When The Sun Is Shining

By sourpineapple_

8.5K 1.1K 112

ON GOING ALL ABOUT RAKA'S FAMILY [ BAGIAN DARI IT CALLED LOVE, ELVANO, & RENJANA ] *** Sebab, pada dasarnya... More

PROLOGUE
Ø1: MPLS
Ø2: 08 BERAPA?
03. TRIAL
Ø4. TEMAN BARU
Ø5. BUNGA TAI AYAM
Ø7. LOVE LANGUAGE
Ø8. REONI BAPAK-BAPAK
Ø9. ABANG
1Ø. TENGGELAM
11. HANYUT
12. KECEWA
13. PECAH
14. EGO
15. WHERE I AM?
16. ISI KEPALA
17. CAN WE FIX IT?
18. MAKAN MALAM
19. ISENG
20. WHAT HOME FEELS LIKE
21. SOUNDS SO PATHETIC
22. TALK LIKE A GENTLEMAN
23. HIS BIGGEST FEAR
24. DOWN
25. WE WERE DONE
26. HOW MUCH THEIR LOVE
27. SUNFLOWER

Ø6. ROLE MODEL

274 34 2
By sourpineapple_

"Minggu depan kamu jadi, Ka?" Pertanyaan itu dilontar oleh Ghea yang datang sembari meletakkan secangkir kopi di atas meja untuk suaminya. Sebuah rutinitas yang Ghea lakukan setiap suaminya selesai bersih-bersih setelah pulang kerja.

Menangkap suara milik sang mama, Elvano yang lagi main PS5 bareng Hugo pun tersita perhatiannya lalu diam-diam mendengarkan percakapan antara mama dan papanya.

Raka mengambil cangkir kopi yang dibawakan oleh sang istri, dia mengangguk-angguk sambil menyeruput kopi. "Hm, jadi," jawabnya.

"Aku lebihin belanja minggu ini kalau kamu jadi. Buat peralatan yang kamu bilang itu mau aku bantu cariin?" ujar Ghea, melirik sesaat pada Hugo dan Elvano yang asyik sendiri bermain game.

Raka menggeleng. "Nggak usah, biar aku urus sendiri aja nanti."

"Ada apa, Ma? Minggu depan mau ada agenda apa?" tanya Elvano, tiba-tiba ikutan nimbrung, mengabaikan game yang sedang dia mainkan dengan Hugo, membuat Hugo misuh-misuh sendiri karena Elvano meninggalkan konsol permainannya.

"Woi! Yang bener lo mainnya!" seru Hugo, menekan konsolnya dengan emosi, tapi nggak ditanggepin sama Elvano.

"Papa mau reonian sama temen-temennya." Ghea menjawab pertanyaan putra sulungnya, sesekali dia melirik Hugo yang tampaknya kesal karena Elvano mencampakkan game mereka begitu saja.

"Di mana? Di sini? Rumah kita?" Elvano bertanya lagi, nggak menggubris makian adiknya.

"Iya. Kenapa?" Raka menjawab.

"Ada Om Louis juga nggak, Pa?" tanya Elvano dengan cengiran lebar.

"Ada. Ngapain kamu nanyain Om Louis?"

"Nggak pa-pa sih, mau tau aja," jawab Elvano, lalu beralih menatap mamanya. "Ma—" Belum sempat menyelesaikan ucapan, seruan papanya membuat Elvano terkejut dan refleks berhenti berbicara.

"Heh! Papa tau kamu mau ngomong apa." Raka berseru galak. Dia sudah hafal dengan akal bulus putra sulungnya itu.

"Apasih, Pa? Mau ngomong apa? Orang Vano mau tanya ke Mama kok."

Ghea tertawa kecil. "Nanya apa?" responsnya.

Elvano nyengir. "Kalau misalnya dulu Mama ketemu Om Louis duluan daripada Papa, Mama masih mau nggak nikah sama Papa? Diantara Om Louis sama Papa, Mama bakal pilih yang mana?" tanyanya.

Tuh 'kan. Apa juga Raka bilang? Elvano tetaplah Elvano, yang punya banyak ide aneh, pemikiran di luar nalar, dan kalimat pengundang emosi.

"Papa lah, ngapain pilih si Louis. Diliat dari mana-mana juga mendingan Papa daripada dia. Lagian, Mama nggak bakalan kenal Om Louis kalau nggak kenal Papa," serobot Raka dengan sewot.

"Vano nggak nanya Papa sih."

"Heh! Kalau nggak ada Papa, kamu juga nggak akan lahir."

"Emang sih, tapi Mama dapet suami yang lebih ganteng dari Papa," balas Elvano, lalu menjulurkan lidahnya, mengejek sang papa.

Raka langsung naik pitam. "Papa nggak kalah ganteng, masih kaya Papa juga daripada Om Louis. Ganteng aja nggak cukup."

"Ini kenapa jadi rebutan Om Louis begitu sih?" Ghea menengahi dengan bingung.

"Kita nggak rebutan!" jawab anak dan ayah itu bersamaan, membuat Ghea terkejut lalu tertawa, merasa konyol dengan perdebatan suami dan putra sulungnya.

"Mama jawab dulu mau pilih yang mana," ujar Elvano, nggak tahu motivasinya bertanya kayak gitu buat apa.

"Kalau bisa milih, Mama kayaknya nggak akan milih dua-duanya, Bang," jawab Ghea, membuat Raka memicingkan mata.

"Kenapa? Terus Mama mau sama siapa?"

"Karena Papa itu tujuan, bukan pilihan," sela Raka dengan ekspresi bangga, membuat Elvano mendelik dan Hugo berpura-pura muntah.

"Balikan sama mantan," cetus Ghea dengan senyum tertahan, yang langsung membuat kepercayaan diri suaminya dijatuhkan begitu saja.

"Oh, jadi gitu? Siapa yang mau kamu ajak balikan? Mantan nggak seberapa kamu yang mana? Yang mukanya mirip tukang goreng tahu bulat keliling itu?" komentar Raka, nggak terima.

"Siapa yang mirip tukang goreng tahu bulat keliling?! Mantanku ganteng semua ya!" Ghea berseru dengan alis bertaut, kalau dianimasikan mungkin di antara kontak mata suami-istri itu ada aliran listrik tanda perselisihan.

"Jadi ganteng mantan kamu daripada aku?!"  balas Raka.

"Aduh ... maaf nih Ma, Pa, Vano pamit undur diri aja deh," ujar Elvano, mulai ketar-ketir ketika dia rasa perdebatan ini akan berujung panjang, lalu dia pun memilih untuk beranjak dan pergi.

Sedangkan Hugo malah nyengir lebar dengan pose orang yang siap menonton drama perdebatan antara mama dan papanya, bahkan Hugo juga mengompori dengan berkata,

"Ayo, Ma, kasih paham Papa, Ma."

"Terus kenapa kalau ganteng mereka? Kamu insecure?" Ghea membalas ucapan Raka.

"Ngapain insecure? Pada akhirnya juga tetep aku yang menang, aku yang dapetin kamu. Mereka cuma masa lalu, nggak level insecure sama masa lalu," sahut Raka nggak mau kalah.

Cengiran Hugo makin lebar dengan ekspresi girang dia mengangguk-angguk, kembali mengompori, "Terus, Pa, terus, jangan sampe kalah."

"Kamu ini di kubunya siapa?!" seru Ghea dan Raka bersamaan menoleh pada Hugo, membuat si empu terkejut, langsung ketar-ketir.

"Hng ... Bang Vano! Hugo di kubunya Bang Vano! Hehehe." Hugo nyengir sambil cengengesan sebelum akhirnya memilih buat pergi menyusul Elvano.

Ghea melirik Raka, dan pada saat yang sama juga Raka melakukan hal serupa, pasangan suami-istri itu lantas sama-sama tertawa tanpa suara.

***

Suara dentuman bola yang memantul serta gesekan sepatu pada lantai lapangan terdengar begitu serasi mendominasi lapangan indoor yang malam ini digunakan oleh klub voli untuk berlatih.

Suara surakan serta tawa para pemain berkaus jersey dengan warna yang seragam juga tak kalah riuh, suaranya menggema di tiap sudut ruangan.

Ini adalah rutinitas yang nyaris tak pernah Hugo lewatkan. Voli adalah bagian dari napasnya, salah satu cabang olahraga permainan yang telah Hugo geluti dan gemari sejak kecil. Salah satu hal yang sudah Hugo rasakan dan nikmati jatuh-bangunnya.

"Hugo!" Teriakan panggilan itu terdengar bersamaan dengan bola hasil servis lawan yang melayang melewati net. Sudah sesuatu yang sangat biasa bagi para pemain voli untuk saling meneriakkan nama entah itu sekedar pengingat atau sebagai penyemangat.

Berlari beberapa langkah untuk menghampiri bola, Hugo lantas menekan ujung telapak kakinya ke tanah hingga tubuhnya melompat beberapa sentimeter dari atas tanah, sedang tangannya mengayun, memberi pukulan bernama smash pada bola yang dia hampiri sebelum menyentuh tanah dan memberi skor pada lawan.

Bola yang berhasil dia pukul melesat, gagal dibendung dan berakhir memantul di tanah, menambah skor untuk timnya.

"Mantul, Go!"

Dan itu adalah pukulan terakhir sebelum mereka membubarkan diri untuk beristirahat setelah bermain beberapa babak dengan skor dua kali seri.

Peluh membanjiri mulai dari ujung rambut hingga kaki, dengan napas yang sedikit tersengal, Hugo mengambil tumblr dan menandasnya sisa air di dalamnya.

"Widihh, makin keren aja nih sekarang." Pujian itu spontan membuat Hugo menoleh, lalu sebuah cengiran terbit di wajahnya.

Pujian itu dilontar oleh salah satu senior Hugo di klub voli ini, orang yang membuat Hugo kagum saat pertama kali melihat permainannya di sebuah pertandingan yang diadakan secara umum. Salah satu alasan yang membuat Hugo yakin untuk bergabung dengan klub voli ini.

"Haha, bisa aja lo, Bang. Kaga ada apa-apanya gue mah dibading elo," ujar Hugo malu-malu. Siapa yang nggak senang kalau disanjung sama orang yang dikagumin?

Namanya adalah Ryoko Pramoedya, dengan nama panggilan Ryo, dia nggak mau dipanggil Ryoko karena nanti lama-lama pasti bakal diplesetin jadi salah satu merk MSG yang sering dipakai masak ibu-ibu. Dia tiga tahun di atas Hugo, lebih tua dari abang Hugo sendiri.

Hugo sangat menghormati Ryo sebagai seniornya, bagi Hugo, definisi sempurna itu Ryoko, cowok yang tiga tahun lebih tua darinya itu kayak orang yang memang lahir buat jadi atlet voli.

"Secara skill, lo banyak berkembang sejauh ini, tapi masalah lo tetep sama, dan menurut gue itu belum cukup teratasi. Voli itu permainan tim, Go, semua pemain punya tugas dan perannya sendiri, dan setiap peran harus merasa penting. ngandelin satu sama lain, bukan cuma salah satu aja," ujar Ryo memberi wejangan pada Hugo, junior yang sejak bergabung dalam klub voli sering Ryo perhatikan.

"Kedengerannya sepele banget, tapi itu bisa bikin kecolongan waktu tanding kalau sampai lawan tau, ternyata di tim kita, semua pemain cuma ngandelin satu orang. Sebutan boleh ACE tapi jangan sampai lupa kalau voli itu permainan tim, jangan kayak lagi nguasain lapangan sendiri, jatuhnya juga lo sendiri ntar yang kuwalahan."

Hugo diam, tampak berpikir dan menerima baik-baik kalimat yang diberikan Ryo padanya. "Gue ... masih begitu ya, Bang?"

Ryo mengangguk. "Dari pengamatan gue sih gitu. Nggak sadar ya? Emang susah buat percaya sama kawan tim?"

"Nggak sih, cuma ya gitu deh, Bang, tapi thanks buat sarannya, biar gue evaluasi lagi nanti."

Ryo tersenyum, satu tangannya terulur buat nepuk bahunya Hugo beberapa kali. "Semangat, Go. Gue yakin suatu saat nanti, lo bisa lebih hebat dari gue."

Hugo tersendat, kalimat itu seolah memberinya pencerahan dan motivasi, membakar semangat yang ada di dalam dirinya. Sebuah sunggingan senyum pun terbit di wajah Hugo. "Bisa aja lo, Bang, tapi thanks, sering-sering kasih gue saran ya, Bang," balas Hugo sambil nyengir.

Ryo tertawa. "Iye. Tapi lo juga jangan masuk kuping kanan keluar kuping kiri aja, apalagi gue udah mulai jarang bisa ikut latihan."

Hugo manggut-manggut. "Siap, Bang!"

***

Jika Hugo sering menghabiskan kebanyakan waktunya untuk bermain voli, sama halnya dengan Gemala yang hampir setengah waktu dari satu harinya dia pakai untuk membaca novel.

Menyelami dunia fiksi, memasuki berbagai macam negeri, menjelajahi benua, menjadi anggota kerajaan hanya bermodal buku dan rebahan di kamar. Bahkan dari tersenyum sampai jungkir balik sendiri juga Gemala lakukan.

