Empat

225 12 4
                                    

"Senja sama Adri standby di kantor, ya? Kalian yang bakalan back up kalau sewaktu-waktu ada kebutuhan dokumen dan lain-lain dari kantor." Suara Mbak Adel terdengar jelas walaupun ada suara keramaian di latar belakangnya.

"Iya, Mbak." Aku dan Adri menjawab serempak.

"Standby sampai acara di sini selesai!"

"Iya, Mbak." Lagi, aku dan Adri menjawab bersamaan.

Sudah. Sambungan lantas dimatikan.

"Persiapan kita yang banyak ngerjain, giliran udah acaranya malah disuruh jaga kantor. Kalau emang kita nggak dibutuhin di kegiatan, ya udah sih, diliburin aja. Hari ini harusnya libur, loh. Sabtu ini."

Inginku tak menanggapi Adri, tapi aku tak bisa menahan tawaku sewaktu mendengar nada kesalnya. Entah mengapa.

"Kok malah ketawa sih? Nggak kesel kamu dikerjain kaya gini. Dulu rapat awal perencanaan kita ga diajak loh. Eh pas kerjaannya dapat banyak. Terus sekarang kaya gini."

"Ya kan namanya juga anak baru. Sabar aja lah, Dri."

"Stok sabarmu kebanyakan, Ja. Jangan-jangan nanti kalau diinjek-injek orang, kamu juga bakalan tetep sabar."

Aku berhaha-hehe saja menanggapi Adri, sedang tak mau memikirkan hal-hal tak penting seperti ini. Berusaha untuk tak memikirkan, melegakan hati.

"Kadang aku mikir. Kita ini sebenernya kerja apa dikerjain, sih?"

"Masih lanjut, Dri?" tanyaku.

Adri tak menjawab, mungkin dia semakin kesal dengan responku hingga akhirnya memilih untuk tak melanjutkan.

"Ja.. Ja. Cek grup panitia. Penting!" kata Adri.

Dengan cepat aku membuka pesan di grup panitia.

Pak Banu:
Untuk kegiatan yang selanjutnya, tolong undangan dan surat permohonan membuka acara untuk pemkot maupun tamu yang lain jangan mepet.

Mbak Adel:
Nggih, Pak. Maaf. Saya sebenarnya sudah sampaikan ke teman-teman sejak bapak minta minggu lalu, hari Kamis sudah saya tagih. Maaf undangan baru dikirim Jumat pagi.

Pak Banu:
Ya, tidak apa-apa. Semoga yang kegiatan selanjutnya bisa lebih baik.

Apa? Aku membaca ulang dua pesan terakhir yang baru masuk ke grup itu. Bisa-bisanya Mbak Adel menjawab di grup begitu, padahal jelas-jelas dia baru memintaku membuat undangan dan surat permohonan Kamis malam kemarin, itu pun langsung kukirim. Aku tak menunggu Jumat untuk mengirimnya.

"Beneran kamu baru ngirim Jumat pagi, Ja?"

"Kamis malem udah ta email ke Mbak Adel."

"Tapi minggu lalu Mbak Adel beneran bilang ke kamu tentang ini? Soalnya aku malah ga ngerti sama sekali tentang ini. Tahuku kan malah nggak pake pembukaan dari pemkot."

Aku menggeleng. "Dia baru ngasih tahu Kamis malam itu, Dri. Langsung ta bikin terus ta kirim ke dia."

"Waaa.. parah memang orang itu. Kamu harus klarifikasi ke Pak Banu, Ja. Masak iya kamu mau diam aja difitnah kaya gitu? Kalau aku sih nggak terima."

"Buat apa, Dri? Biar aja lah," jawabku sambil memasang headset dan meningkatkan volume musik yang kudengarkan.

Night, alunan piano Ludovico Einaudi mengalun di telingaku, sedikit bisa memberikan ketenangan. Sebentar saja, aku ingin mendengarkan lagu yang menenangkan ini.

Kalau kamu ada di sini dan tahu apa yang sedang terjadi, aku yakin kamu akan mengamuk padaku, lebih parah dari sekedar nada tak terima Adri barusan.

***

Merah MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang