Another Color

By noquiyea

834 111 72

Lala menjalani hidupnya sebagai pelukis mengikuti jejak mendiang mamanya. Selama memutuskan hidup sendiri tan... More

0. Sunset With Memory
1. COYOTE V.I.P CLUB
2. RUN AND GO
3. Help You
4. Leave
5. Some Information
6. Breakfast
7. Plan
8. Trouble
9. With You
10. Party In The Galery
11. Meet My Girl
12. Move
13. Tell them
14. Meet Komang
15. Something Begin
16. Can I?
17. Here We Are
18. Meeting
19. A Good Bad Day
20. After That
22. How
23. Sorry To Your Self
24. To Hug You
25. The Box
26. Lala And Neo
27. Savero's Family Lunch
28. Savero and Komang
29. Amerika - Indonesia
30. It's Okay, Sav
31. Propose
32. Savero's Step
33. Girl's Talking
34. On Rainy Day
35. Party Begin

21. VIP 3

17 1 0
By noquiyea

Lala tidur dengan nyaman semalam. Ditemani Savero yang setia bersamanya bahkan rela mengerjakan semua pekerjaan kantor di rumah sakit. Savero tidak melepas pengawasan dari Lala. Setiap kebutuhan Lala, ia penuhi dengan sebaik mungkin.

Bagi Lala, kehadiran Savero seperti angin segar. Sifatnya yang berubah-ubah, perhatian kecilnya, senyumnya yang selalu muncul saat Lala butuhkan, juga bahunya yang nyaman untuk bersandar. Savero berbeda dari semua sahabat-sahabatnya. Mungkin karena Savero sendiri sudah mengutarakan perasaannya, jadi Lala rasa percikan merah muda itu tumbuh diantara keduanya.

"Sav," panggil Lala pada Savero yang tampak fokus dengan layar tab di tangannya.

"Hmm," sahut Savero tanpa menoleh pada Lala.

"Udah malam. Kenapa kita pindah ke kamar ini?" tanya Lala penasaran.

Sekitar satu jam yang lalu Savero meminta pemindahan Lala dari kamar VIP 7 ke kamar VIP 3. Sebenarnya alasan Savero sederhana. Karena AC di kamar itu tidak berfungsi dengan baik dan Lala tidak mempermasalahkannya. Namun, karena Savero bersikeras dan mereka mendapat persetujuan tim manajemen, Lala pun dipindahkan.

"AC-nya kurang dingin, La. Aku gak nyaman. Lagian kita bayar mahal di sini. Enak aja dikasih kamar kurang berkualitas."

"Em, terus yang jaga di luar siapa? Orangnya Jeff?"

"Bukan. Orangnya Neo. Tadi udah ganti shift. Kamu kenapa tanya-tanya gitu? Perhatian banget sama yang jaga di luar? Sama aku enggak." Savero menutup tab-nya dan menatap Lala cemburu.

"Kan aku udah perhatiin kamu. Aku lihatin seharian."

"Diliatin doang gak disayang, ya, percuma."

"Gak percuma. Siapa tau dari liatin doang terus sayang."

Savero menarik kedua bibirnya salah tingkah mendengar ucapan Lala.

"Kayaknya dikit lagi nikah kita, La. Habis kamu jatuh cinta sama aku, nanti aku lamar kamu. Aku usahakan sampe papa kamu setuju buat nerima aku jadi mantu."

Lala tersenyum lebar dan mengangguk begitu saja. Dan dengan wajah berbinar, Savero mendekat kemudian menopang dagunya diatas tempat tidur menatap Lala.

"Cantiknya Savero."

Lala mengerutkan dahinya. "What?"

"Iya. Kamu cantiknya aku."

"Dih, geli." Lala tersenyum pura-pura geli. Padahal rasanya banyak kupu-kupu bertebaran di dadanya.

Savero tertawa kecil. Perlahan tangannya terulur lantas membelai pipi Lala. Diusapnya pelan sambil tersenyum memuja.

"Makasih, ya. Udah berjuang dan tumbuh dengan baik. Makasih juga buat Tuhan yang udah bikin aku ketemu sama kamu. Dan makasih karena mau nerima aku jadi bagian dari lembaran kisah hidup kamu."

Lala terharu. Belum pernah ada yang sebaik dan setulus ini menyayanginya. Belum ada yang mengungkapkan kata-kata menenangkan hati seperti yang Savero selalu ucapkan untuknya. Lala tidak bisa menjawabnya. Ia bukan seseorang yang pandai menghibur seperti Savero.

"Malik gimana? Masih di tahan sama yang lainnya?"

Savero mengangguk. "Masih. Tapi Gia kayak khawatir banget sama dia. Mungkin Gia ke Malik sama kayak aku yang jatuh cinta sama kamu."

Lala berdecak. "Bukan itu maksudnya, Sav. Malik ngomong kenapa dia mau nyelakain kamu?"

Savero mengangkat bahunya ringan. "Kata Jeff dia gak cerita. Cuma dia sempet ngomong berdua doang sama Gia. Nanti aja kalau Gia ke sini kamu tanya sendiri."

Lala tidak membalas lagi. Ia menghela napas dan merasakan sakit di bahunya mulai agak menyiksa.

"Sav, aku kapan bisa pulang?"

"Kalau udah sembuh, La. Emang kenapa?"

"Aku ngerepotin banyak orang, Sav. Kalau kelamaan di sini mana enak?"

"Enak, kok. Kan kita bisa berduaan."

Lala menoleh ke arah Savero dan menatapnya kesal. "Kamu diajakin ngomong serius malah bercanda. Heran."

Savero terkekeh. "Kalau kondisi kamu udah lebih baik, boleh pulang. Lagian muka masih pucat, badan masih lemah, ngeyel mau pulang. Kalau di rumah kenapa-kenapa gimana?"

"Ya panggil dokter, lah. Tante kamu yang nolong aku waktu itu dokter, kan. Bisa minta tolong dia."

"Sayangnya tante lagi gak di sini. Lusa baru balik dari Jepang. Kalau lusa udah lebih baik, aku usahakan kamu pulang dan di rawat sama tante. Sementara, minum obat secara teratur dan istirahat."

•••

"Ada?" Ansell menatap berharap pada jawaban yang akan Savero sampaikan. Namun Savero malah menggelengkan kepalanya yang menandakan bahwa apa yang mereka cari tidak ada di sana.

"Emangnya kalian nyari apa? Bendanya kayak gimana?"

"Kita juga gak tau," sungut Neo kesal. "Si Malik gak jelasin bendanya apa dan bagaimana. Dia cuma bilang jawaban yang kita cari ada di ruangan itu."

"Ya, terus apa?" tanyanya frustasi. "Gue gak bisa di sini lama. Lala di dalam sendirian, gue khawatir dia kenapa-kenapa."

"Kita masuk bareng aja," Ansell berjalan duluan masuk ke ruangan Lala di susul Savero dibelakangnya.

Ruangan tempat Lala dirawat mendadak chaos. Lala kejang tanpa ada seseorang yang mendampinginya. Seketika Savero panik. Ia menekan tombol panggil berkali-kali hingga dokter jaga datang dan memberikan pertolongan pertama.

Dengan mata kepalanya sendiri, Savero juga Ansell menyaksikan Lala kejang dan mengerang kesakitan. Infusnya terlepas dengan darah yang mengucur dari lengan perempuan itu.

Setelah Lala kembali normal, Savero memerintahkan penjaga menutup pintu dan menahan dokter juga perawat yang ada di ruangan itu.

"Tadi tunangan saya kenapa bisa kejang?" tanya Savero dengan nada datar mengintimidasi. "Saya tinggal keluar beberapa menit karena ini jadwal kalian melakukan pemeriksaan. Lalu dia malah kejang?"

"Kami hanya melakukan sesuai prosedur. Tidak ada yang menyalahi aturan, Pak." Perawat perempuan itu menjawab dengan sopan.

"Lalu kenapa tunangan saya kejang?"

"Reaksi obat yang tidak bisa diterima oleh tubuh pasien, Pak. Kami sudah melakukan penanganan jadi Anda tidak perlu khawatir." Dokter yang bertugas pun membantu menjelaskan.

"Terima kasih. Kami harap pihak rumah sakit melakukan yang terbaik yang bisa kalian lakukan." Ansell menyudahi pembicaraan kemudian dokter dan perawat itupun pergi.

Savero menoleh padanya dengan tidak puas. Ia tampak kesal karena Ansell menghentikan dirinya yang hendak mengintrogasi orang-orang itu.

"Gue tau lo mau ngapain. Tapi tahan aja. Kita urus Lala dulu sekalian meriksa sesuatu," ucap Ansell dengan tenang.

Lelaki itu kemudian memanggil salah seorang penjaga masuk dan meminta sesuatu yang terpasang di kerah jas.

"Ini nanti akan diperiksa orangngnya Jeff," Ansell menunjukan semacam kamera mikro. "Biar Jeff yang urus. Lo fokus Lala aja. Kami tau apa yang kami lakukan."

Savero menghela napas. Terasa lebih lega setelah pikirannya tegang akibat kejadian Lala barusan.

"Gue serahin ke kalian."

•••

Lala sadar. Badannya terasa remuk. Lukanya seperti kembali menganga dan perih. Ia membuka matanya dan merintih kesakitan yang langsung direspon oleh Savero.

"La, mana yang sakit?"

"Bahuku. Lukanya sakit banget."

"Tadi kamu kejang. Kayaknya lukanya terbuka lagi."

"Sakit banget, Sav. Lebih sakit dari setelah operasi. Rasanya jadi agak panas." Lala mengeluh dengan wajah memelas.

Savero jadi tidak tega. Ia tidak suka melihat Lala seperti ini. Tampak lemah, kesakitan, dan tersiksa.

"Aku telfon tante biar kamu di jagain perawat di kliniknya. Kamu tunggu bentar."

Lala tidak langsung mengangguk. Ia mencerna sesuatu dikepalanya. Agak lama dan dalam diam sambil matanya tetap menatap mata Savero lama.

"Panggil perawat yang tadi ngasih obat ke aku. Biar dia yang periksa lukanya."

"Gitu? Kamu yakin?"

Lala mengangguk. "Sama kamu telfon aja perawat klinik sekarang."

"Oke. Aku lakuin tapi kamu beneran gak apa-apa?"

Lala mengangguk. "Aku gak apa-apa. Aku kepikiran sesuatu dan mau membuktikannya sendiri.

Sementara itu di tempat lain, Ansell berada di ruang kontrol milik AGNI.J. Ia sudah duduk bersama Malik dan Gia di depan sebuah layar laptop. Mereka melihat rekaman siapa saja yang keluar masuk ruangan Lala dan Malik membantu mengidentifikasi sebisanya.

"Itu suster Yunita. Suster senior yang kerja lama di sana. Dia adalah kepala perawat yang kerja sejak bokap gue mimpin rumah sakit."

Malik menatap lama pada layar yang sudah dalam mode berhenti. Ia hafal betul dengan wajah orang-orang yang seperti Bu Yunita itu. Sudah sering ia menjadi salah satu orang yang keluar masuk rumah keluarganya. Dan Malik sudah jelas tahu apa yang mereka dan papanya kerjakan bersama.

"Terus dia masih kerja di sana karena dia ini orang kepercayaan bokap lo?"

Malik mengangguk. "Jangan biarin dia masuk ke ruangan Lala lagi dengan alasan apapun."

Gia menoleh pada Malik. "Kalau ini ada sesuatu yang janggal berarti orang ini yang bakal kami cari pertama."

Malik mengangguk. "Dan kalian perlu bawa gue ke polisi supaya–"

"Kayaknya gak perlu. Hukuman buat lo, kami yang tentukan." Ansell memotong tanpa basa-basi, "Perkara lo nyelakain Lala, dia yang berhak nentuin lo diapain aja enaknya. Sementara ini, kita tutupi semuanya karena lo udah ngasih petunjuk."

