Another Color

By noquiyea

829 111 72

Lala menjalani hidupnya sebagai pelukis mengikuti jejak mendiang mamanya. Selama memutuskan hidup sendiri tan... More

0. Sunset With Memory
1. COYOTE V.I.P CLUB
2. RUN AND GO
3. Help You
4. Leave
5. Some Information
6. Breakfast
7. Plan
8. Trouble
9. With You
10. Party In The Galery
11. Meet My Girl
12. Move
13. Tell them
14. Meet Komang
15. Something Begin
16. Can I?
17. Here We Are
18. Meeting
19. A Good Bad Day
20. After That
21. VIP 3
22. How
23. Sorry To Your Self
25. The Box
26. Lala And Neo
27. Savero's Family Lunch
28. Savero and Komang
29. Amerika - Indonesia
30. It's Okay, Sav
31. Propose
32. Savero's Step
33. Girl's Talking
34. On Rainy Day
35. Party Begin

24. To Hug You

13 2 0
By noquiyea

Ketika senja berpamitan dengan indahnya, Lala hanya mengamatinya dalam keheningan yang tiada berkawan. Merasakan desir angin yang menerpa kulitnya di bawah payung langit yang perlahan menjadi gelap. Kabur, menghilang sejenak dari penatnya pikiran dan terpaan ekspektasi yang gagal dipenuhi. Menghindar agaknya menjadi jalan yang Lala pilih untuk sekadar menenangkan hati.

Di tengah keheningan dan kesendirian tak bertepi itu, Savero datang. Menyusulnya bersama selimut hangat yang lantas berakhir di bahunya. Duduk bersama merasakan angin pantai yang entah sejak kapan menjadi semakin dingin dan kencang.

"Masuk, yuk. Udah malam," Savero mengusap lengan Lala dengan lembut membujuknya.

Lala menoleh. Sekedar tersenyum kemudian mengangguk menyetujuinya.

Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Lala hanya beranjak dan membiarkan merangkulnya masuk ke dalam penginapan.

Sebulan sudah Lala menghilang. Ia pergi menjauh dari bisingnya perkotaan. Melepaskan semua urusan di tangan orang-orang yang ia percayai. Sekali lagi meninggalkan Savero tanpa pesan ataupun peringatan. Hingga si lelaki akhirnya berhasil menemukannya sebagai pencarian.

Lala menyewa sebuah resor pinggir pantai. Menetap di sana berkawan dengan kanvas dan cat lukis lainnya. Lala seperti kembali labil dan kehilangan arah setelah pembicaraan terakhir dengan papanya. Ketika terasa mulai buntu, ia mengingat perkataan Savero yang memintanya untuk melepas semuanya dan hidup dengan bahagia.

"Mau coklat panas?"

Lala menggeleng. Ia hanya menghela napas kemudian berhenti ketika Savero menutup pintu kaca di belakangnya. Lala diam menunggu hingga Savero kembali merangkulnya dan mengajaknya masuk dan duduk sofa yang ada di ruang tengah.

Savero membingkai wajah Lala dengan kedua tangannya. Menatap dengan tulus dan tersenyum begitu manis di hadapan perempuan itu.

"Aku kangen kamu, La. Kenapa menghilang lagi, sih?"

Lala terkekeh. Ia menggeleng lalu berkata, "Tapi kamu berhasil nemuin aku lagi."

"Iya, soalnya aku cari. Kalau kamu gak ketemu, nanti aku sama siapa?"

"Tapi ketemu, Sav. Jadi kamu tetep sama aku," Lala melepas tangan Savero dari wajahnya kemudian digenggamnya dengan lembut. "Maaf, ya. Sekali lagi bikin kamu khawatir."

"Gak ada yang perlu dimaafkan. Kamu dalam keadaan sehat dan baik-baik aja, udah bikin aku tenang. Makasi, La. Udah berjuang dan bertahan sejauh ini."

"Makasih juga buat kamu, Sav. Udah dengan sabar dan setia ngadepin aku yang labil."

Savero terkekeh. Setuju dengan anggapan Lala terhadap dirinya sendiri. "Yang penting badainya udah lewat walau perlahan."

Perempuan itu mengangguk setuju. "Pelan-pelan aku akan melepaskan diri dari badai ini, Sav. Badai yang sebenarnya aku sendiri yang menyebabkannya."

"Jadi kamu udah tau kabar terbarunya?"

"Soal yang mana?"

"Ya, semuanya. Kasus kematian mama kamu, kasus FL.Distribution, lalu masalah antara kamu dan keluarga papamu."

Lala menggeleng. Menandakan bahwa ia sama sekali tidak tahu apapun mengenai berita terbaru yang Savero maksud. Sebulan ini, Lala mematikan ponselnya. Memblokir semua panggilan dari semua orang termasuk Ana dan Evan.

"Jadi semua berjalan agak berantakan," ucap Savero menatap Lala sendu. "Penyelidikan gak berjalan lancar karena banyak sabotase. Pak Gunawan beserta seluruh keluarga korban malpraktek sampai harus melancarkan aksi boikot di rumah sakit. Oma Opa kamu juga turun tangan langsung membuat petisi meminta polisi untuk menyelidiki ulang kasus kematian anaknya. Walaupun alot, akhirnya semua berjalan sesuai harapan."

Lala terlihat lega. Walau ia memang sempat khawatir, tapi ia yakin bahwa orang-orang yang ia percaya akan selalu mengupayakan yang terbaik.

"Untuk masalah perusahaan yang dikelola Milo, seperti yang udah AGNI.J rencanakan sebelumnya berjalan baik. Belakangan jadi agak buntu. Milo tetap melakukan perlawanan sampai aku rasa baik Mas Evan, Ana, maupun Ansell sendiri sempat kewalahan sama serangan Milo. Tapi, emang kamu kalau nyerahin sesuatu ke orang kayaknya emang orang yang beneran tepat. Ansell berhasil menembus pertahanan Milo dan mau gak mau Milo harus melakukan sesuai kesepakatan awal yaitu masa percobaan kerja untuk Mas Evan selama tiga bulan."

Lagi-lagi Lala di buat tersenyum. Hampir takut kalau rencananya gagal, nyatanya semua memang berjalan dengan baik asal ada usaha lebih.

"Hampir aja aku khawatir. Aku pasti sedih banget kalau FL.Distribution gak bisa aku usahakan untuk jadi milikku."

"Sedih banget, La?" Savero memastikan.

Lala mengangguk lembut. "Mas Evan ngasih tunjuk aku rencana mama buat perusahaan itu. Mama berniat untuk membuka lapangan kerja untuk orang-orang yang berkemampuan tapi tidak punya kesempatan karena keterbatasan. Rencananya bagus banget, dan Mas Evan udah bilang bahwa dia pengen mewujudkan rencana mama."

"Maksud kamu kayak mempekerjakan orang-orang dengan SDA rendah gitu? Mana untung nanti?"

"Bisa kita fasilitasi, Sav. Sama kayak kamu ngasih kesempatan dan fasilitas buat Komang. Setiap orang punya masalah berbeda, kan? Kita bantu sesuai kebutuhannya asal dia bisa bekerja dengan baik."

"Lalu soal monitoring hasil kerjanya? Siapa yang tanggungjawab?"

"Nanti kita siapkan SDM yang mumpuni untuk bagian ini. Yang penting adalah bagaimana proses dan kinerja mereka. Orang gak bisa langsung bisa tanpa usaha. Gak bisa langsung pinter tanpa belajar. Asal semua berproses, pasti bisa jalan sama-sama."

"Kamu gak apa-apa nanti gak cepet untung?"

Lala tersenyum meyakinkan. "Aku udah untung banyak, Sav. Cukup untuk hidupku sendiri sampe bertahun-tahun kedepan. Menjalankan satu aja perusahaan untuk dengan tujuan sosial kemanusiaan gak bikin aku rugi dan bangkrut. Kecuali kalau udah keterlaluan, baru kita lakukan rencana cadangan."

Savero tersenyum bangga. Ia mengusap puncak kepala Lala dengan lembut mendengar ucapan perempuan itu. Savero selalu merasakan Lala istimewa, dan ia yakin bahwa jatuh cinta pada Lala adalah hal yang tepat.

"Kamu selalu gini, ya? Selalu siap dengan berbagai macam kemungkinan. Kamu kenapa menarik banget, sih? Kalau gini, siapa yang gak jatuh cinta sama kamu, coba."

"Kalau begitu, jatuh cintalah sama aku seumur hidupmu," tantang Lala dengan berani. Ia tersenyum lebar seolah ucapannya tidak berefek apa-apa. Padahal perut Savero sudah terasa geli layaknya ada jutaan kupu-kupu yang hendak memberontak keluar dari sana.

"Baiklah," Savero memutuskan, "apakah artinya kamu sudah mau menjadi bagian dari perjalanan hidupku selanjutnya? Mungkin gak selalu bahagia, tapi aku pastikan dan akan aku usahakan kalau aku akan selalu ada. Kapanpun dan dimanapun kamu butuh," ucapnya serius.

Apakah ini sebuah lamaran? Pertanyaan itu mungkin muncul di kepala Lala ketika Savero mengatakannya. Savero tidak banyak bercanda apalagi untuk serius seperti ini. Jadi ia yakin, bahwa Lala mengerti maksud dari perkataannya.

Tidak ada yang lebih menegangkan dari menunggu. Apalagi yang ditunggu adalah sebuah jawaban. Keputusan untuk mengiyakan atau melepaskan. Dan Savero merasakannya sendiri. Kekhawatiran akan penolakan yang mungkin akan Lala sampaikan padanya.

"Aku mau, Sav," ucap Lala dengan ringan dan senyum tulus yang mampu membuat Savero tenggelam. "Kita mulai semuanya dari awal. Berdua aja. Bisa, kan?"

"Kita lepaskan tali yang mengikat satu per satu, La. Supaya kamu bebas. Supaya kita bisa memulai hidup baru."

Lala menyetujuinya. Ia lebih dulu melepas tangannya dan masuk ke pelukan Savero. Mencari kenyamanan di dada lelaki itu seakan meletakkan semua bebannya begitu saja.

"Kita akan melakukannya bersama-sama. Akan aku pastikan mendapatkan restu keluarga kita," bisik Savero meyakinkan.

Lala mengangguk saja. Tersenyum senang mendengarkan ucapan manis lelaki itu.

•••

Pada akhir perjalanan kabur-kaburan Lala, ia memutuskan untuk pulang. Bukan kembali ke rumahnya, bukan ke rumah Savero, atau ke tempat teman-temannya. Lala pulang ke rumah mamanya. Rumah yang sudah terbakar beberapa tahun lalu yang kini sudah dibangun ulang menjadi rumah sekaligus studio seni.

Lala lebih suka di sana. Bersama kenangan indahnya dengan sang mama. Mengingat setiap momen yang mereka habiskan berdua saja. Lala tersenyum. Ia jadi teringat bahwa memang sebagian besar waktunya ia habiskan berdua dengan mamanya. Hanya berdua ketika papa selalu sibuk dengan pekerjaannya. Papa memang ada saat Lala butuh. Selalu hadir di setiap momen penting. Tapi hanya itu. Hanya saat dibutuhkan, bukan yang selalu ada.

Ucapan Savero kemarin membangkitkan perasaan hangat di hati Lala. Tentang ia yang memang selalu ada bahkan saat Lala tidak membutuhkan bantuannya. Savero selalu disisinya dalam keadaan apapun, bukan hanya saat momen penting. Savero ada saat Lala sakit bahkan ketika papanya tak meluangkan waktu untuk menjaga putrinya. Perempuan itu yakin, memang Savero yang ia cari. Dan kepadanyalah, Lala bisa memulai semuanya dari awal. Menggambar di kanvas putih kehidupannya yang baru.

"Kamu yakin mau tinggal sendirian di sini? Aku bisa di sini nemenin kamu, La."

Lala menoleh mendapati Savero sudah membawa kopernya masuk ke dalam kamar dan meletakkan benda persegi panjang itu di dekat lemari. Savero terlihat khawatir. Jelas tidak rela mendengar permintaan Lala yang ingin tinggal sendiri di sana.

"Aku aman di sini, Sav. Lagian gak enak kalau ngerepotin mama kamu terus."

"Mamaku gak akan ngerasa direpotin apalagi sama calon menantunya."

Lala tersenyum. Ia berjalan ke ranjang dan menepuk sisi kosong di sebelahnya.

Savero pun mendekat. Mengerti bahwa Lala ingin ia duduk di sisinya.

"Sav, kita gak bisa terus hidup kayak gitu. Ada kalanya kita harus mengandalkan diri sendiri dan gak bergantung sama orang. Seperti yang kamu bilang, ayo kita lepas talinya. Makin kuat dia mengikat, makin kita gak akan bisa lepas. Nanti kita yang terluka."

"Aku tau. Aku ngerti. Tapi nanti di sini kamu gak aman."

"Aman, Sav. Selama kamu percaya sama keputusanku. Semua akan aman. Aku gak sendiri. Kita gak sendiri. Ada kamu, Ana, Mas Evan, Gia, Ansell, Jeff, dan Neo yang siap kapan aja untuk satu sama lain."

Savero tahu ia tidak bisa membantah Lala dan kepercayaannya terhadap orang sekitarnya. Neski begitu, ia tetap saja khawatir. Bagaimanapun, Lala perempuan dan ia sendirian tinggal di sana.

"Percaya sama aku. Aku bisa sendiri. Lagipula, di rumah ada satpam. Ada pelayan yang tidur di sini. Mereka udah lama ikut mamaku. Dan baru kerja lagi setelah rumah ini jadi. Mereka akan nemenin aku, Sav."

