Tiga Puluh Satu

120 8 8
                                    

Aku bisa mendengar suara pintu kamar yang diketuk, pun panggilan umi dari luar kamar. Tapi kedua mataku rasanya sangat berat, seolah tak mau dibuka dan tenagaku rasanya seperti habis terkuras. Aku butuh waktu sebentar lagi. Mungkin tidurku masih belum cukup karena semalaman merevisi proposal tesis hingga pukul dua dini hari.

Umi mengulangi panggilan, mengulangi ketukan. Kali ini aku berhasil membuka mata, tapi tubuhku masih terasa lemas dan gemetar. Denyut jantungku juga cukup cepat. Duh, kadar gula darahku pasti turun lagi.

"Jaaa.. bangun. Adzan udah lewat lima menit, loh." Arik ganti mengetuk pintu.

"Rik...," panggilku, tak terlalu yakin bisa terdengar.

Pintu kamar langsung dibuka lalu aku mendengar langkah cepat mendekat. Denyut nadi di pergelangan tanganku lantas diraba.

"Lemes?" tanya Arik.

Aku mengangguk pelan, membuatnya mengembuskan napas cukup keras sebelum meninggalkan kamar kemudian segera kembali untuk mengecek kadar gula darahku.

"Umi lagi buatin larutan gula," katanya. "Lima puluh sembilan. Rendah banget, Ja. Makan malammu semalam nggak cukup ya?"

Pertanyaan itu tak kujawab. Kepalaku rasanya tak karuan dan tubuhku lemas sekali sekarang. Lagipula, itu juga bukan pertanyaan yang memerlukan jawaban. Untungnya umi segera datang dan membantuku minum.

"Ni anak pasti nggak makan nasi lagi semalem. Udah tau mau lembur, bukannya nyiapin tenaga malah nggak cukup makan." Arik mengomel di sisi tempat tidur.

"Udah, nggak usah marah-marah. Sana siapin keperluannya Ose sebelum dia bangun," tegur Umi.

"Gimana nggak marah, orang udah tau kalau malem itu risiko hipoglikemia dia lebih tinggi, harusnya kan dia makan cukup, bukannya malah nggak makan nasi. Udah gitu semaleman kerja, lembur sama laptop. Dipikir kerjaan kaya gitu nggak butuh energi? Nggak ngebakar kalori? Untung ketahuan. Kalau nggak ketahuan kaya dulu lagi gimana coba?" Omelan Arik bertambah panjang.

"Ya paling mati." Aku menyorongkan gelas kosong yang langsung diterima Umi.

Pukulan pelan langsung mendarat di bahuku. "Ngomong apa?" tanya umi. "Ngomong itu dipikir dulu."

"Ya kan bener, Mi. Kalau nggak ketahuan, paling-paling kan koma kaya dulu, kalau nggak ketolong ya mati. Kata dokternya kan gitu." Aku menyandarkan kepala yang rasanya masih sedikit berputar ke dinding di belakangku.

"Senja!" bentak umi. "Umi nggak suka ah kamu ngomong begitu."

"Marahin aja, Mi. Emang nggak tau diri banget jadi orang. Nggak ngerasa kalau disayang gitu." Arik menambahi.

Aku tak menjawab. Kesal juga diomeli begitu di saat tubuhku rasanya sangat tak nyaman begini. Ya walaupun sebenarnya Arik tak salah. Sepertinya memang semalam aku tak cukup makan. Beberapa hari ini memang sedang tak nafsu makan.

"Kamu ini, pagi-pagi udah ngomel to, Nduk. Itu loh anak sama suamimu diurusin dulu." Umi mengusap-usap punggung tanganku. "Udah mendingan?"

Aku mengangguk pelan.

"Yaudah istirahat dulu. Lima belas menit lagi umi cek."

Sekali lagi aku menganggukkan kepala, lalu menyandarkan sebagian besar berat tubuh pada dinding di belakangku. Kamar menjadi lebih hening begitu Arik dan Umi keluar. Suara kipas angin di pojokan kamar yang sebelumnya terabaikan, sekarang seperti sedang menunjukkan diri bahwa dia ada di sana. Sama dengan suara gerimis di luar kamar. Aku beringsut, membuka jendela yang ada di sebelah tempat tidur, lalu ganti bersandar di sisinya, menghirup udara pagi sebanyak-banyaknya, berharap hal itu akan bisa membantu menyamankan tubuh lebih cepat.

Merah MatahariWhere stories live. Discover now