Namun entah kenapa, malam ini Gemala justru nggak selera buat baca novel. Biasanya, dia akan merasa demikian jika novel yang selesai dia baca memiliki ending sedih, atau novel yang sedang dia baca memiliki alur yang membosankan, tapi kali ini, Gemala masih pada dua bab pertama, alurnya pun menyenangkan, Gemala juga nggak tau akhir ceritanya karena nggak mau ngintip ke belakang.

Lantas, apa alasan yang membuat Gemala sampai nggak selera buat baca novel?

Gemala malu buat ngaku, tapi alasannya adalah Hugo. Iya, Gemala nggak selera baca novel gara-gara kepikiran si cowok buaya yang kalau dipikir-pikir lagi sebetulnya buat apa juga dia memikirkan Hugo?

Biasanya, setiap masing-masing kategori cowok itu selalu punya kekurangan, seperti misal cowok ganteng selalu kurang dalam hal lawak-melawak, alias setiap mau ngelawak lawakannya tuh garing dan nggak asik, lalu cowok humoris, biasanya cowok-cowok humoris ini kurang di segi effort, kebanyakan suka bilang, "kamu kok nggak ngehargai usaha aku selama ini sih?"

Padahal usahanya cuma lewat chat.

Ketiga, ada cowok royal. Kekurangan cowok royal ini adalah over posesif. Karena dia berani modal dan keluar uang buat ceweknya, dia merasa bisa bebas kontrol ceweknya dan tahu apapun soal ceweknya, bahkan kadang sampai lewatin batas privasi.

Makanya, rasanya nggak adil ketika disaat semua macam-macam cowok itu punya kekurangan, sedangkan Hugo malah dikasih paket lengkap.

Ganteng iya, humoris ceklis, royal pun nggak tanggung-tanggung. Satu-satunya kekurangan dia adalah; buaya.

Oh iya ada lagi, dia suka julid dan salty.

Tapi justru karena punya hampir semua aspek penunjang halusinasi cewek buat tipe idaman mereka, makanya Hugo jadi buaya. Kalau katanya Neza, strategi marketingnya manteb, sparepart-nya mulus kinclong, minusnya sasimo alias sana-sini mau.

Kalau Hugo itu diibaratkan sales, maka Gemala adalah customer yang termakan rayuan dan bujukan, yang tadinya nggak mau beli, akhirnya pun beli karena termakan bujuk rayu.

Dan ini kondisi Gemala sekarang, gegana alias gelisah, galau, merana. Dia yang niat awalnya terima ajakan pacaran Hugo karena gabut, sekarang jadi menyesal karena sudah gabut.

Masalahnya, sudah tahu kalau Hugo itu bahaya, tapi Gemala malah memberi jalan dan mempersilakan bahaya itu masuk ke hidupnya. Sekarang, Gemala harus apa?

"Gue nggak mungkin baper sama dia 'kan?"

Masalahnya, Gemala adalah cewek tulen, dia normal, dan meskipun kata-kata Hugo itu nggak ada manisnya, tapi perlakuan cowok itu bikin Gemala perlahan-lahan luluh. Teknik marketing buaya rawa satu itu memang jos gandos dan patut diacungi jempol, kayaknya anak bisnis digital harus belajar marketing dengan buaya dari TKR itu.

Gemala menghela napas, lalu menutup buku novel yang daritadi hanya dia buka tanpa dia baca, baru kali ini Gemala nggak selera baca novel gara-gara kepikiran cowok. Cowoknya buaya pula.

Sekarang Gemala bingung, dia kepengin curhat, tapi kalau curhat ke Neza nanti Gemala diomelin, ujung-ujungnya disuruh putus. Harusnya nggak berat buat sekadar putus saja, tapi nggak tahu kenapa ini Gemala malah merasa sayang saja untuk kehilangan teman gabut.

Bahkan ketika di sekolah keesokan harinya pun, mood Gemala masih kurang baik, dan Neza jelas menyadarinya, oleh sebab itulah Neza bertanya,

"Kenapa sih? Asem banget mukanya, Mbul, mikirin buaya TKR itu ya?" tanyanya, membuat Gemala menoleh dengan alis bertaut, nggak suka dengan sebutan "Mbul" yang Neza ucapkan.

"Ih mbul! Jangan kayak dia deh, Nez, manggilin orang sesuka hati, lagian gue nggak lagi mikirin dia! Cuma ya ... lagi badmood dikit aja."

"Kenapa? Novel yang lo baca sad ending?" Neza kembali bertanya, lebih dari tiga tahun berteman dengan Gemala membuat Neza hafal, kalau Gemala itu sering galau dan badmood gara-gara novel yang dia baca endingnya nggak sesuai ekspetasi.