"Iya, La. Aku tau," Savero menyerah. Merasa tidak perlu mendebat Lala lebih jauh, "yaudah. Aku pulang kalau begitu. Kamu istirahat. Besok kita ketemu sama yang lainnya."

Lala mengangguk mengiyakan. Ia kemudian memeluk Savero dan menyandarkan dagunya di bahu lelaki itu.

"Makasih, Sav. Makasih karena kamu selalu ada. Makasih selalu di sisiku."

Savero membalas pelukan itu. Tersenyum kemudian mendaratkan kecupan di pelipis Lala.

"Makasih juga kamu selalu ada buat aku, La. Makasih kamu udah hadir dan membuatku menjadi bagian dari hidupmu."

Pelukan mereka terurai. Menyisakan senyum di wajah masing-masing. Lala mengantarkan Savero ke depan rumah dan mereka lantas berpisah.

Satpam langsung mengunci gerbang setelah mobil Savero meninggalkan rumah. Ada dua orang yang berjaga di sana. Dan Lala segera menghampiri mereka di pos jaga diikuti oleh bibi yang membantu membersihkan rumah itu.

Di dalam pos satpam, mereka berempat berkumpul dan ketiga orang yang bekerja untuk Lala itu tampak saling pandang menunggu ada yang berbicara lebih dulu. Pak Satpam bertubuh tegap kemudian menegakkan posisi duduknya dan mulai bicara.

"Beberapa hari lalu Pak Haris ke sini, Mbak," kata Pak Satpam bernama Edi yang sudah lebih dari sepuluh tahun kerja pada mamanya.

"Papa ke sini, nyari saya?"

Pak Edi menggeleng. "Bukan, Mbak. Bapak nyari kotak gak tau kotak apa. Ke sini sama istri sama anaknya."

"Kotak? Emangnya ada kotak di sini? Bukannya kotak mama kebakar semua pas kebakaran?"

"Yang kebakaran habis cuma tempat lukis nyonya, Mbak. Sementara ruangan lain meskipun gak utuh, tapi gak sampai kebakar semua. Mungkin bapak nyari di situ," sahut Bibi ART yang usianya sudah lima puluhan tahun.

"Terus mereka keluar bawa apa?"

"Gak bawa apa-apa kayaknya. Eh, kalo gak salah Bibi lihat anaknya bawa satu lukisan. Seingat Bibi itu lukisan Mbak Ilea yang mbak pajang pas terakhir ke sini."

"Yaudah gak apa-apa," Lala tentu kecewa. Ia pikir papanya akan mencarinya setelah pertemuan mereka yang terakhir kali. Lala berharap papanya masih memiliki nurani dan rasa bersalah setelah ucapannya tempo hari.

"Kalau kotak emang gak ada, Mbak. Tapi kalau ruangan yang tertutup dan utuh sejak kebakaran itu, ada," sahut Pak Yatno, satpam yang usianya lebih tua beberapa tahun dari Pak Edi. Tubuhnya lebih kurus, tapi Pak Yatno adalah seorang pengajar seni bela diri Taekwondo sebelum menjadi satpam di rumah mamanya. Pak Yatno adalah satpam yang dulu bekerja di rumah Oma sebelum akhirnya dipindahkan ke rumah mamanya.

"Ruangan? Ruangan apa, Pak? Bukannya semua ruangan udah di renovasi?"

"Kan ruangannya aja, Mbak, yang direnovasi. Itupun beberapa ruangan masih utuh cuma di cat gak di apa-apain. Beberapa bagian atap juga tetap sama seperti sebelumnya. Kan Mbak Ilea sendiri yang minta saya bantu mengawasi pekerjaan orang-orang yang benerin rumah." Pak Yatno menjeda sejenak penjelasannya. "Di atap ada ruangan sendiri. Tapi lupa atap ruangan yang mana. Itu saya pernah naik ke situ 1x buat naroh lukisan-lukisan bikinan ibu. Kata Bu Bella lukisannya lebih aman di simpan di sana."

Lala mengerutkan dahinya. Baru kali ini ia mengetahui tentang atap. Atau mungkin dia pernah ke sana tapi lupa. "Kita cari yuk, Pak! Saya penasaran isinya apa."

Pak Yatno pun mengangguk saja. Mereka berempat pun membubarkan diri. Pak Edi berjaga depan sambil mengawasi CCTV dari komputer yang terpasang, sementara Bibi dan Pak Yatno masuk ke dalam rumah.

[]

Hiee, udah part 24, nih. See you next chapter. 


15 Agustus 2023

Noquiyea

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 262K 62
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
461K 16.9K 31
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
630K 8K 24
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
426K 33K 27
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...