Enam Belas

111 8 2
                                    

Tidak ada pekerjaan tambahan. Beberapa hari ini aku bisa lebih berfokus pada tugas utamaku di kantor, tak ada lagi panggilan dadakan untuk mengerjakan ini itu lagi. Mungkin karena sekarang sudah ada Kaia yang posisi duduknya lebih dekat dengan Mbak Adel, keterampilan bahasa Inggrisnya sangat mumpuni, dan yang lebih penting adalah bahwa memang tugas utamanya di sini sebagai sekretaris Mbak Adel. Mungkin. Atau mungkin juga karena kejadian minggu lalu itu.

"Ja, ikut makan siang keluar, yuk!" ajak Adri begitu masuk jam istirahat.

"Aku bawa bekal, Dri," tolakku halus seperti biasa.

"Kan bisa bekalnya di makan di sana. Ayuklah, Ja. Sekali-kali."

Baiklah, aku menyerah. Tak ada salahnya juga kan menuruti Adri sekali-kali. Aku melingkarkan tas di dada, menjinjing tas bekal makan siang, lalu mengikuti Adri yang langsung disambut beberapa orang anggota tim yang ikut makan siang bersama. Seperti yang sudah kuduga, komentar mereka seragam: tumben. Tumben aku mau bergabung dengan mereka. Tumben aku mau ikut makan siang di luar kantor. Responku tak perlu panjang, cukup tertawa kecil saja dan menganggukkan kepala. Toh mereka pastinya tak memerlukan jawaban juga, kan?

Siang ini kami makan sate kambing, sedikit agak jauh dari kantor. Perjalanan yang kami tempuh sedikit agak lama, cukup untuk membuatku mendengarkan banyak obrolan tentang politik, olah raga, juga tentang isu virus penyakit yang sedang melanda beberapa negara itu. Aku tak berkomentar apa-apa, hanya mendengarkan dan menjawab jika ditanya saja.

"Senja nggak makan sate?" tanya Mas Agung saat mereka selesai memesan makanan.

"Nggak, Mas. Bawa bekal," jawabku sambil mengeluarkan kotak bekal dari dalam tas, meletakkannya ke atas meja.

"Padahal mau ditraktirin sama Trias loh ini," kata Mas Agung lagi yang langsung disambut protes Mas Trias dan suara tawa yang lain.

Sudah. Tak ada obrolan yang melibatkanku lagi. Jadi aku mulai menikmati makan siangku saja sambil mendengarkan mereka.

"Kamu nggak suntik dulu, Ja?" bisik Adri yang duduk di sisiku.

Aku sedikit menggelengkan kepala, berharap yang lain tak memperhatikan. Aku sedang malas menjawab pertanyaan dan komentar dari orang-orang yang duduk semeja dengan kami sekarang. Sepertinya Adri memahami maksudku. Dia tak lagi bertanya.

Ya, aku tahu aku salah. Seharusnya aku memang menyuntikkan insulin dulu, tidak langsung makan seperti ini. Tapi jika kulakukan di sini, di hadapan mereka semua, pasti aku akan harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama dengan pertanyaan Adri waktu itu. Aku sedang tak ingin melakukannya sekarang. Tak ingin menjadi pusat perhatian juga. Pun menjadi obyek belas kasihan mereka. Dan ya, aku tahu kamu pasti akan mengamuk padaku jika tahu.

Kamu. Seharusnya aku tak lagi perlu memikirkan pendapatmu, apa yang akan kamu katakan, kamu lakukan, bagaimana reaksimu tentang apa pun yang kulakukan. Bukankah aku sudah melepaskanmu? Bukankah seharusnya aku berhenti memikirkan tentangmu sejak mengambil keputusan itu?

"Ngomong-ngomong, Ibu Bos sekarang jarang keluar ruangan. Ngurung terus yak." Entah siapa yang berkomentar. Kalau tak salah suara Dion.

"Ya kan sudah ada sekretaris di ruangannya. Udah nggak butuh keluar-keluar lagi."

"Ada bagusnya sih, jadi rada tenang gitu kerja. Ya asal bukan karena ngambek aja gara-gara si Senja nih."

Aku hanya menyunggingkan senyuman separuh, tak terlalu berniat tersenyum.

"Bisa jadi sih. Soalnya kan biasanya semua pada nurut-nurut gitu sama dia. Hayoloh, Ja. Gara-gara kamu, tuh. Hahahaha.." Mas Agung ikut berkomentar.

"Memangnya kuapain sih, Mas?" tanyaku akhirnya.

Merah MatahariOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz