Lima Belas

126 11 5
                                    

Siraman air dingin ternyata cukup ampuh untuk membantu menyamankan tubuh setelah seharian berkutat dengan pekerjaan kantor. Tak harus air hangat. Apalagi jika untuk bisa mandi air hangat, aku harus memanaskan air di atas kompor terlebih dahulu.

"Nah kan jatuh. Sudah dibilangin ngeyel, sih."

Aku menjatuhkan diri di sofa depan televisi, tepat di sisi umi yang sedang menonton sinetron favoritnya.

"Malem-malem keramas apa nggak dingin?" tanya umi. "Duh, kelamaan. Bukannya segera ditolong malah ditangisi," kata umi tanpa menungguku menjawabnya.

Ini asiknya menonton bersama umi. Aku tak merasa memerlukan penjelasan lebih tentang apa yang sedang terjadi. Tak perlu meminta. Umi akan secara otomatis berkomentar seperti itu, membuatku langsung tahu apa yang sedang tejadi ya walaupun dengan cara yang sedikit aneh dan kadang sedikit merusak mood.

"Kenapa ya kok kalau sinetron cinta-cintaan, udah kecelakaan kaya gitu, udah mau mati, masih sempet pesen ini itu? Kalau yang kecelakaan penjahat di film laga, pasti langsung mati," kata umi setelah sinetron yang dilihatnya selesai.

"Tapi jagoannya ketabrak, ketembak, jatuh dari lantai atas, hidup terus," komentarku.

"Hmm.. iya. Tapi yah kaya gitu, Nang. Hidup kan memang nggak adil katanya."

Kok jadi jadi sampai ke hidup yang tak adil?

"Eh tapi tumben kamu nemenin umi nonton tv? Nggak ngapel?"

Aku menggeleng, menyumpalkan earphone ke sebelah telinga dan menyalakan ponsel.

"Apa Rekta nggak pulang minggu ini?"

"Nggak tau, Mi."

Aku tak merasa perlu berbohong padanya. Aku sungguh tak tahu apakah minggu ini kamu pulang atau tidak. Seminggu ini aku sama sekali tak mendengar kabar darimu. Wajarlah. Apalagi mengingat Sabtu sore yang lalu.

"Hlo, kok nggak tahu. Kalian marahan lagi?"

Ibu jariku urung membuat ketukan di layar ponsel. Aku melepaskan earphone dari telinga.

"Mi, kalau semisal Senja putus sama Rekta gimana?"

Umi mengelus bahu kiriku sambil menghela napas. "Ya nggak gimana-gimana," katanya.

"Umi nggak papa?"

"Ya nggak papa."

"Bener umi nggak papa? Semua keluarga sudah kenal sama Rekta. Sudah lama pacarannya."

"Ya mau gimana? Kalian yang jalanin hubungan. Kalau umi sama bapak sih nggak ada masalah. Tapi, umi boleh tahu kenapa, kan?"

Ada jeda yang kuambil sebelum menjawab pertanyaan umi. Aku tak tahu pasti harus mengatakan apa padanya. Apa harus kubilang mengapa aku tiba-tiba menanyakan semua ini? Atau haruskah kujelaskan juga mengapa setelah hubungan yang sudah sekian lama kita jalin, aku membicarakan untuk putus saja?

Tubuhku sedikit melorot, sengaja agar aku bisa meletakkan kepala di atas sandaran sofa. Tiba-tiba saja kepalaku rasanya berat.

"Umi tahu kan berapa lama kami kenal?" tanyaku.

"Tahu lah. Umi masih ingat pertama kali Rekta ke rumah. Masih malu-malu."

Aku menarik napas dalam, kembali kehilangan kata-kata untuk diucapkan. Semuanya bertumpuk di dalam otakku, berantakan, tak tersusun, benar-benar membuatku tak tahu harus mulai bercerita dari mana hingga akhirnya aku kembali menegakkan tubuh.

"Kayanya Senja butuh tidur dulu, Mi," pamitku sambil bersiap untuk berdiri.

Tanganku ditahan. "Nang, nggak semua masalah bisa kita ajak tidur. Kadang ada masalah yang harus kita selesaikan dulu supaya tidur kita lebih nyenyak," kata umi. "Sudah berapa malam coba kamu begadang?"

Merah MatahariWhere stories live. Discover now