Sepuluh

135 9 3
                                    

"Cakep."

"Mantap memang."

"Kok bisa ya bening begitu?"

Komentar-komentar itu terdengar semenjak setengah jam tadi, sewaktu pegawai baru yang mereka bicarakan kemarin datang dan dipanggil masuk ke ruangan Mbak Adel.

"Katanya masih single, loh."

"Wah, cocok. Siapa tahu jodoh."

Lalu ada suara tawa dari yang lain.

Aku menggelengkan kepala pelan, segera memasang headset lalu menaikkan volume laptop yang sedang kudengarkan. Tak bisakah membahas yang lain? Rasanya tak terima saja mereka membicarakan Kaia seperti itu. Mau bagaimana pun, dia temanku.

Tubuhku sedikit berjengit kaget sewaktu tepukan pelan mendarat di bahu, selalu begitu setiap kali ada yang tiba-tiba menyentuh tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Aku menurunkan headset ke leher.

"Kenapa, Ja?" tanya Adri.

"Kenapa apanya?" tanyaku balik.

"Mikirin apa?"

"Nggak mikirin apa-apa. Udah, kerja sana."

Kedua tanganku sudah siap memasang headset ke telinga lagi sewaktu ada suara pintu dibuka, lalu Adri menepuk-nepuk bahuku berulang.

"Ja.. Ja.. bening," katanya.

"Selamat pagi, mohon perhatiannya semua." Suara tegas Mbak Adel terdengar cukup keras, membuatku memutar kursi ke arahnya. "Mulai hari ini kita ketambahan satu anggota tim baru, namanya Kai. Dia akan menggantikan Reina, sekretaris saya. Mohon kerja samanya. Untuk meja kerjanya nanti di dalam ruangan saya."

Desahan kecewa terdengar hampir dari seluruh penjuru, termasuk dari sisiku, Adri.

"Secantik apa emangnya, Dri? Sampe kayanya nyesel banget gitu meja dia di dalam?" tanyaku pelan.

"Lumayan lah buat pemandangan. Daripada liatin muka asemmu terus tiap hari."

Senyumku geli kemudian, bersiap kembali mengerjakan alih bahasa bahan presentasi yang harus selesai hari ini.

"Senja? Kamu kerja di sini?"

Yak. Padahal aku tadi sengaja tak berdiri dari bilik kerja agar tak terlihat. Kursi kembali kuputar.

"Hai, Kai." Aku melebarkan senyuman. "Selamat bergabung. Semoga betah."

Kaia tertawa kecil. Semua mata pastinya sedang mengarah kepada kami, pada Kaia yang semenjak kemarin memang sudah menjadi bahan perbincangan.

"Yes. Berarti bakalan ada temen makan siang terus," katanya sebelum melangkah ke meja Adri, memperkenalkan diri padanya.

Suasana ruang kerja sedikit gaduh. Aku tak peduli. Bukannya sedari dulu aku sudah belajar untuk tak peduli pada apa yang orang lain katakan? Harusnya sekarang aku sudah terlatih, kan?

"Waa.. parah kamu, Ja. Nggak bilang-bilang kalau kenal sama dia." Adri melancarkan protes dengan jelas. "Katanya dia masih single? Beneran, Ja?"

"Jam kerja." Aku menutup telinga, kembali larut pada pekerjaan yang harus kuselesaikan.

Kegiatan kunjungan tinggal dua hari lagi, makanya semua dokumen harus selesai hari ini. Mbak Adel paling tak suka kalau acara tak ada persiapan yang cukup. Ironis sekali mengingat perintah darinya sering sekali turun mendadak. Ya walaupun kemarin sore dia tak mau mengakui. Tetap saja.

Aku membutuhkan waktu cukup lama untuk mengerjakan laporan. Bukan karena ada gangguan, tapi karena aku harus mengatur ulang kalimat laporan yang berbahasa Indonesia. Banyak sekali kalimat tak efektif yang mengusikku. Awalnya aku tak ingin peduli, tapi karena ada cukup banyak kalimat yang terasa tak selesai, atau tak adanya keterkaitan antar kalimat, rasanya mengganggu sekali. Pantas saja Mbak Adel bilang kalau masih perlu perbaikan di sana-sini waktu menyerahkan file tadi pagi.

Merah MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang