Dua Puluh Satu

122 9 3
                                    

Ramai. Tentu saja. Kalau tak salah dengar, jumlah total undangan acara ini ada tujuh ratus. Belum plus one-nya. Mungkin sekali ada plus two atau plus three-nya juga. Belum lagi total anggota keluarga besar pihak umi dan bapak, lalu ada juga keluarga besar pihak mempelai pria yang tentunya di luar hitungan undangan. Walaupun acara resepsi dilaksanakan secara banyu mili, mengalir, di mana tamu hadir, bersalaman dengan kedua pengantin, makan, lalu bisa langsung pulang, tetap saja pastinya tamu menumpuk.

Untungnya, acara ini dilaksanakan di sebuah restoran yang memiliki ruang-ruang kecil terbuka. Di hari biasa ruang-ruang itu digunakan sebagai tempat makan lesehan, makan duduk di lantai dengan meja rendah. Untuk acara ini, meja-meja itu disingkirkan, diganti dengan meja penyajian makanan. Kata Arik sih seperti itu sewaktu kuminta menjelaskan kemarin. Untungnya lagi, untuk keluarga disiapkan dua ruangan khusus. Bisa kujadikan tempat bersembunyi seperti sekarang ini.

"Capek, Mas?"

Atau tidak. Bukan bersembunyi.

Reno menjatuhkan diri dengan cukup keras di sisiku. Spons kursi yang didudukinya sampai bersuara seperti mengeluarkan semua udara dari dalamnya.

"Nggak sih, No. Aku kan cuma duduk," jawabku sambil menurunkan volume film yang sedang kutonton lewat ponsel. "Lagian kan resepsinya juga baru mulai lima belas menit."

"Nggak berburu makanan?"

Aku mengangkat kedua alis, tak menjawab apa-apa.

"Ah, iya. Beneran deh, Mas. Aku tuh suka lupa kalau kamu tuh buta," katanya, membuatku melebarkan senyuman. "Atau Mas Senja mau kutemenin berburu makanan? Dimsum-nya enak, loh. Lasagna-nya juga."

"Ntar aja, No. Belum masuk jam makan siang juga. Masih pagi ini."

"Snack."

"Snack-mu berat. Ntar kudu nge-gym gila-gilaan lagi, loh."

"Intake kudu banyak, Mas. Biar kuat ngadepin hidup."

Aku tertawa. Obrolan kami dijeda oleh suara gamelan yang tiba-tiba terdengar. Tadi sempat kudengar pembawa acara mengatakan bahwa akan ada penampilan tari. Tapi, aku tak terlalu mendengarkan.

"Penampilan nari ya, No?" tanyaku.

"Iya. Karonsih."

Aku menoleh. Bukan Reno yang menjawab pertanyaanku.

"Hai, Ja," sapamu.

Aku menyunggingkan senyuman. "Hai, Red."

"Kayanya es krim enak, nih," celetuk Reno sambil berdiri. "Duduk," katanya. Padamu pastinya karena aku mendengarmu mengucapkan terima kasih.

Kursi di sebelahku kembali diduduki, tapi tak ada pembicaraan. Kita hanya duduk dalam diam. Aku mencoba menikmati alunan gamelan yang mengiringi sepasang penari di depan sana. Aku tahu sepasang, pasti sepasang karena katamu tadi ini adalah tarian Karonsih. Cerita tentang dua orang anak manusia, laki-laki dan perempuan, yang saling jatuh cinta, dipisahkan oleh jarak, lalu bertemu lagi.

Tawamu tiba-tiba terdengar. Pelan, berusaha ditahan. Aku langsung menoleh, ingin tahu ada apa.

"Yang nari laki semua, Ja. Bukannya jadi romantis, malah jadi lawak. Tapi lucu, sih," jawabmu tanpa kutanya.

Aku tersenyum. Rasanya masih sama. Masih semenyenangkan ini mendengar suaramu, tawamu. Mendengarmu menjelaskan hal-hal yang ingin kulihat tanpa aku perlu bertanya.

"Kamu apa kabar?" Aku tak lagi bisa menahan pertanyaan itu. Padahal baru tiga minggu.

"Baik," jawabmu. "Ini udah masuk stase terakhir praktik. Minggu ini selesai. Habis itu tinggal nyelesaiin tugas aja terus udah. Selesai."

Merah MatahariWhere stories live. Discover now