Delapan Belas

123 11 3
                                    

Rumah ramai lagi semenjak pagi. Malam nanti akan ada acara Kumbokarnan, semacam rapat panitia persiapan acara pernikahan. Semua orang yang terlibat di hari istimewanya Arik akhir bulan ini diminta hadir. Jumlahnya hampir sama dengan undangan saat acara lamaran kemarin, dikurangi dengan beberapa orang keluarga calon mempelai pria.
Untungnya, tadi pagi aku harus ke kantor jadi bisa melepaskan diri dari kewajiban untuk membantu persiapan. Sialnya, tadi pagi aku harus ke kantor, bertemu dengan beberapa manusia absurd yang hari ini semakin absurd saja dan melayani klien yang sedikit menyebalkan.

"Ja, Rekta mana? Tumben nggak kelihatan?" tanya tante Tri.

Pertanyaan ini, aku tahu pasti akan ada yang menanyakan mengingat seluruh keluarga besarku sudah mengenalmu dan bagaimana kamu selalu hadir di acara-acara keluarga seperti ini.

"Jaga, Tante." Aku menyunggingkan senyuman.

"Oh iya. Jumat masih masuk weekday kok ya."

Aku menganggukkan kepala.

"Masa nggak bisa tukar jaga? Acara keluarga loh ini." Budhe Mur ikut menanggapi. "Itu ponakan budhe juga ada yang perawat. Kalau pas ada acara penting begini bisa kok tukar jaga sama temennya."

"Ya beda to, Mbak. Si Rekta ini kan statusnya masih mahasiswa, nggak bisa segampang itu main tukar-tukar jaga sama temennya. Jadwalnya kan yang buat kampus." Tante Tri membelaku. Syukurlah.

"Alah. Kaya gitu tuh tergantung anaknya, dia menganggap acara ini prioritas buat dia apa enggak. Kalau acara ini, keluarga ini, kamu dianggap prioritas, Ja, ya pasti dia bakalan cari cara biar bisa dateng."

Kedua alisku terangkat. Tanpa sadar aku menggaruk keduanya walaupun tak gatal. Hanya sesaat. Mungkin sekedar refleks karena tak tahu harus menjawab atau melakukan apa.

Paha kananku ditepuk pelan. "Sudah, nggak usah ditanggepi," bisik tante Tri.

Aku mengangguk pelan dan tersenyum. Lalu tak ada obrolan apa-apa lagi. Kami hanya mendengarkan ketua RW dan ketua RT membacakan daftar panitia acara pernikahan Arik minggu depan, membacakan tugas-tugas mereka, dan menanyakan kesanggupan mereka satu-persatu. Agak membosankan, tapi setidaknya bisa bisa kupakai untuk membunuh waktu.

"Duduk sebelah mas Senja situ." Tante Tri berbisik entah pada siapa. Tentunya bukan padaku. Tak lama, aku merasa seseorang duduk di sisi kiriku.

"Hai, Mas," sapa Reno. "Aku dapet jatah tugas apa nih buat acaranya Mbak Arik?"

"Nggak ngerti, No. Itu bapaknya pakai bahasa Jawa alus, aku banyak nggak pahamnya," jawabku jujur.

"Semoga nggak dapet, sih. Pengen duduk santai aja pas acara besok."

"Iya. Aku juga. Mau duduk santai aja pas acara. Sambil makan."

"Bener, Mas. Aku sepakat."

"Dari mana? Kok telat?"

Reno menjawabku dengan tawa garingnya. Aku langsung paham.

"Ei titip salam," katanya.

"Ei? Mbak Ei, maksudnya?" godaku. "Beda dua tahun, loh. Kualat nanti kalau langsung panggil nama."

Reno tertawa cukup keras, hanya sesaat, sebelum kemudian langsung diam karena ruang tamu mendadak hening. Suara ketua RT yang tadinya sedang membacakan daftar panitia juga tak terdengar.

"Maaf," kata Reno pelan, membuatku menundukkan kepala, menahan tawa. Pastinya sekarang semua orang sedang menatap ke arahnya.

Acara kembali dilanjutkan setelah ada permintaan maaf dari ketua RT karena terinterupsi oleh suara tawa Reno. Atau setidaknya begitu yang kupahami dari perkataan beliau. Bahasa Jawanya halus sekali, terlalu halus sampai aku tak paham.

Merah MatahariWhere stories live. Discover now