Tiga Puluh Tiga

161 9 3
                                    

"Iya, Bu?" tanyaku sambil memberi kode pada Adri untuk tak menungguku, lalu kembali duduk.

"Mas Senja sudah pulang?"

"Belum, Bu. Masih di kantor."

"Aduuh, maaf, ya? Mama kira sudah pulang. Maaf ya ganggu."

"Nggak kok, Bu. Ini sudah selesai kerja. Baru siap-siap pulang."

"Oooh, alhamdulillah." Mamamu mengambil jeda. "Maaf ya kemarin itu kondisi masih ribet pas telpon Rekta. Jadi mama nggak bisa ngobrol sama Mas Senja."

Embusan napasku langsung lega. Pikiran buruk yang sempat mampir di kepala tadi langsung terangkat hilang. Awalnya kupikir ayahmu yang menelpon. Lalu sewaktu ternyata mamamu yang menelpon, kupikir beliau mewakili ayahmu untuk menyampaikan sesuatu terkait insiden minggu lalu. Ternyata tidak.

"Ini, besok itu mama mau keliling cari oleh-oleh. Mas Senja mau nitip apa?"

"Nggak usah repot-repot, Bu," jawabku sopan.

"Eeh, nggak repot, kok. Mau makanan, tas, atau kaos?" Mamamu terdengar bersemangat.

"Apa aja, Bu. Senja sih yang penting bapak sama ibu sehat-sehat aja, biar bisa menikmati liburan."

Mamamu tertawa di ujung telpon sana.

"Belum bisa menikmati ini, Mas. Si ayah sibuuuk. Kan peserta pelatihannya dibagi jadi kelompok-kelompok kecil gitu. Jadi ngajarnya gantian. Sehari bisa kali si ayah ngisi empat kelompok. Habis magrib baru pulang. Terus si Budhe juga baru bisa nemenin jalan besok. Jadi baru besok cari oleh-olehnya."

Budhe, budhemu, kakak sepupu mama. Sama sepertimu, mama adalah anak tunggal. Tapi, sepupu mamamu banyak dan banyak yang dekat. Beberapa kali aku bertemu mereka di acara keluarga, sudah sering juga mendengar ceritamu tentang mereka. Terutama tentang budhemu yang tinggal di Bali ini, sepupu yang paling dekat dengan mamamu. Anak-anak beliau juga cukup akrab walaupun jarang bertemu.

"Nanti kalau ada yang mau dititip, kabari ya? Wa ke mama aja. Ini mama pakai telpon si ayah soalnya telpon mama mati, baterainya habis. Oiya, sekalian tanyain ke bapak, ibu, mbak Arik juga, mau dibawain apa dari sini."

"Iya, Bu. Nanti ditanyain," jawabku dengan kedua ujung bibir terangkat.

"Mbak Arik masih di Solo, kan? Belum balik Kalimantan, kan?"

"Belum, Bu. Minggu depan baru balik ke sana. Kebetulan suaminya ada tugas di Jogja minggu ini."

"Ooh.. sip sip. Nanti kabari mama ya? Bener, loh."

"Iya, Bu. Siap."

"Ya udah, hati-hati di sana. Jaga kesehatan. Nitip Rekta ya, Mas. Mama masih suka was-was kalau ninggalin dia sendirian. Suka langsung tidur aja kalau capek dia, terus jadi nggak makan."

"Iya, Bu."

"Oh iya. Tentang ayah.." Suara mamamu dipelankan. "Mas Senja tenang aja. Nggak usah terlalu dipikirin, ya? Cuma butuh waktu aja. Mas Senja sama Rekta yang sabar. Yang penting jangan menyerah aja. Coba terus. Ya?"

"Iya, Bu."

Senyuman kembali terbentuk di wajahku tanpa kusadari. Ada kelegaan yang lebih lagi dibandingkan tadi. Ya walaupun aku tahu bukan hal yang mudah untuk memenangkan hati ayahmu. Tapi dengan begini, mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh mamamu tadi, tetap saja membuat hati lebih nyaman.

Panggilan lantas diakhiri. Tapi, baru saja aku mau berdiri, panggilan lain masuk.

"Aku udah di depan gedung kantor kamu. Cepetan. Laper."

Arik mengakhiri panggilan tanpa memberikan kesempatan padaku untuk mengatakan satu kata saja. Dasar. Untung adikku. Kalau bukan...

"Udah?" tanya Adri. Ternyata dia belum pergi.

Merah MatahariWhere stories live. Discover now