Another Color

By noquiyea

945 111 73

Lala menjalani hidupnya sebagai pelukis mengikuti jejak mendiang mamanya. Selama memutuskan hidup sendiri tan... More

0. Sunset With Memory
1. COYOTE V.I.P CLUB
2. RUN AND GO
3. Help You
4. Leave
5. Some Information
6. Breakfast
7. Plan
8. Trouble
9. With You
10. Party In The Galery
11. Meet My Girl
12. Move
13. Tell them
14. Meet Komang
15. Something Begin
16. Can I?
17. Here We Are
18. Meeting
19. A Good Bad Day
20. After That
21. VIP 3
22. How
23. Sorry To Your Self
24. To Hug You
25. The Box
26. Lala And Neo
27. Savero's Family Lunch
29. Amerika - Indonesia
30. It's Okay, Sav
31. Propose
32. Savero's Step
33. Girl's Talking
34. On Rainy Day
35. Party Begin

28. Savero and Komang

19 4 0
By noquiyea


"Loh, Bang! Tumben ke sini, bikin kaget aja," Komang menyambut Savero dengan wajah cerah di kontrakannya. Ia membuka pintu lebar dan mengajak Savero masuk. "Sendirian aja, Bang. Pacarnya gak diajak?"

Savero masuk setelah melepas sepatunya di depan pintu. Ia langsung rebahan di karpet yang ada di ruang tamu dan menjadikan lengannya sebagai bantal.

"Gue sendiri, Mang. Cewek gue lagi sibuk. Lagian gue emang niatnya ke sini."

Komang membalasnya dengan tawa renyah. Ia duduk di dekat Savero dengan posisi bersila. "Dih, aneh. Ngapain lo, Bang. Kangen sama gue?"

"Ck! Enggak. Mau nenangin pikiran doang. Lagi buntu, nih."

"Nenangin pikiran malah di sini. Ini bukan tempat seneng-seneng, Bang. Gak ada yang bisa bikin pikiran lo adem di rumah gue. Yang ada malah adonan siomay, noh!"

Savero tertawa saja sambil memukul kaki Komang yang terjangkau tangannya tanpa rasa bersalah. "Bisa aja, lo. Gue bantuin aja kali, ya, bikin siomay. Siapa tau gue bisa jadi penjual siomay kayak lo."

"Lo mau ngambil lahan dagangan gue? Enak aja. Sono balik ke kantor aja. Ngeri gue lama-lama. Orang kaya, mah, otaknya bisnis. Kagak mikirin nasib orang kayak gue cuma butuh cukup buat makan besok," canda Komang sambil mendorong Savero berniat menggulingkannya.

"Canda, Mang. Baperan, dasar."

"Gue juga bercanda, Bang. Tapi gue bakalan marah beneran kalau sampai lo banting setir jadi penjual siomay kayak gue" Lalu mereka tertawa bersama. "Eh, gue tinggal bikin siomay, ya. Kalo kaga dibikin sekarang, tar kaga mateng. Kalo kaga mateng, nanti kaga bisa jualan."

Savero langsung bangun dari posisinya mendengar Komang hendak membuat siomay. "Gue bantuin, deh. Mumpung gue nganggur."

"Lah, ngapain? Kaga usah. Baju lo tar kotor. Mana kemeja lo putih banget kayak ubin sekolah gue."

"Gak apa-apa. Gue pake kaos, kok," Savero pun melepas kemejanya dan menyisakan kaos polos berwarna abu-abu. Ia letakkan kemejanya begitu saja di karpet kemudian beranjak menyusul Komang ke dapur.

Komang tidak keberatan saat Savero mengikutinya ke dapur. Ia memberikan kursi kecil supaya Savero bisa duduk di situ sementara dirinya sendiri duduk di ubi menghadap adonan siomay, tahu, pare, dan kawan-kawannya.

"Pake sarung tangan plastik, nih. Biar bersih," Komang memberikan dua sarung tangan plastik yang kemudian diterima dan dikenakan oleh Savero.

"Ini bikinnya gimana?"

"Ambil satu sendok adonan, masukin ke tahu, pare, atau Bang Sav bisa taruh di kulit langsit gini," Komang memberikan contoh membuat siomay menggunakan kulit pangsit.

Savero mengamatinya dan berdecak karena merasa menggunakan kulit pangsit terlalu sulit. "Gue isi bagian pare aja, deh. Lebih mudah."

"Iya terserah, deh. Asal jangan di berantakin aja calon dagangan gue."

"Beres, elah. Bawel lo!" Lalu Savero pun mulai menjalankan aksinya mengisi satu demi satu pare yang sudah dibuang bijinya dengan adonan siomay yang ada di baskom.

Meskipun baru pertama kali melakukannya dan Savero terlihat canggung, namun Savero tidak sebodoh itu untuk membuat adonan siomay berantakan kemana-mana. Melakukan hal seperti ini mengingatkannya dengan kegiatannya saat kecil. Ketika ia membantu mamanya membuat kue kering di dapur sebelum akhirnya mama dan papanya berpisah.

"Lo kenapa, Bang? Kayaknya suntuk banget. Ada masalah?" tanya Komang ketika suasana lebih tenang. Komang memang anaknya perhatian, apalagi pada Savero yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri. Savero baik dan sering membantunya jadi jika hanya mendengarkan ceritanya saja, Komang bisa melakukannya. Siapa tahu memang yang Savero butuhkan saat ini adalah seorang pendengar.

"Masalah selalu ada, Komang. Tapi mana bisa kita ngeluh. Setiap orang pasti ngadepin masalahnya masing-masing," jawab Savero masih dengan kepala menunduk dan fokus pada pekerjaannya.

Komang mengangkat wajahnya dan mengamati Savero. Ia memiringkan kepalanya mendengar jawaban Savero yang rasanya mengambang.

"Gak nyambung lo, Bang. Ya kalau soal itu gue tau, ini yang gue tanyain elo. Lo ada masalah apa wajah lo kek suram gitu," Komang berdecak, "Oh, gue tau nih. Cewek lo selingkuh?"

Ucapan Komang barusan berhasil membuat Savero mengangkat wajahnya dan menatapnya dengan mata melotot.

"Kalo kakak cantik itu selingkuh wajah, sih. Lo kan orangnya emosian. Terus lo juga orangnya gak asik. Banyak diemnya. Belum lagi kalau ternyata lo orangnya mesum. Yang lebih parah lagi kalau lo ternyata gak jago ciuman. Bahaya buat kakak yang cantik itu. Masa depannya bisa suram."

"Maksud lo gimana, Mang? Jadi gue ini emosian, gak asik, banyak diemnya, terua apa? Mesum? Gak jago ciuman? Emang lo pernah nyobain bibir gue, Mang?" balas Savero tidak terima.

Komang langsung bergidik. "Dih, jijik! Ya, terus kenapa? Lo cerita aja kenapa, sih. Bikin orang penasaran aja."

"Ya, terus kenapa elo penasaran. Kan, yang punya masalah gue."

"Tapi gue pengen bantu lo juga, Bang. Walau cuma dengan dengerin cerita lo. Setidaknya gue bisa ngelakuin sesuatu buat lo."

Hening sejenak. Baik Savero maupun Komang tidak ada yang bicara lagi. Sampai akhirnya Savero pun menghela napas dan menundukkan kepalanya lagi. Enggan menunjukan wajahnya pada Komang.

"Gue gak boleh ke kantor, Mang. Tadi pas gue balik ke kantor, gue di usir sama satpam. Katanya bokap gue gak bolehin gue masuk ke sana entah sampai kapan."

Komang mengangguk-angguk kecil kemudian lanjut bekerja sambil mendengarkan cerita Savero.

"Tadi gue kayak ada perdebatan kecil di rumah pas makan siang. Gue protes soal gue yang selama ini beresin masalah kakak gue tapi gue selalu disalahkan atas kegagalan yang dia lakuin. Sebenernya gue udah terbiasa diperlakukan kayak gitu sama bokap. Tapi kakek gue malah ikut-ikutan bikin panas. Dia bilang cinta tanpa harta itu semu. Padahal kan gak kayak gitu, Mang."

Savero menghela napas mengingat kembali perdebatannya tadi di meja makan.

"Mereka gak perlu kayak gitu buat bikin gue kelihatan bodoh. Gak perlu nyalahin gue juga atas perbuatan yang gak gue lakuin. Gue gak pernah berharap banyak sama mereka. Cukup terima gue apa adanya dan jangan bikin gue kayak cuma jadi bayangan kakak gue aja. Jangan juga jadiin gue ini tukang beres-beres masalahnya dia. Gue paham bokap gue sayang sama dia karena dia anak dari perempuan yang dia cintai. Tapi gue juga anaknya, Mang. Gue juga anak kandungnya. Kenapa harus dibedain kayak gitu, sih?"

"Emang kakak lo itu disayang banget, Bang?"

"Banget, Mang. Gue sama dia kan sodara tiri. Bokap gue nikahin nyokap gue demi koneksinya nyokap aja. Demi hartanya. Tapi karena cuma merasa dimanfaatkan, bokap nyokap akhirnya pisah dan gue ikut bokap."

"Kenapa lo ikut bokap lo?"

"Gue juga lupa kenapa. Yang jelas sejak kecil gue tinggal di sana. Gitu aja, sih."

"Terus sekarang mau lo gimana?"

Ditanya begitu, Savero pun terdiam. Ia tersenyum kecil kemudian menjawab, "Gue pengen nikah sama Lala. Pengen hidup tenang dan bahagia sama dia."

"Oh, gitu. Ya udah lamar, dong. Masa kaga berani," ucap Koman dengan entengnya.

Savero menggelengkan kepala. "Gak semudah itu, Komang. Keluarga kami gak akan setuju."