Meskipun alasan sebetulnya bukan itu, Gemala mengiyakan saja, lagipula dia nggak mungkin bilang kalau badmood gara-gara kepikiran Hugo. "Tuh tau. Kantin aja lah, yuk! Laper, pengen jajan."

Niatnya Gemala pergi ke kantin buat jajan dan mengalihkan pikirannya dari Hugo, eh di kantin dia malah lihat cowok TKR itu lagi tebar pesona ke salah satu cewek yang sepertinya kakak kelas. Bernyali juga Hugo tebar pesona ke senior.

Neza yang juga melihatnya pun langsung berceletuk, "Ngapain tuh si buaya TKR?" Sambil memperhatikan gerak-gerik Hugo.

"Eh, Kak." Hugo menyapa seorang cewek yang satu tingkat di atasnya, dengan gaya sok cakep andalannya, Hugo lagi menjalankan rutinitas; berburu cewek cantik.

"Apaan?" Kakak kelas yang Hugo sapa menyahut dengan nada sedikit jutek.

"Diliat-liat dari cara lo jalan, kayaknya lo cocok jalan sama gue deh, hehe. Btw, kosong 'lapan berapa, Kak?" ujar Hugo, membuat teman-teman si cewek yang lagi dia gombalin itu pada nutup mulut nahan tawa.

Melihat teman-temannya yang pada nahan tawa, cewek tersebut membalas Hugo dengan jutek, "Apaan deh, ada-ada aja lo bocah."

Tapi rupanya, Hugo sama sekali nggak terdistraksi oleh respons jutek itu, dengan santai dia malah sempat menyahut, "Yaelah, umur cuma angka, Kak, cuma beda setaun nggak ngaruh."

Neza yang memperhatikan pemandangan itu bersama Gemala pun hanya bisa geleng-geleng kepala, berdecak dan berkacak pinggang.

"Tuh, tuh, Mal, liat deh dia kayak orang lagi jualan tau, nggak? Ider sana-sini, kenapa nggak sekalian aja tuh dia masuk pemasaran, ngapain juga ambil TKR," komentar Neza.

Gemala menghela napas, "Udah lah, Nez, biarin aja."

Lalu berjalan menuju salah satu bilik kantin yang jualan batagor. Gemala pikir-pikir juga ngapain dia malah nonton Hugo ngardus, tujuannya ke sini bukan buat itu, meskipun ya ... nggak menutup fakta juga kalau Gemala "agak" nggak terima sama tingkahnya Hugo.

Tapi mau gimana lagi? Sekalipun mereka pacaran, Gemala nggak punya hak buat melarang Hugo ini-itu, dan Gemala juga nggak mau kehilangan teman gabutnya.

Neza menyusul langkah Gemala. "Biarin gimana? Lo tuh dibilang putusin aja dia, ngeyel banget. Sama dia tuh makan ati tau nggak?" ujar cewek itu, untuk kesekian kalinya protes soal Hugo ke Gemala.

"Tapi dia asik," balas Gemala.

Neza berdecak. "Itu mulu alasan lo, masih banyak cowok yang asik, nggak cuma dia doang."

"Mana kalau banyak? Kok nggak ada yang mampir ke gue? Cuma dia, berarti emang udah takdir gue sama dia," ujar Gemala, membuat Neza mengerjap, syok dikit.

"Sakit ya lo, Mal? Wah iya nih kayaknya, udah nggak beres lo," ucap Neza nggak habis pikir sama sahabatnya yang satu ini.

"Gue nggak merasa dirugiin sih, Nez, sejauh ini, jadi biarin aja lah," tandas Gemala, nggak mau meributkan soal Hugo lagi. Walaupun sebetulnya, Gemala juga resah. Nggak tahu sampai kapan dia akan bertahan seperti ini, tapi Gemala berharap, semoga dirinya mampu untuk nggak terbawa perasaan.

***

gimana? buat yang sebelumnya demen sm hugo, udh berubah pikiran belum?

dah yea, sampai jumpa part selanjutnya yang nggak tau kapan lagi di update, makasih sudah membaca 💘💋

Continue Reading

You'll Also Like

3.6K 810 22
Apa yang muncul pertama kali di pikiran kalian saat mendengar kata 'pandora'? Pastilah sesosok gadis cantik dengan kotak yang melegenda bukan? Namun...
997 147 33
Story 05. [ Puppy Love ] By : @girlRin @Tslnica_ ▪︎▪︎▪︎ Apa yang salah dengan jatuh cinta sama orang yang umurnya lebih tua daripada kita? Perbedaa...
477K 17.7K 32
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
1.2M 117K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...