat terakhir kami, pada perasaan tak menyenangkan yang kurasakan setelahnya. Tapi, kali ini Mbak Adel benar-benar sudah keterlaluan dan aku sudah terlalu lama menahan semuanya. Harus kuselesaikan sekarang.

Suara langkah kaki Mbak Adel terdengar mendekat. Lalu, pintu di hadapanku dibuka.

"Tadi saya sudah sampaikan ke Kaia kalau kalian berdua bisa pulang, nggak perlu menunggu saya. Ada yang harus saya selesaikan dulu." Dua kalimat itu langsung dia ucapkan begitu pintu terbuka. Dua kalimat yang cukup panjang. Mbak Adel sama sekali tak terdengar merasa aneh dengan ketukan yang kurasa cukup keras tadi. "Atau, ada yang mau kamu sampaikan ke saya?"

Aku salah. Dia bukan tak menyadari kerasnya ketukanku di pintu ruangannya. Dia hanya tak peduli. Tak berbeda dari biasanya.

"Saya tidak terima Mbak Adel terus-terusan menjadikan saya kambing hitam setiap kali ada masalah di pekerjaan." Aku benar-benar tak bisa menahan kata-kata itu untuk tak meluncur dari mulutku.

Merah MatahariWhere stories live. Discover now