Komang menautkan alisnya. Berpikir sejenak namun tak menemukan jawabannya hingga akhirnya dia pun kembali bertanya, "Gak setuju kenapa? Kakak itu cantik. Dia kelihatan baik dan lembut. Kayaknya juga dia sayang sama lo."

"Tapi dia bukan perempuan yang akan diterima keluarga gue. Di keluarga gue ada aturan, hanya boleh ada satu ikatan antar keluarga. Dan ikatan itu dibuat untuk kakak gue Milo dan kakak tirinya Lala yang namanya Nadin."

Komang yang merasa dirinya lemot itu tidak bisa memahami maksud Savero secara langsung. Ia harus mencernanya agak lama hingga ia bisa memahami ucapan abang-abangannya itu.

"Maksud lo, kakak lo itu mau dinikahin sama kakaknya cewek lo? Jadi lo sama cewek lo gak bisa sama-sama gitu?"

Savero mengangguk membenarkan.

Komang pun menggelengkan kepala. "Gila! Dunia orang kaya ribet banget, ya. Kita-kita yang di bawah tuh mikirnya paling apaan. Cuma besok dapur kudu bisa ngebul, kebutuhan terpenuhi, dan nikah sama orang yang kita sayang atau yang mau sama kita. Itu aja palingan. Gak ribet-ribet pake aturan kayak keluarga lo gitu."

"Ya, soalnya menikah di keluarga gue tuh kayak bangun koneksi baru. Kalau bisa bangun koneksi lebih luas kenapa enggak. Dan lagi, Milo sama Nadin tuh sama-sama calon pewaris keluarga. Nantinya mereka yang akan jadi pilihan utama buat menjalankan bisnis keluarga."

Sekali lagi Komang menggelengkan kepala. Sudah jelas takjub sekaligus tidak habis pikir dengan dunia yang tak terpikirkan untuk dapat ia jangkau itu.

"Lala udah dicoret dari daftar pewaris. Dan keluarga gue jelas gak akan menerima dia dengan alasan apapun. Bokapnya Lala juga pasti gak akan kasih restu karena mau gimana pun, aturan tetap aturan. Dia gak akan rela kehilangan kesempatan kalau sampai melanggar aturan begitu."

"Terus lo sama kayak cantik itu gimana, Bang? Masa mau menyerah. Perjuangin, dong. Gue dukung," ujar Komang berusaha meyakinkan, "Kalau lo ngerasa sama dia lo bahagia. Kejar, Bang! Kapan lagi lo bisa egois dan mikirin diri lo sendiri?"

Savero mengangkat wajahnya menatap Komang yang tampak berapi-api memberikannya nasehat.

"Kayak yang lo bilang tadi. Selama ini lo selalu beresin masalah kakak lo. Kali ini beresin masalah lo sendiri. Lo pengen bahagia, kan? Lo pengen hidup berdua sama kakak cantik itu. Makanya kejar. Usahain apapun itu. Kalau gak, nanti takutnya lo nyesel. Biasanya orang nyesel kan setelah dia kehilangan. Lo emang mau kehilangan dia?"

"Ya jelas enggak, Mang. Sembarangan kalo ngomong," protes Savero.

"Ya udah, makanya kejar, Bang. Usahain lo bisa sama dia. Lawan penghalangnya. Apa lo takut kalau gak dapat warisan juga gara-gara pilih sama kakak cantik itu? Kalau gitu lo sama aja kayak mereka. Mikirnya harta doang, kagak mikir ketenangan hidup."

Sekali lagi Savero di buat diam oleh ucapan Komang. Bocah SMA itu malah terdengar lebih dewasa pemikirannya dari pada Savero sendiri. Selama ini Savero pun sebenarnya ragu. Bukan ragu pada hubungannya dengan Lala atau pada perasaannya, tapi ia ragu akan sikap yang seharusnya ia ambil dalam setiap situasi yang tidak menguntungkannya. Savero tertahan dengan posisinya sendiri. Ia terikat dengan kebiasaan di rumahnya untuk menjaga sikap, mementingkan urusan keluarga, juga mementingkan keuntungan keluarganya ketimbang kebahagiaannya sendiri. Mungkin memang ini adalah jalan yang Tuhan ingin tunjukan pada Savero. Bahwa sudah saatnya ia lepas dari belenggu itu. Sudah saatnya Savero egois dan memikirkan kebahagiaannya. Sudah saatnya Savero tidak lagi mengutamakan orang-orang yang tak memikirkannya.

[]

Makasi sudah ngikutin sampai bab ini. Apapun itu, aku berterima kasih sama kalian yang udah meluangkan waktunya membaca cerita ini. See you soon.


31 Agustus 2023

Noquiyea

Continue Reading

You'll Also Like

881K 6.3K 10
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
Say My Name By floè

Teen Fiction

1.2M 71.5K 35
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
2.1M 98.2K 70
Herida dalam bahasa Spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
1M 32.5K 45
-please be wise in reading- ∆ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ∆ Tentang Vanila yang memiliki luka di masalalu dan tentang Vanila yang menjadi korban pelecehan...