Dua

265 18 4
                                    

Aku merasakan Kaia duduk di sebelahku. Kami teman sekampus dulu, beda jurusan, tapi ikut di organisasi kemahasiswaan yang sama.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya.

"Jogja."

"Wah sama. Aku juga mau ke Jogja. Prameks yang jam dua belas dua puluh, kan?"

Aku mengangguk.

"Turun di stasiun mana?"

"Tugu."

"Yes, ada temen. Aku juga. Janjian sama temen-temen kuliah mau reunian di sana, jalan-jalan di Malioboro. Tapi tadi kesiangan jadi ditinggal sama mereka, makanya ini sendirian. Untung ketemu kamu. Lumayan, ada yang bisa diajak ngobrol."

Yang kulakukan hanya mengangguk-anggukkan kepala. Ada sedikit rasa tenang juga sih karena pada akhirnya aku tidak benar-benar berangkat sendirian ke Jogja. Aku sudah beberapa kali ke Jogja, tapi tak terlalu banyak ingatanku tentang kondisi stasiunnya. Ya, aku sebenarnya akan bisa meminta tolong pada petugas kereta atau stasiun, tapi tetap saja akan berbeda jika ada orang yang sudah dikenal.

"Udah berapa tahun ya kita ga ketemu, Ja? Tiga tahun ya kayanya?"

"Kayanya sih iya. Kamu kan kabur dari organisasi duluan."

"Hahahaha... enak aja kabur, sembarangan. Aku kan waktu itu udah semester akhir, kudu fokus sama skripsi jadi ngurangin kegiatan organisasi. Masih sering dateng ke basecamp, kok. Tapi nggak pernah ketemu kamu aja."

Waktu itu dia memang sudah masuk semester tujuh ketika mulai tak aktif di organisasi. Aku masih semester tiga, masih terhitung anak baru. Tapi dia tak mau dipanggil Mbak begitu tahu kalau kami seumuran. Aku memang pernah berhenti sekolah dua tahun penuh dulu.

"Kamu ke Jogja mau ngapain?"

"Malem mingguan."

"Oh iya, cewekmu dulu kan kuliah di Jogja, ya? Masih kuliah?"

"Masih. Lanjut ambil profesi dia."

"Oooh..."

Aku bisa merasakannya mengangguk-anggukkan kepala dari gemerisik rambut panjangnya yang digerai.

"Awet ya kalian? Padahal kalau nggak salah, kalian pacaran sejak SMA kan?"

Aku menganggukkan kepala. "Iya."

"Tapi tetep hati-hati aja sih, Ja. Lama pacaran belum tentu jodoh. Apalagi LDR-an. Pasti banyak godaannya."

"Curhat kamu?"

"Hahahahaha... iya. Nyebelin."

Kaia tak bertanya lagi, sepertinya sedang menjelajahi sosial media di ponselnya. Aku mendengar tawa pelannya sesekali dan suara video yang sedang dia lihat.

"Eh, aku boleh minta nomermu nggak sih, Ja? Ternyata aku nggak nyimpen nomermu."

"Kan ada di grup."

"Ada, ya? Belum ta simpan berarti, Hahahaha... Yang mana?"

Aku kemudian menyebutkan nomor ponselku padanya.

"Ooh.. iya iya. Nggak ada fotonya juga, sih."

"Nomormu juga belum ta simpan berarti."

"Huuu... gitu. Kalau IG? Ada?"

Kepalaku tergeleng pelan. "Jarang main sosmed."

"Kalo facebookmu masih aktif, kan?"

"Masih. Ya walaupun jarang dibuka juga."

Gadis itu tak mengatakan apa-apa lagi, kembali fokus pada ponselnya kurasa. Aku baru bisa merasakannya menegakkan tubuh sewaktu ada pemberitahuan bahwa kereta api kami akan memasuki stasiun dan seorang petugas mendatangiku.

Merah MatahariWhere stories live. Discover now