•••

Kembali ke tempat Lala dirawat. Seorang perawat sedang memeriksa luka Lala. Dari yang Savero lihat, luka Lala memang menganga. Mungkin karena tadi Lala kejang sehingga lukanya mengeluarkan darah. Perawat itu membersihkan kembali darah yang keluar dan menggantinya dengan perban yang baru.

"Terima kasih," ucap Savero lalu perawat itu pergi dengan ekspresi gugup.

Lala tersenyum dan menggeleng. "Kamu bikin orang grogi. Dia cuma balut luka kali."

"Semua orang perlu dicurigai. Dan lagi aku gak suka dia ngelirik aku gitu. Terlalu gak sopan," Savero duduk di tepi tempat tidur. Ia menatap Lala yang duduk sambil tersenyum penuh arti. "Kamu kenapa senyum kayak gitu? Aku aneh?"

"Iya aneh. Harusnya senang kamu ada yang lirik. Artinya kamu menarik."

"Bukan salah aku menarik. Aku terima kasih kalau memang orang menilai begitu. Tapi situasinya gak ke arah sana, La."

"Wajar, sih. Emang situasi kita terlalu tidak terduga."

"Tapi emang perlu, kan?"

Lala membenarkan. Buktinya karena Savero yang sensitif, Lala jadi menemukan jawaban yang ia inginkan.

"Perawat klinik tante kamu udah berangkat? Kalau bisa suruh buruan, ya."

"Udah, kok. Lagi di lift mungkin. Dia udah sampe barusan."

Lalu pintu terbuka dan seseorang yang mengenakan masker pun masuk dengan tas ransel di punggungnya.

"Hai," perawat dari klinik tante Savero menyapa mereka lalu menurunkan maskernya sebentar. "Maaf, saya gak bisa lepas masker karena banyak orang di sini yang kenal saya dan saya kenal."

Savero tidak masalah. Yang penting perawat itu mau datang.

"Kamu perlu saya memeriksa apa?" tanyanya pada Lala.

"Perban saya. Tolong buka dan periksa apakah ada sesuatu yang ditempelkan di bawah perban itu. Luka saya menganga kembali karena tadi saya sempat kejang. Dan mereka juga menyuntikkan sesuatu ke tubuh saya."

Perawat itu mengangguk kemudian menyiapkan alat untuk mengambil sampel darah.

"Saya ambil dulu darah kamu baru saya bawa ke laborat."

Lala memberikan izin. Perawat itu pun segera mengambil sampel darah Lala dan dimasukan dalam sebuah tabung kecil. Setelahnya, luka di bahu Lala diperiksa lagi dan diambil sampel darah dari sana. Semuanya disimpan rapi dalam box penyimpanan lalu dimasukan kembali dalam tas.

"Segera saya akan kabari kalian. Sementara, jangan minum obat dari sini. Besok minta lepas infus aja. Dengan catatan kamu cukup makan dan minum. Obat untuk dua hari ini sudah saya bawakan sesuai arahan tantenya Savero."

"Baik. Terima kasih bantuannya."

Perawat itu mengangguk kemudian menyerahkan box bekal dengan gambar karakter Disney Frozen pada Savero.

"Makan teratur. Tiga kali sehari. Jangan lupa buah. Terus, minum air putih yang banyak. Jangan minum teh atau kopi." Pesannya dibalik masker.

Savero mengangguk menerimanya. Perawat itu lantas pamit pergi diantar seorang penjaga lain yang memang ditugaskan mengawalnya.

[]


Hiee, ketemu lagi. Makasih udah sempetin baca sampai sini. See you in the next chapter.


07 Agustus 2023

Noquiyea

Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 166K 25
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
PUNISHER By Kak Ay

Teen Fiction

1.3M 115K 44
"Kenapa lo nolongin gue, hm? Kenapa nggak lo biarin gue mati aja? Lo benci 'kan sama gue?" - Irene Meredhita "Karena lo mati pun nggak ada gunanya. G...
1.1M 43.8K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
825K 100K 13
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...